Selasa, 31 Mei 2011

Aki Gaul

Aki, demikian kami biasa menyebut kakek2 dimana segala jenis rambut  yang menempel ditubuhnya sudah memutih semua itu. Kulit ditubuhnya pun sudah keriput, tapi gigi masih putih utuh dengan bekas menginang yang jelas kelihatan.

Usianya sudah 28--eh, kebalik dink. Namun badannya masih dari cara duduknya masih terlihat kekekaran. Jangan salah lho, si Aki masih sering melakukan 5:1--jangan berpikir jorok yach. 5:1 itu adalah sistem panen padi di di wilayah ORANG KOTA ini--dalam setiap 5 kaleng maka ada 1 kaleng yang menjadi hak para pemanen. Dan kabarnya, si Aki baru saja ikut mengeluarkan sekitar 500 karung padi dari sawah tempat mereka melakukan 5:1.

Mereka yang ikut 5:1 ada 20 orang, lu bayangkanlah--berarti masing-masing harus mengangkut 25 karung yang beratnya berkisar 50-60 kg. Dan sekarang si Aki sedang duduk di bale2 rumah bersama kami, tanpa terlihat lelah sama sekali.

Jangan-jangan si Aki telah mengeluarkan jurus Lengkebong lagi, hihihi.

Aki duduk bersilah dengan gagahnya, dihadapannya ada kopi bercampur jahe yang kental serta sangkara yang besarnya seperti tangannya si Aki. Gigi Aki yang masih kuat memang sangat memungkinkan untuk mengunyah kuliner has Bolmong itu. Kekuatan gigi Aki ini menampakan keangkuhan yg luar biasa. Gara-gara si gigi (sengaja nggak ditulis dengan huruf besar, soalnya takut disomasi sama Arman Maulan cs, hehehe), Aki tak ingin makan bubur walau sakit sekalipun. Dan tentu tak ketinggalan sirih penginang yang membuat giginya selalu nampak kinclong begitu.

Benda lain dihadapan Aki, ada dua hanphone belekbery (demikian Aki menyebutnya), laptop yang disambungkan ke dunia maya dengan modem, juga ada seperangkat alat sholat dibayar tunai--lha ngomong apa kita? hahaha

Tentang keberadaan alat-alat modern ini, menurut Aki dia pesan dari cucunya bernama OMPU yang ada di Betawi sono.

"Saya mendesak Ompu untuk mengirimkan barang-barang ini karena saya dengan dunianya si Maya bisa dilihat dari sini. Saya sudah sangat merindukan ba'ai kalian itu," katanya dengan mimik sedih.

Oh yach, sekilas info saja, isteri Aki bernama Maya. Sebenarnya sosok yang kami biasa panggil Ba'ai ini masih hidup walau tentu kekeriputan serta keputihan rambut sudah sama dengan Aki. Tapi entah mengapa Aki menganggapnya seperti sudah tiada.

"Lagipula, kita ini kan ORANG KOTA, masak berhubungan dengan dunia si Maya saja nggak bisa. Dan benar lho, setelah saya buka-buka dunianya si Maya maka saya mendapatkan banyak Maya di sana. Sayang Mayanya tak bisa disentuh saja," katanya terkekeh.

Ya iyalah, masak ya iya donk. Dunia Maya kok mau disentuh. Na'onda bi'? 

"Tapi harus juga Aki pesankan pada kalian yach para cucu, di sini ternyata ada si Maya negatif dan ada juga si Maya yang positif. Ambillah yang positif dan dalami yang negatif..."

"Lho.."

"Jangan protes dulu. Dalami dan jadikan ke arah positif--yach minimal kalian tak melakukan perbuatan negatif, itu kewajiban lho."

Kami mengangguk-angguk.

"Seperti ini. Lha, kenapa ada yang bilang kita dari telur? Ini juga, kenapa ada yang bilang ada nenek moyang kita yang turun dari langit? Yang ini pula, kenapa ada yang bilang para Bogani sebesar rumah? Apalagi dikatakan ORANG KOTA itu dari bangsa yang bar-bar.Heran de ah," kata Aki sambil memilinkan tangan dan menggigit jari mirip Wendi di OVJ.

"Lha, kalau begitu harus diluruskan donk, Aki," kata kami.

"Apanya yang diluruskan. Memangnya ada yang bengkok?"

Kami: ????

"Kan sudah saya katakan, dalami yang negatif dan jadikan positif. Berarti otak kalian perlu diservis semua karena sudah berpikir jorok ketika dikatakan sesuatu yang negatif. Ada yang putus dari urat kemaluan kalian."
»»  LANJUTKAN???...

Sabtu, 21 Mei 2011

10 Kota Terkecil di Indonesia

10 Kota Terkecil di Indonesia


10. Kota Cirebonhttp://i217.photobucket.com/albums/cc36/Bowieku_2007/Balai20kota.jpgKota Cirebon adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini berada di pesisir Laut Jawa, di jalur pantura. Dahulu Cirebon merupakan ibu kota Kesultanan Cirebon dan Kabupaten Cirebon, namun ibu kota Kabupaten Cirebon kini telah dipindahkan ke Sumber. Cirebon menjadi pusat regional di wilayah pesisir timur Jawa Barat.
»»  LANJUTKAN???...

Senin, 16 Mei 2011

Daftar Kekayaan 30 Tokoh BMR Tahun 2010

Pernah di muat di SUARA TOTABUAN

No
Nama
Jumlah Kekayaan (RP)
1
Ir. H. Doludu Mokodompit
30 Milyar
2
Bambang Rachmadi Sugeha
17 Milyar
3
Dra. Hj. Marlina Moha SIahaan
12 Milyar
4
Drs. H. Djelantik Mokodompit
12 Milyar
5
Hj. Titiek Mokodompit, SH. MSi
12 Milyar
6
Dra. Yasti Soeprojo Mokoagow
11 Milyar
7
Ir. Limi Mokodompit, MM
11 Milyar
8
Ir. Yahya Djanggola
10 Milyar
9
Drs. H. J. A. Damopolii
10 Milyar
10
Drs. H. Sehan Mokoapa Mokoagow
10 Milyar
11
Drs. H. Hamdan Datunsolang
7 Milyar
12
Aditya Didi Moha, SKed
7 Milyar
13
Drs. H. Idrus Mokodompit
6 Milyar
14
H. Hamdi Paputungan, SH, MM
6 Milyar
15
Drs. Syachrial Damopolii, MBA
5 Milyar
16
Drs. Samsurijal Mokoagow, SH, MH
5 Milyar
17
H. Achmad Marendes, MBA
5 Milyar
18
Salihi Mokodongan
5 Milyar
19
Ir. Siswa Rachmat Mokodongan
4 Milyar
20
H. Wachid Makalalag, SSos
4 Milyar
21
Drs. H. Holil Domu, MSi
3 Milyar
22
H. Nurdin Makalalag, SE
3 Milyar
23
H. Rustam Siahaan
3 Milyar
24
H. Herson Mayulu, SIP
2 Milyar
25
Ir. Tatong Bara
2 Milyar
26
Drs. Arudji Mongilong
2 Milyar
27
Drs. H. Abdullah Mokoginta
2 Milyar
28
Kandoli Mokodongan, SH
1 Milyar
29
Drs. H. Depri Pontoh
1 Milyar
30
Ir. Jaya Moginta, MT
1 Milyar
»»  LANJUTKAN???...

Sabtu, 14 Mei 2011

10 Wanita Biasa Ini Jadi Pewaris Kerajaan


Raina Al Yassin

10 Wanita Biasa Ini Jadi Pewaris Kerajaan
Berikut ini sejumlah wanita dari kalangan biasa yang dipersunting putra mahkota.
Rabu, 24 November 2010, 06:08 WIB
Petti Lubis, Lutfi Dwi Puji Astuti


Raina Al Yassin (people.com)

»»  LANJUTKAN???...

10 Wanita Biasa Ini Jadi Pewaris Kerajaan

10 Wanita Biasa Ini Jadi Pewaris Kerajaan (2)
Berikut ini sejumlah wanita dari kalangan biasa yang dipersunting putra mahkota.
Rabu, 24 November 2010, 07:28 WIB
Petti Lubis, Mutia Nugraheni

Letizia Ortiz Rocasolano (people.com)
BERITA TERKAIT
»»  LANJUTKAN???...

Minggu, 08 Mei 2011

Jadikan Kami Provinsi 1


Semangat Mereka, Semangat Kita?

Hari ini, ada haru yang membiru.
Ketika seorang Kakek, umur 70-an tahun, menyalami dan berbisik:
"Po maju turus, aku'oi doman mo'ibog mokonikmati kon Provinsi"

Haru membiru yang menjadi beban luar biasa di pundak kami.
......Kakek tua itu saja ingin menikmati Provinsi, terlebih kami.

Semangat Otam adalah semangat dengan pembuktian.

Kami akan tetap melangkah, walau terseok dan tertatih.
Sesungguhnya kami berharap langkah ini diperingan
Dengan menjadikan pemerintah sebagai tumpuan

Kepada Bupati dan Walikota di 5 wilayah
Kumpulkan saja BPD/LMD, Sangadi/Lurah, di ruang yang kalau perlu terbuka

Mintalah mereka untuk menandatangani aspirasi untuk menjadi Provinsi
Insya Allah langkah kita tak akan tertatih lagi

(Catatan Saat Diskusi L'Ebe di Otam)
»»  LANJUTKAN???...

Jumat, 06 Mei 2011

Intau Kota


Wadow, belum apa-apa sudah disodorin kata-kata langit lage. Mungkin Tuan dan Puan akan misu-misu begitu. Tapi Tuan dan puan kan memasuki Kotamobagu yach harus begitu. Gua juga pan begitu ketika gua ke Jakarte, kitu juga pas abdi jalan-jalan ka Bandung, sami mawon nek kulo dolan neng Malang, dan lain-lain. Kan di mana bumi dipijak di situ langit di junjung. Geto lho—pakai bahasa gaul dikit yach, hehe..
Lagi pula Tuan dan Puan memang ingin menikmati daerah saya kan? Menikmati segala pernak-pernik yang terkait dengannya. Nah, nikmati saja!
Tapi agar tidak memunculkan prasangka, saya coba jelaskan tentang arti judul di atas. “Intau” itu bahasa Indonesianya “Orang”, sementara “Kota” ya “Kota”, jadi kalau digabungin maka “Intau Kota” berarti “Orang Kota”.
Lha, apa tidak tumpang tindih dengan yang judulnya “Orang Kota”?
Kalau tumpang mungkin iya, tapi kalau tindih sich kayaknya tidak. Emang dalam persoalan ini, siapa yang menindih siapa? Hehehe..
Maksud kami gene lho, yang judulnya “Orang Kota” itu pembahasannya lebih umum, sementara yang “Intau Kota” ini lebih ke arah sosiologis, tepatnya budaya kalau bisa dikatakan demikian. Lebih baik lanjut saja yach, biar bisa paham maksud kami. Tapi kalau belum Pa Ham, Bu Ham juga nggak apa-apa ko’—lho emangnya kita mau membahas apa nich?..
Walau dari sononya sudah Kota namun Tuan dan Puan akan mendpatkan cirri masyarakat pedalaman yang kental di tempat kami. Masyarakat Kotamobagu belum begitu plural kecuali di beberapa tempat. Keanekagamana sebagaimana yang ada di kota-kota lain sesungguhnya belum nampak. Setahu kami, hanya di kelurahan Gogagoman, Kotabangon, Mogolaing dan Kotamobagu yang keanekaragamannya cukup terlihat. Tapi di Desa atau kelurahan lain, kepluralan ada tapi dia telah membaur dalam system adat dan budaya setempat.
Orang Kota mayoritas dari etnis Mongondow. Cirri-ciri dari etnis Mongondow itu, seperti umumnya masyarakat di Sulut, Orang Kota punya marga atau fam atau nama keluarga besar. Marga yang paling banyak diawali dengan kata “Moko”.
Ada cerita lucu tentang “Moko” ini..
Suatu waktu, ada pertemua keluarga besar. Seorang anak gadis dari keluarga tersebut membawa calon suaminya dari luar etnis Mongondow untuk diperkenalkan pada keluarga besar. Dan sang calon suami pun berbaur. Sang pria ini sungguh pintar dalam bergaur sehingga dalam waktu sekejap dia sudah mendapat simpati dari keluarga besar—bahkan ada yang langsung meminta keduanya agar segera menikah yang disambut keduanya dengan wajah memerah.
Namun, semua itu buyar ketika sang calon suami salah berkata. Saat itu dia sedang rasa buang air kecil alias kebelet. Dia pun berkata: “Saya mo ke belakang..”
Belum selesai dia bicara, langsung mendapat bentakan: “Apa, kau mau memunculkan fam baru. Yang benar saja. Masak fam baru yang kau mau munculkan MOKOBLAKANG?! Engkau benar-benar telah menghina kami…”
Walhasil, menurut kisah ini, bukan hanya pernikahannya yang tidak jadi tapi dia juga terusir dari wilayah KOTA. Namun kisah ini berakhir luar biasa romantis. Sang putrid menyusul calon suaminya sehingga membuat heboh seluruh ORANG KOTA.
Bagaimana akhir kisah ini? Insya Allah tunggu saja novelnya, hahahaha…
Eh, jangan bilang sadis donk. Ini kan hanya kisah yang jelas fiksinya, hehehe. Satu hal yang pasti, ORANG KOTA itu sangat well come kok sama orang luar. Karena itu, tak sedikit orang luar etnis Mongondow yang menjadi ORANG KOTA.
Walau dari namanya sudah Kota dan sejak 2007 telah berstatus sebagai Kota, namun cirri masyarakat pedalaman masih nampak. ORANG KOTA belum begitu beraneka ragam. Setahu kami, yang benar-benar beragam itu hanya di kelurahan Kotamobagu, Gogagoman, Kotabangon dan Mogolaing—sementara di Desa/Kelurahan yang lain masih cukup seragam dengan tradisi ke-Mongondow-annya.
Sekali lagi, ini bukan berarti ORANG KOTA dari etnis Mongondow menolak orang luar lho. Banyak juga dari luar etnis Mongondow yang karena proses naturalisasi kemudian menjadi ORANG KOTA. Bahkan ada dari mereka yang cukup cekatan membuat salamat, pantung, tolibag atau jenis bahasa adapt lainnya. Karena kebisaan mereka ini sehingga banyak juga diantara mereka yang kemudian diangkat menjadi guhanga in lipu’—sejenis tua kampung yang menangani semua persoalan adat mulai dari perkawinan sampai kematian. Bahkan ada yang sampai menjadi Bupati. Lho, benar ini. Nggak percaya. Coba saja lihat di sejarah pemerintahan di WILAYAH KOTA ini, sejak wilayah ini masih satu dalam Kabupaten Bolaang Mongondow sampai akhirnya terpecah menjadi 4 Kabupaten dan 1 Kota.
Kami pernah berdebat dengan teman-teman ketika masih di Jawa.
“War, Bolaang Mongondow itu di Sumatera apa di Sulawesi sich?” tanya seorang teman.
“Yach jelas Sulawesi lha, tepatnya di utara Sulawesi,” jawab kami cuek sambil menonton monitor computer yang dipasangi tv tuner.
“Eh, bola. Di situ dulu,” kata teman. “Eh, rupanya Persibom main nich.”
Walau kami tak begitu hobi bola, sekalipun Persibom—kesebelasan dari daerah kami yang main—dan aku pemilik computer, namun tak tega juga menolak keinginan teman-teman.
Kami kira akan langsung main, eh ternyata wawancara dulu dan kebetulan yang diwawancarai itu Bupati dari daerah kami yang menjadi penasehat tim Persibom. Buru-buru kami ke belakang dengan mimic yang dibuat-buat seakan-akan ada yang akan keluar jika kami tidak segera ke belakang. Sedang sembunyi di dalam kamar kecil tiba-tiba teman berteriak: “War, Siahaan itu dari Sulawesi yach?”
Gedugbrag, tanpa sadar ember pakaian kena tendang.
Yang dimaksud teman kami itu Ny. Hj. Marlina Moha Siahaan, beliau Bupati kami sebelum digantikan Salihi Mokodongan—Bupati sekarang. Beliau memerintah daerah kami sampai dua periode.
Bunda, demikian beliau biasa disapa, memang berayahkan orang Sumatera Utara, Batak tepatnya—dari sinilah marga Siahaan beliau sandang. Namun ibu beliau bermarga Sugeha dan masih merupakan turunan salah satu raja kami yang bernama Datu Abraham Panungkelan Sugeha.
Nah, jelas kami sangat open mainded kan?
Ada satu ukuran yang jelas untuk menjadi INTAU KOTA atau ORANG KOTA dalam pengertian budaya, yaitu harus bisa menjadi Orang Kota tanpa melihat dari mana asalnya.
»»  LANJUTKAN???...

Kamis, 05 Mei 2011

Paloko-Kinalang

Kisah Pecinta dan Dicinta Dalam Sejarah Kuasa

Bolaang Mongondow sebenarnya bisa juga disebut gudang kisah—ada yang nyata dan ada yang fiksi. Salah satu kisah nyata yang abadi sampai sekarang adalah dodandian Paloko-Kinalang (perjanjian Paloko-Kinalang) yang monumental itu.
Perjanjian Paloko-Kinalang dibuat pada masa Tadohe (Sadohe) menjadi Punu’ atau Tule’ Molantud (pimpinan masyarakat Bolaang Mongondow sebelum masuk zaman Datu) sekitar tahun 1600-an. Perjanjian ini merupakan perjanjian antara rakyat (yang diwakili para bogani) dan penguasa. Perjanjian ini bisa dikatakan sebagai ground norm (norma dasar) dan dari sini juga turun aturan-aturan resmi berbentuk hukum adat yang selama lima Punu’ sebelumnya (Mokodoludut, Yayu Bangkai, Damopolii, Busisi, dan Mokodompit) belum ada.
Dengan perjanjian, kita bisa menyebut Punu’ Tadohe sebagai peletak hukum. Namun yang jadi pertanyaan, siapa Paloko-Kinalang? Apakah keduanya hanya simbol atau manusia yang kemudian disimbolkan? Dan apa makna dari perjanjian ini?

Perbauran Antar Masa
Bolaang Mongondow dari masa ke masa merupakan negeri oral. Kisah—baik nyata maupun fiksi—hanya dituturkan lewat lisan tanpa dituliskan. Tulisan-tulisan justru kita dapatkan dari penulis Belanda (salah satunya W. Dunnebier yang terjemahannya saya gunakan sebagai pegangan dalam penulisan artikel ini). Banyak memang sisi lemah dari tulisan Belanda ini. Pertama, mereka datang jauh setelah kejadian terjadi (Dunnebier tiba di Bolaang Mongondow sekitar tahun 1948) sehingga yang ada hanya pengumpulan bahan dari penuturan masyarakat. Kedua, bagaimanapun Belanda adalah penjajah yang cenderung melemahkan apa yang dilakukan oleh negeri jajahan. Namun kita tak punya pilihan lain.
Jika kita membaca buku Dunnebier terjemahan R. Mokoginta yang berjudul Mengenal Raja-raja Bolaang Mongondow akan kita temukan bahwa Perjanjian Paloko-Kinalang yang monumental itu dibuat pada masa Punu’ Tadohe (sekitar tahun 1600 M) namun hanya Paloko yang hidup pada masa itu, sedangkan Kinalang telah lama meninggal saat perjanjian tersebut dibuat.
Paloko adalah orang yang mendiami sekitar kali Kinotobangan (sekarang Kotabangon). Dikisahkan, setelah Tadohe dewasa maka dia pergi ke Bonugalan (sekarang Desa Uangga) untuk mengawini putri Datulansike dan Linangkasi. Namun ternyata dia diusir oleh orang tua sang putri. Akhirnya, dengan penuh kekecewaan Todohe hendak kembali ke Togid (wilayah Kotabunan). Di kali Kotabangon dia bertemu dengan Paloko yang sedang menangkap ikan dengan tangan. Paloko berusaha mencegah niat Tadohe ke Togid dengan bermacam cara, bahkan sampai menyerahkan empat keping doit (uang lama) dan sebungkus beras sebagai tanda takluk. Ternyata yang berhasil adalah dengan menyerahkan cucunya untuk dinikahi Tadohe tanpa mas kawin (tali’). Akhirnya, ketika Tadohe dijadikan Punu’ oleh para Bogani dan dibuat perjanjian antara rakyat yang diwakili para Bogani dan penguasa yang diwakili oleh Tadohe maka penamaan untuk rakyat diistimbatkan pada Paloko. Tidak diketahui pasti mengapa demikian. Mungkin saja karena penyerahan diri penuh—sampai-sampai menyerahkan cucunya untuk dinikahi tanpa mas kawin—pada penguasa (Tadohe’) yang membuat namanya dijadikan pelambang.
Kinalang adalah gelar untuk Damopolii yang memerintah seabad lebih sebelum perjanjian Paloko-Kinalang dibuat. Punu’ Damopolii memerintah tahun 1480-1510 M. Damopolii adalah Punu’ ketiga setelah Mokodoludut dan Yayubangkai. Dikisahkan bahwa Punu’ Damopolii merupakan penguasa besar, kekuasaannya sampai di daerah Minahasa. Dan menurut saya, penguasaannya bukan sekadar karena penaklukan dengan kekerasan (perang) namun beliau punya cara sendiri sehingga Bolaang Mongondow dan Minahasa bisa bersatu dibawah kepemimpinannya. Hal ini dapat dilihat dari pemakaian fam (marga) Ramopolii, Polii, Damo, yang merupakan pengubahan dari Damopolii di Minahasa. Adanya fam ini menurut hemat kami menunjukan keakraban beliau dengan rakyat Minahasa.
Dijelaskan bahwa gelar Kinalang bukan hanya disandangkan pada Punu’ Damopolii tapi juga pada semua keturunannya yang menjalankan kekuasaan. Ketika Punu’ Damopolii meninggal diadakan acara berkabung yang disebut ‘Mongalang’ atau ‘Kinalang’. Karena acara ini diadakan pertama kali pada masa wafatnya Punu’ Damopolii sehingga lazim disebut ‘Damopolii inta Kinalang’.
Kinalang merupakan simbol penguasa yang dicintai oleh rakyatnya sehingga kepergiannya ditangisi secara “resmi” oleh rakyat selama 7 hari 7 malam—seakan-akan rakyat ingin dibawa serta oleh sang penguasa ke alam baka sana. Kecintaan rakyat ini yang membuat pembangunan berjalan dengan cepat. Juga namanya terukir dengan indah sepanjang masa.

Adakah Paloko-Kinalang Sekarang?
Jelas keberadaan Paloko-Kinalang bukan hanya impian warga di tanah Totabuan, bahkan bukan hanya warga di Sulawesi Utara yang pernah dikuasi oleh para Kinalang, atau bukan hanya Indonesia di mana negeri para Kinalang ini sekarang ini bergabung. Keberadaan Paloko-Kinalang ini menjadi impian umat manusia di atas bumi Allah ini.
Namun, apakah ada yang seperti ini saat ini? Apakah ada rakyat yang takluk penuh pada penguasa karena merasa dirinya akan dapat disejahterakan oleh penguasa? Adakah penguasa yang dicintai rakyat sedemikian rupa sehingga namanyapun menjadi prasasti walau telah meninggal puluhan tahun? Adakah penguasa yang dicintai rakyat karena mampu mensejahterakan rakyat? (ATS)
»»  LANJUTKAN???...

FENOMENA ADM

Aditya Anugerah Moha atau biasa dipanggil Didi merupakan sebuah fenomena. Bukan karena singkatan namanya yang mungkin seharusnya AAM kemudian diganti ADM (Aditya Didi Moha) sampai membuatnya berusaha memasukan kata “Didi” dalam namanya resmi di pengadilan yang menjadi fenomena melainkan keberhasilannya meraup suara rakyat pada pemilu lalu yang membuat kita harus berdecak kagum dan menyatakan salut.
 Saya katakan “harus” karena ini yang perlu kita lakukan dalam kerangka memaknai demokrasi. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dey) mmbuat fardhu ain baik kita untuk menghormati suara rakyat itu. Termasuk saya yang sejujurnya tidak berpihak pada ADM karena menurutku dia masih terlalu muda untuk dijadikan utusan rakyat ke DPR RI walau jujur juga harus saya katakan bahwa saya tidak memihak pada caleg DPR RI lain yang menjadi rival ADM.
Kemenangan ADM menjadi fenomenal bukan hanya karena usianya yang masih terlalu muda, saat ini dia baru berusia 27 tahun ke 28. Usia yang masih terlalu muda ini sejujurnya yang membuat saya dan ada beberapa orang lagi tidak begitu berpihak padanya. Pengalaman—dalam hitungan saya—masih sangat kurang, dia baru tiga tahun terakhir ini masuk dan serius menekuni organisasi walau sudah langsung ke level yang tinggi. Dalam konteks komunikasi massa dia juga baru berpraktek saat Pilkada 2006 lalu. Citra keluarga sedikit terguncang ketika Ayahandanya diduga terjerat suatu kasus yang tentu akan menurunkan popularitas dirinya. Namun hasil yang dia dapat sungguh di luar prediksi. Dia melejit bagai roket.
Banyak dugaan yang muncul. Mulai dari pengaruh Sang Bunda yang merupakan orang nomor satu Bolmong yang telah memekarkan Bolmong sehingga menjadi empat Kabupaten dan satu Kota, money politic, tekanan-tekanan pada pemilih, kecurangan sampai ada yang bersuara untuk membuka ulang kotak suara, dan lainnya, dan sebagainya. Namun harus kita sadar bahwa rakyat telah bicara yang dalam sudut pandang demokrasi berarti Tuhan telah menentukan pilihan, mungkin dari sudut pandang agama dikatakan Tuhan memang menghendaki ADM mewakili Sulawesi Utara, terutama Bolmong.
Di luar pengaruh Sang Bunda, harus juga kita akui bahwa ADM sangat cepat beradaptasi dengan alam politik. Dia mampu menghipnotis massa, juga cukup bijak dan fasih dalam bicara. Tim suksesnya pun mampu menggalang opini sehingga peristiwa yang menghancurkan citra justru dapat dibalikan sehingga berbalik menguntungkan. Terlepas dari politik, pribadi ADM juga dipandang cukup dekat dengan rakyat sehingga bercampak secara politik padanya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kata “Anugerah” dari namanya memang tak perlu dilekatkan karena dia merupakan “anugerah” bagi Bolmong.
Kesemua uraian diatas membuat kita berkesimpulan bahwa suara rakyat ke ADM memang pantas. Wajar juga jika perolehan suaranya melebihi caleg dari Bolmong saat pemilu 2004 lalu walau tantangan bagi caleg Bolmong dalam pemilu kali ini sebenarnya lebih besar.
Tulisan ini merupakan pengakuan atas ke fenomenalan ADM, pengakuan terhadap pilihan rakyat, pengakuan terjhadap demokrasi yang telah menyamakan suara rakyat dengan suara Tuhan. Namun tulisan ini belum mengakui kepantasan seorang ADM dalam mewakil rakyat Sulut ke Senayan. Sampai tulisan ini dirampungkan saya masih berpendapat bahwa ADM masih terlalu muda untuk bicara atas nama rakyat di Senayan, terutama Bolmong Raya ingin menjadi Provinsi. Saya katakan belum karena ADM masih perlu membuktikan bahwa dia memang pantas.
Pertarungan untuk memperebutkan hati rakyat telah usai. Rakyat telah  menentukan kepada siapa mereka menggantungkan harapan. fenomena ADM merupakan keberhasilan rakyat Bolmong dalam menunjukan jati dirinya. Siapapun harus mengakui. Kita sebagai bagian dari rakyat patut bersyukur dan mendukung.
Lebih lanjut, ada seorang teman yang bilang bahwa merebut hati rakyat dalam politik sesungguhnya sangatlah mudah karena banyak cara yang bisa ditempuh. Yang terpenting adalah bagaimana setelah hati rakyat berhasil direbut, di sinilah terletak mutiara dari politik. Semoga ADM sebagai sebuah fenomena akan mendapatkan mutiara ini. Dan kita punya kewajiban untuk membantunya.
Akhirnya, semoga fenomena ADM dapat memajukan Bolmong Raya, dapat menjadikan Bolmong sebagai bagian dari fenomena daerah-daerah di nusantara, membuat Bolmong Raya diperhitungkan seperti daerah lain dalam percaturan nasional maupun internasional. Semoga!
***
Ambang Pos, 27 April 2009
Anuar Syukur, SH
»»  LANJUTKAN???...

Mahalnya Biaya Membunuh Osama Bin Laden

Rabu, 04/05/2011 16:21 WIB
Mahalnya Biaya Membunuh Osama Bin Laden  
Ardi Winangun - detikNews

Jakarta - Serbuan tentara Amerika Serikat di sebuah rumah, di luar Kota Islamabad, Pakistan, yang menewaskan pemimpin tertinggi Al Qaeda Osama bin Laden, bisa jadi merupakan puncak dari invasi militer Amerika Serikat di Afghanistan, sebelum militer Amerika Serikat menarik diri dari Afghanistan yang telah diduduki sejak tahun 2001. Tewasnya Osama merupakan sebuah prestasi bagi Presiden Amerika Serikat Obama dalam memerangi terorisme, bahkan tewasnya itu segera diumumkan langsung oleh Obama dalam sebuah pidato di televisi yang disiarkan secara langsung. Prestasi ini bisa menjadi modal atau pencitraan bagi Obama dalam US Election 2012.
»»  LANJUTKAN???...

Mengapa Osama Bin Laden Diberi Kode 'Geronimo'?


Mengapa Osama Bin Laden Diberi Kode 'Geronimo'?  
Suci Dian Firani - detikNews




London - Dalam operasi militer yang digelar Amerika Serikat (AS), ada kode khusus untuk menyebut pimpinan Al Qaeda Osama bin Laden, yakni Geronimo. Mengapa nama tersebut dipilih?


»»  LANJUTKAN???...

Siswa Teladan yang Butuh Kepedulian

Elisa Zelin Tampoi
Siswa Teladan yang Butuh Kepedulian

Bolaang Mongondow (bersatu) pada umumnya, Kotamobagu pada khususnya, sebenarnya punya segudang generasi muda yang handal. Di masa yang akan datang, merek ini yang akan menjadi tumpuan harapan dalam membangun daerah kita tercinta. Namun banyak juga yang ditundukan oleh keadaan sehingga mereka berhenti di tengah jalan. Kondisi ekonomi, ini momok yang sangat susah diatasi sendirian oleh generasi muda yang handal ini—dan karena ketidakmampuan mengatasi sehingga memaksa mereka untuk berhenti.
Kami cukup mengenal banyak kawan segenerasi yang mengalami hal ini. Dalam persaingan dari segi kecerdasan, mereka sesungguhnya lebih hebat dari kami. Mereka menjadi bintang sekolah sementara kami bukanlah apa-apa. Mereka bukan kami kalahkan, namun nasib yang mengalahkan mereka. Andai kami diberi fasilitas yang sama, kami yakin kami akan kalah.
Tentu saja kami tak bisa bersorak. Dalam perlombaan ini bukan kami yang menang dan mereka yang terhenti ditengah jalan adalah pihak yang kalah. Justru kita semua yang kalah, terutama daerah. Seharusnya mereka bisa memberi sumbangsi yang lebih pada daerah seandainya mereka tidak terhenti. Namun, sekarang mereka bukan apa-apa lagi sementara kami tak bisa memberikan lebih untuk daerah ini.
Terhentinya mereka yang berpikiran cemerlang membuat kita semua menderita kekalahan. Karena itu, ini tak boleh terulang pada generasi sekarang.
Elisa Zelin Tampoi adalah satu dari sedikit generasi muda yang handal dan bisa menjadi andalan di masa yang akan datang. Putri Poyowa Kecil kelahiran 5 Maret 1995 ini telah mengukir begitu banyak prestasi diusianya yang masih dini. Walau berasal dari keluarga yang sederhana namun juara sekolah selalu di tangannya. Saat menjadi siswa SDN 1 Poyowa Kecil, minimal dia juara 2. Selama 3 tahun di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Kotamobagu, dia selalu mendapat juara pertama.  Saat inipun, ketika dia melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kotamobagu, juara umum sudah digenggamannya.
“Insya Allah kalau Allah mengizinkan saya terus sekolah, saya akan berusaha mempertahankan dan meningkatkan nilai saya,” kata siswi kelas 2 jurusan IPA, MAN Kotamobagu ini.
Elin, demikian panggilannya, tak hanya bisa bersaing dengan kawan-kawannya melainkan telah banyak kali mewakili sekolah untuk bersaing ditingkat Kabupaten/Kota sampai Provinsi. Dan hasilnya luar biasa.
Pada bulan Juli 2008, bersama teman-temannya di MTsN Kotamobagu dia mendapat juara 2 Senam Santri pada Pekan Olahraga dan Seni antar Pondok Pesantren Daerah (Pospeda) tingkat Provinsi Sulawesi Utara. Pada bulan Agustus 2008 dia mendapatkan juara 1 dalam cabang fisika dan biologi di olimpiade Matematika, Fisika, Biologi (Mafikib) tingkat kabupaten Bolaang Mongondow. Pada olimpiader Mafikib tingkat Provinsi dia juga tetap mempertahankan juara 1 untuk cabang fisika dan biologi. Kemudian dia mengukiti lomba Siswa Teladan tingkat Provinsi di MAN Model Manado. Saat lomba MTQ, dia mendapat juara pertama untuk cabang Fahmi Quran (cerdas cermat al-Quran) tingkat Kabupaten Bolaang Mongondow dan juara 2 MTQ tingkat Provinsi Sulawesi Utara.
Generasi muda yang luar biasa. Sayangnya Elin tak tertunjang dengan kondisi ekonomi keluarga.
“Kami sesungguhnya sudah menyerah. Namun melihat prestasi dan keinginan anak, ya kami berusaha sebisa kami. Tapi kami berpesan padanya agar dia tidak iri melihat kawan-kawannya dan kalau kami memang sudah tidak mampu lagi maka sebaiknya dia berpikir yang arif dan bijaksana sehingga bisa menerima,” kata H. Paputungan, ibunda Elin.
Ayahanda Elin, M. S Tampoy, yang hanya buruh tani. Ibundanya hanya ibu rumah tangga. Keadaan ini memang tak cukup memberi fasilitas bagi pemenang berbagai lomba ini untuk dapat menggapai cita-citanya. Bahkan bisa saja keadaan mengharuskan dia berhenti di tengah jalan. Padahal, bagi anak muda secerdas Elin, 6 tahun adalah waktu yang lama untuk menggapai sarjana dihitung sejak dia kelas 2 sekarang. Dan kami meyakini dia akan menjadi sarjana yang mumpuni dan bisa mengabdikan diri pada negeri.
“Walau kekurangan namun aku ingin memperlihatkan apa yang mampu aku lakukan. Aku berharap dengan apa yang mampu kulakukan ini bisa membantuku menggapai cita-cita,” kata Elin.
Dia berencana, dengan berbagai prestasinya, dia akan mengurus berbagai beasiswa yang tersedia. Namun ternyata tidak mudah. Bahkan ada beberapa lomba yang diikutinya dan dia menangkan belum ada ditangan padahal itu merupakan bukti dari prestasinya.
“Bagi kami, sertifikat itu sangat penting karena merupakan bukti prestasi anak kami. Lagi pula, mungkin saja sertifikat itu bisa membantu sekolahnya. Namun ketika ditanyakan ke sekolah, katanya sertifikat itu masih di Depag dan akan diantar kalau sudah diberikan ke sekolah. Kami sungkan untuk terus menanyakan karena takut disangka tidak percaya pada sekolah. Mungkin bagaimana sebaiknya kami bersikap?” tanya Ibunda Elin.
Padanya, kami mengatakan semoga pihak terkait bisa memperhatikan setelah membaca tulisan ini karena kami tak bisa berbuat lebih selain menuliskan.
Agar tidak terganggu belajarnya, saat ini Elin tinggal di rumah kakak perempuannya yang baru bisa memberikan tempat baginya untuk belajar dengan tenang namun belum bisa memberikan bantuan lebih.
Elin terus berusaha membuktikan diri dengan mengukir prestasi sampai kondisi yang ada memang mengharuskan dia untuk berhenti berkarya. Pada titik ini, pada semangat yang terpancar dari jiwa muda ini, pada prestasi yang memang terbukti, pada kemungkinan semua ini akan sirnah karena kondisi ekonomi yang tak memberi kesempatan baginya, kami terpanggil.
Namun kami hanya mampu menuliskan. Pada pembaca dan pengambil kebijakan kami harapkan uluran tangan. Bukan sekadar untuk seorang Eliza Zelin Tampoy melainkan untuk menyelamatkan generasi muda potensial yang Insya Allah akan berguna di masa yang akan datang. Uluran tangan pada generasi muda seperti Elin Insya Allah merupakan investasi yang tidak akan merugikan.
Telah banyak sumberdaya manusia potensial yang terabaikan pada generasi terdahulu, termasuk teman-teman digenerasi kami. Saat ini mereka tak bisa memberikan lebih. Semoga pada generasi Zelin ini tidak terjadi. (ATS)

»»  LANJUTKAN???...

Rabu, 04 Mei 2011

Yondog dan Orang Kota

Yondog itu tanaman yang menjadi cirri orang Kota. Jika orang kota mempunyai kepekaan terhadap identitasnya maka bisa dipastikan ada yondog di halaman rumahnya di manapun dia berada.
Tanaman semak ini bentuknya—katanya sih—mirip ganja. Karena itu, saat tinggal di Pondok Teratai, Bogor, kami nyaris ditangkap masal gara-gara yondog ini. Seorang petugas sempat menghentikan sepeda motornya hanya untuk memperhatikan pohon yondog yang memang sengaja ditanam di luar pagar, dekat selokan.
Sempat terjadi tanya jawab yang agak mengarah ke debat. Dan cerita menjadi asyik karena ada “pulutnya”.
“Setahu saya ganja kagak ada pulutnya, Pak,” kata seseorang dengan logat yg ke-Betawi-betawi-an, plus ke-Sunda-sunda-an, plus ke-Jawa-jawa-an.
Walau logat sudah dicampur sedemikian rupa sehingga mirip tinutuan namun ada yang membingungkan, yaitu “pulutnya”. Tuan dan Puan tau apa itu “pulutnya”? Hahahaha, sang petugas saja bingung. Tapi Alhamdulillah karena “pulutnya”, sang petugas bisa memahami apa itu yondog, dan kami luput dari diskusi yang mengarah ke debat. Padahal kalau diperhatikan kata-kata seseorang ini maka bisa diartikan … (titik-titik saja yach, kami kan bukan penyidik, hehehe).
Ou, sory, “pulutnya” itu berarti “getahnya”…
Selain merupakan tanaman khas, yondog juga merupakan makanan khas bagi orang Kota. Rasanya tak lengkap keberadaan kita kalau belum merasakan yondog. Rasanya wuenak poll kalau disantan dengan ditemani sambel kepala ikan atau sambel ikan teri dan nasinya dari dari jagung ketan putih yang digiling.
Selain itu, yondog juga merupakan obat untuk memperlancar pencernaan. Jika Tuan dan Puan kesusahan buang air besar, coba rebus daun yondog dan diminum airnya. Insya Allah akan lancar kembali buang air besarnya.
Keunggulan lainnya dari yondog ini, Insya Allah Tuan dan Puan akan lancar tumomongondow dengan makan dan Insya Allah tak akan melupakan bahasa Mongondow walau di manapun Tuan dan Puan berada setelah makan yondog yang di Manado biasa disebut gedi ini.
Kami punya pengalaman ketika berada di Jakarta, saat di dalam bis kota dengan panasnya yang menyesakan dada. Saat itu, ada seorang yang mungkin 5 tahun lebih tua naik dan langsung memilih tempat berdiri disamping tempat duduk kami. Disuasana yang gerah, ditambah berhimpitannya penumpang di dalam bisa membuat keringat yang keluar seperti jagung besarnya. Keringat itu mengeluarkan bau yg jelas tidak sedap tapi kita tak perlu menuding orang karena keringat kita pun sesungguhnya sama walau kita sudah bermandikan parfum segala. Namun disaat-saat itu, apa saja bisa menjadi bahan perbincangan disertai dengan ejekan.
“Huuu, bo’ i Ama’ tana’a nadon bo’ in ko dua pitu (huuu, bau bapak ini sudah seperti bau 2 kali 7[1]),” kata teman kami yang kebetulan tempat duduknya tepat disamping bapak itu berdiri.
“Ambe dia’ bi’ pobalon mako (sudah, tendang saja),” jawab kami.
Kamipun tertawa, nyaris terbahak yang membuat lainnya terpaksa memandang ke arah kami.
“Au’ da bagu pabi’ tolu no singgai dia’ noinggu’ na’a. Bo na’aipa ambe pobalon sin nolopi’ don (sebenarnya baru tiga hari tidak mandi ini. Dan, janganlah sampai ditendang karena sudah capek),” sambut bapak itu yang membuat merah padam muka kami.
Dalam beberpa kali pertemuan dengan orant-orang tua di Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang, Surabaya, dan tempat-tempat lain dirantau Mongondow, para sesepuh itupun masih menguasai bahasa Mongondow—bahkan pada kalimat-kalimat Mongondow tua yang kami sendiri kurang tahu artinya.
Namun kami cukup prihatin pada generasi muda yang benar-benar berdomisili di Kotamobagu dan bisa dikatakan tak pernah ke luar daerah. Justru mereka ini yang tidak bisa bahasa ibunya. Ada juga yang sebenarnya bisa berbahasa ibu tapi gengsi. Katanya, tumomongondow nggak gaul geto lho!
Dan lebih prihatin lagi ketika ini terjadi pada kalangan pelajar yang nota bene merupakan penerus roda kepemimpinan—akan seperti apa ORANG KOTA ini di masa yang akan datang? Mungkin tak akan menjadi ORANG KOTA lagi.
Gua kagak tahu ini salah siapa. Apa salah orang tua atau salah guru, yang jelas para pelajar ini pun salah karena memelihara gengsi yang tidak pada tempatnya. Juga sarana dan prasarana agar generasi muda lebih mencintai daerah serta pernak-pernik yang terkait di dalamnya juga sangat kurang. Bayangkan, koleksi perpustakaan yang terkait dengan daerah sangat minim jumlahnya. Aduhhhh..
Tapi yondog tetap punya peranan. Sepanjang ORANG KOTA masih hobi makan yondog maka dia tak akan lupa pada bahasanya. Minimal mereka akan mencampurkan bahasa Mongondow saat berbicara.
“Ambe, jangan bi’ bagitu ngana pe tulisan. Kalu bagini, ngana sama dengan baloleke torang pe daerah,” kata seorang pembaca beberapa tulisan pada kami.
Kata: Ambe, bi’, baloleke itu dari bahasa Mongondow. “Ambe” dan “bi’” itu semacam kata sambung, awalan maupun akhiran dalam bahas Mongondow, sedangkan “baloleke” itu artinya “mengejek”. Kata-kata yang lain itu bisa dilihat di kamus bahasa Manado. (ATS)


[1] Terjemahan harfiah dari “ko dua pitu” adalah 2 kali 7, maksudnya 14 hari. Kalimat ini biasa digunakan untuk menghitung malam-malam untuk seorang yg meninggal. Anda bisa bayangkan bau mayat yang sudah 14 hari meninggalnya, tentu Anda butuh penutup hidung sampai 7 lapis tebalnya, hehe
»»  LANJUTKAN???...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB