Kamis, 05 Mei 2011

Paloko-Kinalang

Kisah Pecinta dan Dicinta Dalam Sejarah Kuasa

Bolaang Mongondow sebenarnya bisa juga disebut gudang kisah—ada yang nyata dan ada yang fiksi. Salah satu kisah nyata yang abadi sampai sekarang adalah dodandian Paloko-Kinalang (perjanjian Paloko-Kinalang) yang monumental itu.
Perjanjian Paloko-Kinalang dibuat pada masa Tadohe (Sadohe) menjadi Punu’ atau Tule’ Molantud (pimpinan masyarakat Bolaang Mongondow sebelum masuk zaman Datu) sekitar tahun 1600-an. Perjanjian ini merupakan perjanjian antara rakyat (yang diwakili para bogani) dan penguasa. Perjanjian ini bisa dikatakan sebagai ground norm (norma dasar) dan dari sini juga turun aturan-aturan resmi berbentuk hukum adat yang selama lima Punu’ sebelumnya (Mokodoludut, Yayu Bangkai, Damopolii, Busisi, dan Mokodompit) belum ada.
Dengan perjanjian, kita bisa menyebut Punu’ Tadohe sebagai peletak hukum. Namun yang jadi pertanyaan, siapa Paloko-Kinalang? Apakah keduanya hanya simbol atau manusia yang kemudian disimbolkan? Dan apa makna dari perjanjian ini?

Perbauran Antar Masa
Bolaang Mongondow dari masa ke masa merupakan negeri oral. Kisah—baik nyata maupun fiksi—hanya dituturkan lewat lisan tanpa dituliskan. Tulisan-tulisan justru kita dapatkan dari penulis Belanda (salah satunya W. Dunnebier yang terjemahannya saya gunakan sebagai pegangan dalam penulisan artikel ini). Banyak memang sisi lemah dari tulisan Belanda ini. Pertama, mereka datang jauh setelah kejadian terjadi (Dunnebier tiba di Bolaang Mongondow sekitar tahun 1948) sehingga yang ada hanya pengumpulan bahan dari penuturan masyarakat. Kedua, bagaimanapun Belanda adalah penjajah yang cenderung melemahkan apa yang dilakukan oleh negeri jajahan. Namun kita tak punya pilihan lain.
Jika kita membaca buku Dunnebier terjemahan R. Mokoginta yang berjudul Mengenal Raja-raja Bolaang Mongondow akan kita temukan bahwa Perjanjian Paloko-Kinalang yang monumental itu dibuat pada masa Punu’ Tadohe (sekitar tahun 1600 M) namun hanya Paloko yang hidup pada masa itu, sedangkan Kinalang telah lama meninggal saat perjanjian tersebut dibuat.
Paloko adalah orang yang mendiami sekitar kali Kinotobangan (sekarang Kotabangon). Dikisahkan, setelah Tadohe dewasa maka dia pergi ke Bonugalan (sekarang Desa Uangga) untuk mengawini putri Datulansike dan Linangkasi. Namun ternyata dia diusir oleh orang tua sang putri. Akhirnya, dengan penuh kekecewaan Todohe hendak kembali ke Togid (wilayah Kotabunan). Di kali Kotabangon dia bertemu dengan Paloko yang sedang menangkap ikan dengan tangan. Paloko berusaha mencegah niat Tadohe ke Togid dengan bermacam cara, bahkan sampai menyerahkan empat keping doit (uang lama) dan sebungkus beras sebagai tanda takluk. Ternyata yang berhasil adalah dengan menyerahkan cucunya untuk dinikahi Tadohe tanpa mas kawin (tali’). Akhirnya, ketika Tadohe dijadikan Punu’ oleh para Bogani dan dibuat perjanjian antara rakyat yang diwakili para Bogani dan penguasa yang diwakili oleh Tadohe maka penamaan untuk rakyat diistimbatkan pada Paloko. Tidak diketahui pasti mengapa demikian. Mungkin saja karena penyerahan diri penuh—sampai-sampai menyerahkan cucunya untuk dinikahi tanpa mas kawin—pada penguasa (Tadohe’) yang membuat namanya dijadikan pelambang.
Kinalang adalah gelar untuk Damopolii yang memerintah seabad lebih sebelum perjanjian Paloko-Kinalang dibuat. Punu’ Damopolii memerintah tahun 1480-1510 M. Damopolii adalah Punu’ ketiga setelah Mokodoludut dan Yayubangkai. Dikisahkan bahwa Punu’ Damopolii merupakan penguasa besar, kekuasaannya sampai di daerah Minahasa. Dan menurut saya, penguasaannya bukan sekadar karena penaklukan dengan kekerasan (perang) namun beliau punya cara sendiri sehingga Bolaang Mongondow dan Minahasa bisa bersatu dibawah kepemimpinannya. Hal ini dapat dilihat dari pemakaian fam (marga) Ramopolii, Polii, Damo, yang merupakan pengubahan dari Damopolii di Minahasa. Adanya fam ini menurut hemat kami menunjukan keakraban beliau dengan rakyat Minahasa.
Dijelaskan bahwa gelar Kinalang bukan hanya disandangkan pada Punu’ Damopolii tapi juga pada semua keturunannya yang menjalankan kekuasaan. Ketika Punu’ Damopolii meninggal diadakan acara berkabung yang disebut ‘Mongalang’ atau ‘Kinalang’. Karena acara ini diadakan pertama kali pada masa wafatnya Punu’ Damopolii sehingga lazim disebut ‘Damopolii inta Kinalang’.
Kinalang merupakan simbol penguasa yang dicintai oleh rakyatnya sehingga kepergiannya ditangisi secara “resmi” oleh rakyat selama 7 hari 7 malam—seakan-akan rakyat ingin dibawa serta oleh sang penguasa ke alam baka sana. Kecintaan rakyat ini yang membuat pembangunan berjalan dengan cepat. Juga namanya terukir dengan indah sepanjang masa.

Adakah Paloko-Kinalang Sekarang?
Jelas keberadaan Paloko-Kinalang bukan hanya impian warga di tanah Totabuan, bahkan bukan hanya warga di Sulawesi Utara yang pernah dikuasi oleh para Kinalang, atau bukan hanya Indonesia di mana negeri para Kinalang ini sekarang ini bergabung. Keberadaan Paloko-Kinalang ini menjadi impian umat manusia di atas bumi Allah ini.
Namun, apakah ada yang seperti ini saat ini? Apakah ada rakyat yang takluk penuh pada penguasa karena merasa dirinya akan dapat disejahterakan oleh penguasa? Adakah penguasa yang dicintai rakyat sedemikian rupa sehingga namanyapun menjadi prasasti walau telah meninggal puluhan tahun? Adakah penguasa yang dicintai rakyat karena mampu mensejahterakan rakyat? (ATS)

Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. tulisan ini juga bisa di baca di

    http://oranglolak.blogspot.com/2011/08/paloko-kinalang.html

    BalasHapus

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB