Jumat, 06 Mei 2011

Intau Kota


Wadow, belum apa-apa sudah disodorin kata-kata langit lage. Mungkin Tuan dan Puan akan misu-misu begitu. Tapi Tuan dan puan kan memasuki Kotamobagu yach harus begitu. Gua juga pan begitu ketika gua ke Jakarte, kitu juga pas abdi jalan-jalan ka Bandung, sami mawon nek kulo dolan neng Malang, dan lain-lain. Kan di mana bumi dipijak di situ langit di junjung. Geto lho—pakai bahasa gaul dikit yach, hehe..
Lagi pula Tuan dan Puan memang ingin menikmati daerah saya kan? Menikmati segala pernak-pernik yang terkait dengannya. Nah, nikmati saja!
Tapi agar tidak memunculkan prasangka, saya coba jelaskan tentang arti judul di atas. “Intau” itu bahasa Indonesianya “Orang”, sementara “Kota” ya “Kota”, jadi kalau digabungin maka “Intau Kota” berarti “Orang Kota”.
Lha, apa tidak tumpang tindih dengan yang judulnya “Orang Kota”?
Kalau tumpang mungkin iya, tapi kalau tindih sich kayaknya tidak. Emang dalam persoalan ini, siapa yang menindih siapa? Hehehe..
Maksud kami gene lho, yang judulnya “Orang Kota” itu pembahasannya lebih umum, sementara yang “Intau Kota” ini lebih ke arah sosiologis, tepatnya budaya kalau bisa dikatakan demikian. Lebih baik lanjut saja yach, biar bisa paham maksud kami. Tapi kalau belum Pa Ham, Bu Ham juga nggak apa-apa ko’—lho emangnya kita mau membahas apa nich?..
Walau dari sononya sudah Kota namun Tuan dan Puan akan mendpatkan cirri masyarakat pedalaman yang kental di tempat kami. Masyarakat Kotamobagu belum begitu plural kecuali di beberapa tempat. Keanekagamana sebagaimana yang ada di kota-kota lain sesungguhnya belum nampak. Setahu kami, hanya di kelurahan Gogagoman, Kotabangon, Mogolaing dan Kotamobagu yang keanekaragamannya cukup terlihat. Tapi di Desa atau kelurahan lain, kepluralan ada tapi dia telah membaur dalam system adat dan budaya setempat.
Orang Kota mayoritas dari etnis Mongondow. Cirri-ciri dari etnis Mongondow itu, seperti umumnya masyarakat di Sulut, Orang Kota punya marga atau fam atau nama keluarga besar. Marga yang paling banyak diawali dengan kata “Moko”.
Ada cerita lucu tentang “Moko” ini..
Suatu waktu, ada pertemua keluarga besar. Seorang anak gadis dari keluarga tersebut membawa calon suaminya dari luar etnis Mongondow untuk diperkenalkan pada keluarga besar. Dan sang calon suami pun berbaur. Sang pria ini sungguh pintar dalam bergaur sehingga dalam waktu sekejap dia sudah mendapat simpati dari keluarga besar—bahkan ada yang langsung meminta keduanya agar segera menikah yang disambut keduanya dengan wajah memerah.
Namun, semua itu buyar ketika sang calon suami salah berkata. Saat itu dia sedang rasa buang air kecil alias kebelet. Dia pun berkata: “Saya mo ke belakang..”
Belum selesai dia bicara, langsung mendapat bentakan: “Apa, kau mau memunculkan fam baru. Yang benar saja. Masak fam baru yang kau mau munculkan MOKOBLAKANG?! Engkau benar-benar telah menghina kami…”
Walhasil, menurut kisah ini, bukan hanya pernikahannya yang tidak jadi tapi dia juga terusir dari wilayah KOTA. Namun kisah ini berakhir luar biasa romantis. Sang putrid menyusul calon suaminya sehingga membuat heboh seluruh ORANG KOTA.
Bagaimana akhir kisah ini? Insya Allah tunggu saja novelnya, hahahaha…
Eh, jangan bilang sadis donk. Ini kan hanya kisah yang jelas fiksinya, hehehe. Satu hal yang pasti, ORANG KOTA itu sangat well come kok sama orang luar. Karena itu, tak sedikit orang luar etnis Mongondow yang menjadi ORANG KOTA.
Walau dari namanya sudah Kota dan sejak 2007 telah berstatus sebagai Kota, namun cirri masyarakat pedalaman masih nampak. ORANG KOTA belum begitu beraneka ragam. Setahu kami, yang benar-benar beragam itu hanya di kelurahan Kotamobagu, Gogagoman, Kotabangon dan Mogolaing—sementara di Desa/Kelurahan yang lain masih cukup seragam dengan tradisi ke-Mongondow-annya.
Sekali lagi, ini bukan berarti ORANG KOTA dari etnis Mongondow menolak orang luar lho. Banyak juga dari luar etnis Mongondow yang karena proses naturalisasi kemudian menjadi ORANG KOTA. Bahkan ada dari mereka yang cukup cekatan membuat salamat, pantung, tolibag atau jenis bahasa adapt lainnya. Karena kebisaan mereka ini sehingga banyak juga diantara mereka yang kemudian diangkat menjadi guhanga in lipu’—sejenis tua kampung yang menangani semua persoalan adat mulai dari perkawinan sampai kematian. Bahkan ada yang sampai menjadi Bupati. Lho, benar ini. Nggak percaya. Coba saja lihat di sejarah pemerintahan di WILAYAH KOTA ini, sejak wilayah ini masih satu dalam Kabupaten Bolaang Mongondow sampai akhirnya terpecah menjadi 4 Kabupaten dan 1 Kota.
Kami pernah berdebat dengan teman-teman ketika masih di Jawa.
“War, Bolaang Mongondow itu di Sumatera apa di Sulawesi sich?” tanya seorang teman.
“Yach jelas Sulawesi lha, tepatnya di utara Sulawesi,” jawab kami cuek sambil menonton monitor computer yang dipasangi tv tuner.
“Eh, bola. Di situ dulu,” kata teman. “Eh, rupanya Persibom main nich.”
Walau kami tak begitu hobi bola, sekalipun Persibom—kesebelasan dari daerah kami yang main—dan aku pemilik computer, namun tak tega juga menolak keinginan teman-teman.
Kami kira akan langsung main, eh ternyata wawancara dulu dan kebetulan yang diwawancarai itu Bupati dari daerah kami yang menjadi penasehat tim Persibom. Buru-buru kami ke belakang dengan mimic yang dibuat-buat seakan-akan ada yang akan keluar jika kami tidak segera ke belakang. Sedang sembunyi di dalam kamar kecil tiba-tiba teman berteriak: “War, Siahaan itu dari Sulawesi yach?”
Gedugbrag, tanpa sadar ember pakaian kena tendang.
Yang dimaksud teman kami itu Ny. Hj. Marlina Moha Siahaan, beliau Bupati kami sebelum digantikan Salihi Mokodongan—Bupati sekarang. Beliau memerintah daerah kami sampai dua periode.
Bunda, demikian beliau biasa disapa, memang berayahkan orang Sumatera Utara, Batak tepatnya—dari sinilah marga Siahaan beliau sandang. Namun ibu beliau bermarga Sugeha dan masih merupakan turunan salah satu raja kami yang bernama Datu Abraham Panungkelan Sugeha.
Nah, jelas kami sangat open mainded kan?
Ada satu ukuran yang jelas untuk menjadi INTAU KOTA atau ORANG KOTA dalam pengertian budaya, yaitu harus bisa menjadi Orang Kota tanpa melihat dari mana asalnya.

Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. cukup bagus utk sebuah bacaan novel yang mengangkat kebiasaan ucapan-ucapan orang kota yang sesungguhnya bukan bermakna kesombongan sebagai orang kota metropolitan namun sebuah kejujuran arafia masyarakat lokal..ORANG KOTA COY...

    BalasHapus

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB