Rabu, 04 Mei 2011

Yondog dan Orang Kota

Yondog itu tanaman yang menjadi cirri orang Kota. Jika orang kota mempunyai kepekaan terhadap identitasnya maka bisa dipastikan ada yondog di halaman rumahnya di manapun dia berada.
Tanaman semak ini bentuknya—katanya sih—mirip ganja. Karena itu, saat tinggal di Pondok Teratai, Bogor, kami nyaris ditangkap masal gara-gara yondog ini. Seorang petugas sempat menghentikan sepeda motornya hanya untuk memperhatikan pohon yondog yang memang sengaja ditanam di luar pagar, dekat selokan.
Sempat terjadi tanya jawab yang agak mengarah ke debat. Dan cerita menjadi asyik karena ada “pulutnya”.
“Setahu saya ganja kagak ada pulutnya, Pak,” kata seseorang dengan logat yg ke-Betawi-betawi-an, plus ke-Sunda-sunda-an, plus ke-Jawa-jawa-an.
Walau logat sudah dicampur sedemikian rupa sehingga mirip tinutuan namun ada yang membingungkan, yaitu “pulutnya”. Tuan dan Puan tau apa itu “pulutnya”? Hahahaha, sang petugas saja bingung. Tapi Alhamdulillah karena “pulutnya”, sang petugas bisa memahami apa itu yondog, dan kami luput dari diskusi yang mengarah ke debat. Padahal kalau diperhatikan kata-kata seseorang ini maka bisa diartikan … (titik-titik saja yach, kami kan bukan penyidik, hehehe).
Ou, sory, “pulutnya” itu berarti “getahnya”…
Selain merupakan tanaman khas, yondog juga merupakan makanan khas bagi orang Kota. Rasanya tak lengkap keberadaan kita kalau belum merasakan yondog. Rasanya wuenak poll kalau disantan dengan ditemani sambel kepala ikan atau sambel ikan teri dan nasinya dari dari jagung ketan putih yang digiling.
Selain itu, yondog juga merupakan obat untuk memperlancar pencernaan. Jika Tuan dan Puan kesusahan buang air besar, coba rebus daun yondog dan diminum airnya. Insya Allah akan lancar kembali buang air besarnya.
Keunggulan lainnya dari yondog ini, Insya Allah Tuan dan Puan akan lancar tumomongondow dengan makan dan Insya Allah tak akan melupakan bahasa Mongondow walau di manapun Tuan dan Puan berada setelah makan yondog yang di Manado biasa disebut gedi ini.
Kami punya pengalaman ketika berada di Jakarta, saat di dalam bis kota dengan panasnya yang menyesakan dada. Saat itu, ada seorang yang mungkin 5 tahun lebih tua naik dan langsung memilih tempat berdiri disamping tempat duduk kami. Disuasana yang gerah, ditambah berhimpitannya penumpang di dalam bisa membuat keringat yang keluar seperti jagung besarnya. Keringat itu mengeluarkan bau yg jelas tidak sedap tapi kita tak perlu menuding orang karena keringat kita pun sesungguhnya sama walau kita sudah bermandikan parfum segala. Namun disaat-saat itu, apa saja bisa menjadi bahan perbincangan disertai dengan ejekan.
“Huuu, bo’ i Ama’ tana’a nadon bo’ in ko dua pitu (huuu, bau bapak ini sudah seperti bau 2 kali 7[1]),” kata teman kami yang kebetulan tempat duduknya tepat disamping bapak itu berdiri.
“Ambe dia’ bi’ pobalon mako (sudah, tendang saja),” jawab kami.
Kamipun tertawa, nyaris terbahak yang membuat lainnya terpaksa memandang ke arah kami.
“Au’ da bagu pabi’ tolu no singgai dia’ noinggu’ na’a. Bo na’aipa ambe pobalon sin nolopi’ don (sebenarnya baru tiga hari tidak mandi ini. Dan, janganlah sampai ditendang karena sudah capek),” sambut bapak itu yang membuat merah padam muka kami.
Dalam beberpa kali pertemuan dengan orant-orang tua di Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang, Surabaya, dan tempat-tempat lain dirantau Mongondow, para sesepuh itupun masih menguasai bahasa Mongondow—bahkan pada kalimat-kalimat Mongondow tua yang kami sendiri kurang tahu artinya.
Namun kami cukup prihatin pada generasi muda yang benar-benar berdomisili di Kotamobagu dan bisa dikatakan tak pernah ke luar daerah. Justru mereka ini yang tidak bisa bahasa ibunya. Ada juga yang sebenarnya bisa berbahasa ibu tapi gengsi. Katanya, tumomongondow nggak gaul geto lho!
Dan lebih prihatin lagi ketika ini terjadi pada kalangan pelajar yang nota bene merupakan penerus roda kepemimpinan—akan seperti apa ORANG KOTA ini di masa yang akan datang? Mungkin tak akan menjadi ORANG KOTA lagi.
Gua kagak tahu ini salah siapa. Apa salah orang tua atau salah guru, yang jelas para pelajar ini pun salah karena memelihara gengsi yang tidak pada tempatnya. Juga sarana dan prasarana agar generasi muda lebih mencintai daerah serta pernak-pernik yang terkait di dalamnya juga sangat kurang. Bayangkan, koleksi perpustakaan yang terkait dengan daerah sangat minim jumlahnya. Aduhhhh..
Tapi yondog tetap punya peranan. Sepanjang ORANG KOTA masih hobi makan yondog maka dia tak akan lupa pada bahasanya. Minimal mereka akan mencampurkan bahasa Mongondow saat berbicara.
“Ambe, jangan bi’ bagitu ngana pe tulisan. Kalu bagini, ngana sama dengan baloleke torang pe daerah,” kata seorang pembaca beberapa tulisan pada kami.
Kata: Ambe, bi’, baloleke itu dari bahasa Mongondow. “Ambe” dan “bi’” itu semacam kata sambung, awalan maupun akhiran dalam bahas Mongondow, sedangkan “baloleke” itu artinya “mengejek”. Kata-kata yang lain itu bisa dilihat di kamus bahasa Manado. (ATS)


[1] Terjemahan harfiah dari “ko dua pitu” adalah 2 kali 7, maksudnya 14 hari. Kalimat ini biasa digunakan untuk menghitung malam-malam untuk seorang yg meninggal. Anda bisa bayangkan bau mayat yang sudah 14 hari meninggalnya, tentu Anda butuh penutup hidung sampai 7 lapis tebalnya, hehe

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB