Senin, 09 Juli 2012

Maafkan sebelum Ramadhan

Sungguh
Aku tak punya cukup alasan
Ketika melakukan suatu kesalahan

Namun setitik pengakuan
Ini berasal dari lubuk hati terdalam

Sungguh
Aku sadar
Permintaan maaf tak akan mengubur salah
Tapi aku sadar aku pernah salah
Dan aku mengungkapkannya

Kemanusiaanku tak akan kugunakan
Untuk menutupi kesalahan itu
Karena kemanusiaan telah menempatkanku
Ke tempat tertinggi ciptaan Allah

Kesalahanku adalah kesalahanku
Tak terkait dengan kemanusiaanku
Karena berarti aku telah menyalahkan penciptaku
Tak ada yang salah dari Pencipta
Allah sungguh Maha Sempurna

Jalan hidup yang kulalalui
Tak jarang membuatku harus memilih
Jalan terjal yang bermakna
Atau jalan lurus yang berbahaya
Itu pilihanku
Termasuk benar-salah dalam perbuatanku

Tak ada harap yang berlebih
Tak dimaafkanpun bolehlah jadi
Asal jadi di beri sanksi
Karena tak kuat diri ini

Ramadhan sesungguhnya tak terkait dengan memaafkan
Karena kesalahan tak ada batas waktu dan ruang
Tapi kuikuti juga kebiasaan

Maafkan yach
Bagaimana jadinya aku mengarungi Ramadhan ini
Tanpa maaf dari semua manusia di bumi
Atas segalah kesalahan yang pernah kulakukan
Selama ini
»»  LANJUTKAN???...

Senin, 04 Juni 2012

Penolakan Mendamaikan, Ganigir Tanpa Mendung 3


3. Penolakan yang Mendamaikan

Sarekat Islam itu wajib kita dukung. Bukan hanya karena dia menjadikan Islam sebagai ruh penggerak organisasi, tapi dia juga telah menggariskan sikap yang tak mau bekerjasama dengan bangsa kafir Bolanda yang telah mengangkangi dan menjadikan budak seluruh isi ke-Datu-an Mongondow ini. Lha kita ini sudah punya Datu, bahkan sejak zaman dulu kita sudah punya Punu, lah kok kita harus mendengarkan bangsa yang tak diketahui darimana asalnya itu. Tanah Mongondow ini tanah yang diberkati, para leluhur kita telah mendoakannya melalui itum-itum dan odi-odi. Kita akan berdosa pada leluhur jika kita hanya diam dan memang selama ini kita diam. Sekaranglah waktunya kita bangkit untuk mandiri dibawah naungan SI.
Pidato itu selalu Abah Ali tekankan pada setiap pengajian, bahkan pada setiap khutbah Jumat. Tawakal sendiri, sesungguhnya tak begitu paham apa yang disampaikan oleh Abah Ali. Namun dia tak bisa membenarkan pernyataan Abah Ali bahwa selama ini orang Mongondow hanya diam. Aki Bonok menceritakan padanya bahwa sejak zaman dahulu Punu' dan rakyat Mongondow telah melawan orang asing yang coba-coba mengangkangi tanah 'kinotubuan', bahkan orang asing yang mendirikan kerajaan Bobentehu di Manado telah Punu Damopolii usir. Sayangnya Belanda punya taktik memecah belah sehingga wilayah Mongondow tinggal kecil jadinya. Walau begitu baru masa paduka tuang Datu Cornelis Manoppo, Belanda mampu datang ke tanah Mongondow. Itupun sampai memindahkan ibu kota dari Bolaang ke Kotamobagu. Dan walau paduka tuang Datu Cornelis Manoppo tak seperti paduka tuang Ridel Manoppo yang berani menempeleng penagih pajak utusan Belanda sehingga terjatuh dari dari tangga komalig, namun paduka tuang Datu Cornelis Manoppo hanya mendiamkan rakyatnya yang berontak. Belanda memang selalu salah menilai takhta ke-Datu-an. Mereka Datu yang mereka angkat akan membela penuh kedudukan Belanda namun tak terjadi yang mereka harapkan. Lah, Jacobus Manoppo saja yang dididik Belanda dan dibantu agar bisa menggantikan Loloda Mokoagow tetap saja melawan, begitupun Datu-Datu setelahnya. Bahkan saat ibu kota sudah di Kotamobagu pun terus ada perlawanan terhadap Belanda, orang tua Tawakal yang pengikut Hatibi Dibo Mokoagow itu contohnya. Jadi ya tidak benar jika dikatakan pemimpin dan orang Mongondow hanya diam. Namun diakui juga, perlawanan itu sudah tidak begitu menggemparkan karena hanya dilakukan oleh golongan Paloko sementara kinalang hanya diam.
Pengertian 'kafir' dari perkataan Abah Ali sesungguhnya bukan hanya karena orang Belanda itu bukan beragama Islam melainkan karena orang Belanda itu telah menyimpang dari jalan kebenaran. Toh tidak ada jalan kebenaran yang membenarkan perbuatan semena-mena terhadap sesama manusia. Lah, Punu Tadohe saja tidak membenarkan kakaknya Dodi Mokoagow yang telah berbuat semena-mena terhadap Pingkan isteri Matindas, apalagi bangsa Belanda yang negerinya jauh dari tanah Mongondow ini. Punu Tadohe sungguh malu karena perbuatan kakaknya, dia tak hanya membiarkan begitu saja perbuatan Matindas yang dengan tipu daya telah berhasil membunuh Dodi Mokoagow, lebih dari itu dia bahkan menerapkan aturan yang keras bagi siapa yang berani mengganggu isteri orang atau si isteri justeru meminta diganggu. Aturan ini disebut 'monualing' atau 'mokitualing' yang merupakan bagian dari piagam Paloko-kinalang yang terkenal itu. Bagi yang melanggar aturan akan dibuang ke laut. Lah, Punu Tadohe saja yang merupakan penguasa tanah Mongondow toh masih berjalan di jalan kebenaran, kenapa Belanda yang negerinya jauh diseberang laut justru mau berbuat sewenang-wenang? Karena itu Belanda Abah Ali sebut bangsa kafir. Setahu Tawakal, Abah Ali sering bertemu dengan Ama' Jacob yang 'sarani' itu untuk merundingkan bagaimana baiknya tanah warisan dari para Bogani ini.
Tawakal juga membenarkan. Orang-orang Belanda itu memang harus dilawan. Pengentengan keberadaannya oleh tuang sinyo Belanda seperti yang diceritakan Aki Bonok telah menorehkan luka di hati Tawakal. Namun Tawakal tak bisa lagi membenarkan model perlawanan dari Hatibi Dibo dan pengikutnya, pun menurut hematnya tak boleh lagi perlawanan model paduka tuang Ridel Manoppo. Perlawanan model begitu sangat mudah diberantas oleh Belanda. Jika perlawanan hanya dilakukan oleh para pemimpin Paloko, pasti tak terhitung banyaknya korban. Pun jika perlawanan hanya dilakukan oleh para Kinalang maka bisa saja Belanda menghapus ke-Datu-an sehingga alam Mongondow akan kehilangan pengayom. Karena itu, sekarang sangatlah penting untuk menyatukan kekuatan Paloko dan Kinalang. Dan disinilah keberadaan Sarekat Islam diperhitungkan.
Karena berbagai faktor yang terkait dengan kondisi di tanah Mongondow, kehadiran Sarekat Islam seperti wadah ketemu tutup, sangatlah cocok dan saling menguatkan. Tanah Mongondow membutuhkan SI dan SI telah menemukan tanah yang benar-benar cocok sehingga diapun berkembang laksana jamur di musim penghujan. Terlebih abo Abraham Patra Mokoginta berdiri dan menyokong organisasi ini. Maka jadilah Sarekat Islam itu tak hanya organisasinya umat Islam tapi juga menjadi organisasi yang mempersatukan Paloko dan Kinalang.
Dukungan abo Abraham Patra Mokoginta memang sangatlah penting. Gerakan awal Sarekat Islam yang membuka lahan perkebunan kopi di Tanoyan dan kebun kelapa di Solog telah disokong dengan bibit oleh abo Abram yang waktu itu menjabat mantri cultur. Gerakan awal kaum Sarekat memang sangat sesuai dengan kedalaman ilmu abo Abram yang tamatan sekolah pertanian di Bogor. Maka langkah awal kaum Sarekat pun membawa hasil yang baik.
Warga Lipu' Dotamonag juga ikut membantu, bahkan murid-murid Abah Ali kecuali Goros yang sangat nampak ketidakpeduliannya padahal usianya diatas jauh dibandingkan murid lainnya--bisa dikatakan dia masih menjadi murid hanya untuk azan dan qomat saja karena dia tak ingin murid lain yang mengambil tugas itu. Tawakal juga ikut membantu, Aki Bonok tak dikata lagi bantuannya--Aki Bonok memang sudah benci setenga mati pada Belanda dai dia siap membantu siapapun yang mau melawan Belanda.
***
Setelah 3 tahun membangun perkebunan kopi dan kelapa, akhirnya Sarekat Islam mengambil langkah untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat melalui pendidikan. Menurut cerita Abah Ali, di tempat asalnya di Jawa, Sarekat Islam tak begitu memperhatikan pendidikan karena perjuangan melalui pendidikan sudah dilakukan oleh Muhammadiyah dan Taman Siswa. Dan tanah Mongondow diberkahi karena Sarekat Islam hendak mendirikan sekolah. Tawakal melaporkan kabar gembira tersebut pada Ba'ai Paya.
"Kalau Sarekat membuka sekolah, trus kau mau apa Wakal? Ingat lho, kau ini anak pengikut Hatibi Dibo namun kau pernah dipermalukan oleh sinyo Belanda hanya gara-gara Aki ingin kau sekolah. Jangan sampai kau dipermalukan lagi," kata Ba'ai Paya.
Tawakal tertunduk namun semangatnya kembali muncul ketika diingatkan soal perjuangan Aki Bonok. Tawakal tak sabar lagi menanti Aki Bonok untuk melaporkan kabar gembira tersebut. Dia yakin Aki Bonok akan gembira dan akan  mengusahakan agar Tawakal bisa sekolah, bukankan sebelumnya Aki Bonok telah mengusahakan sampai rela dipanggil ata oleh sinyo Belanda?
Kami masihlah sore namun Aki Bonok telah berada di rumah, ini tak seperti biasa.
"Saya ingin istirahat agak lama Paya. Kalau di kebun ada-ada saja pekerjaan yang harus aku lakukan. Kalau di sini, aku benar-benar bisa istirahat," kata Aki Bonok menjawab pertanyaan Ba'ai Paya soal kepulangannya.
Tawakal segera mendekat dan seperti biasa langsung memijat.
"Kau sudah besar, Udul. Pijatanmu sudah berasa sekali," kata Aki Bonok yang hanya disambut senyum oleh Tawakal.
"Lha, tingginya Tawakal sekarang sudah menyamaimu lho. Kamu tak sadar-sadar bahwa Tawakal cepat besarnya," sambut Ba'ai Paya.
"Lha iya, wajar. Tawakal kan anak pengikut Hatibi Dibo," ujar Aki Bonok bangga.
"Ngomong-ngomong soal pengikut Hatibi Dibo, rasanya Tawakal bisa kau daftarkan ke sekolah milik Sarekat, Bonok. Hatibi Dibo dan Sarekat kan sama-sama melawan Belanda."
Tawakal agak terkejut, dia baru berpikir cara menyampaikan pada Aki Bonok namun sudah didahului Ba'ai Paya. Aki Bonok pun nampaknya terkejut juga. Dia pun langsung terduduk.
"Benar itu Wakal?"
Tawakal mengangguk dan menceritakan apa yang disampaikan Abah Ali. Sarekat Islam telah membentuk Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam yang berpusat di Molinow. Guru-gurunya berasal dari Jawa seperti ....
"Ya sudah, sekarang juga kita berdua menghadap pada Abah Ali, memohon petunjuk siapa yang harus kita datangi di Molinow. Besok kita akan sholat jumat di masjid Molinow sekaligus menghadap tuang yang dikasih petunjuk dari Abah Ali..."
"Mandi dulu Bonok, badan masih bersimbah keringat begitu kok ya langsung menghadap ke Abah Ali. Mandi dan sholat sekalian di masjid," tukas Ba'ai Paya.
Walau sedikit menggerutu karena diperlakukan seperti anak kecil namun Aki Bonok melakukan juga apa yang diperintahkan padanya. Bersama Tawakal dia ke pancuran dan mandi sebersih-bersihnya.
"Sesungguhnya saya ingin memberitahukan pada Tawakal secara khusus, Aki Bonok. Saya melihat Tawakal sangat tepat untuk sekolah karena otaknya encer. Tapi saya tak tahu apa Tawakal memenuhi ketentuan..."
"Kalau biaya saya akan berusaha sebisa saya, Abah. Bahkan jika harus diri saya yang digadaikan ya tak masalah buat saya. Yang penting Tawal bisa sekolah," potong Aki Bonok dengan semangat menggebu-gebu.
"Lha, kalau diri Aki Bonok sudah digadaikan, lha trus bagaimana dengan pembiayaan sekolahnya Tawakal, bahkan bagaimana dengan kehidupan Aki sendiri. Orang yang sudah tergadai itu tak bisa berbuat apa-apa lagi lho. Dia akan menjadi ata," kata Abah Ali dengan bibir tersenyum yang membuat Aki Bonok tertunduk. "Masalahnya, persyaratan untuk diterima sekolah di BPPI tak hanya mempunyai kemampuan untuk membiayai sekolah tapi banyak syaratnlainnya. Dan agar lebih jelas, besok Aki Bonok datang saja ke Molinow. Sholatlah di sana, sebelumnya ketemu dulu dengan pihak BPPI. Saya rasa begitu saja," Abah Ali menjelaskan dengan pelan.
"Kalau kami bilang bahwa kami telah bertemu dengan Abah, kira-kira bagaimana?" Aki Bonok memohon petunjuk.
Abah Ali berpikir-pikir cukup lama. "Saya tak tahu apa gunanya menyebut nama saya. Tapi karena ini baik dan siapa tahu bermanfaat, ya silahkan saja. Saya tidak keberatan."
***
Hari masih sangat pagi, embun belum berencana pergi. Bangun sepagi itu dan bercengkerama dengan air sudah biasa bagi Tawakal karena dia selalu menyempatkan diri sholat subuh berjamaah di masjid. Namun tidak demikian bagi Aki Bonok. Tawakal hanya bisa memandangi Aki Bonok yang nampaknya masih sangat lelap. Tawakal mencoba membandingkan yang dia kerjakan, ya hanya bermain dan ke masjid atau membantu pekerjaan remeh yang disuruh Ba'ai Paya. Sementara Aki Bonok, Tawakal bisa membayangkan Aki Bonok yang berjalan kaki dari Lopa' Kobiagan sampai ke Lipu' Dotamonag sambil memikul obito yang demikian berat, bukan pekerjaan mudah. Karena itu, Tawakal membiarkan Aki Bonok terus tidur. Di masjid dia hanya sholat kemudian minta izin untuk segera pulang. Sesampainya di rumah, dengan hati terpaksa, Aki Bonok dia bangunkan.
"Lha, sudah sholat subuh to, Wakal?" tanya Aki Bonok.
Tawakal tersenyum dan mengangguk.
"Kamu itu kok tak membangunkanku," sesal Aki Bonok. "Ya sudah, kita bersiap berangkat."
Aki Bonok sangat mempercayai apa yang disebut waktu berisi dan waktu kosong. Dan menjelang fajar dia pandang waktu berisi untuk berangkat saat itu, beruntung Tawakal ke masjid tidak dia larang. Aki Bonok sempat memikirkan untuk membawa sesuatu, dia berpikir akan memenuhi lagi obitonya seperti saat menghadap ke sinyo Belanda. Namun Tawakal mengingatkan lagi saran Abah Ali agar tidak membawa apapun.
Sesampainya di Molinow, hari masih pagi, mentari baru belum menampakan wujud aslinya tapi nampaknya Molinow sudah sibuk sepagi itu. Sangat berbeda dengan Lipu' Dotamonag yang pasti masih sepi. Tawakal mengikuti Aki Bonok yang seakan mengetahui tempat dan tujuan Aki Bonok memang tepat. Beberapa orang telah duduk mengitari meja, berbincang sambil minum kopi, makan panganan dan merokok. Mereka memakai topi berwarna hitam yang bukan topi haji, ternyata itu kopia.
Mereka tersenyum ketika dan membalas salam  Aki Bonok.
"Maaf mengganggu tuang..."
"Dia' bi' kona'a ki Tuang, Aki," kata seorang anak muda dengan Mongondow yang lancar. "Mereka ini para guru di BPPI, panggil Ustadz."
"Maaf tuang Ustadz..."
"De'eman bi' ki tuang Ustadz, tonga' bi' Ustadz. Ponikpa," kata anak muda itu.
Walau gugup namun ada keberanian dalam diri Tawakal dan Aki Bonok, terutama karena keakraban yang ditunjukan oleh orang-orang yang kebanyakan masih muda-muda itu. Aki Bonok dan Tawakal pun masuk.
Aki Bonok terkaget ketika orang muda itu mengulurkan tangan yang kemudian menjelaskan bahwa itu untuk bersalaman yang dalam bahasa Mongondow disebut modati. Ini sangat tak biasa bagi Aki Bonok, biasanya dia bersalaman hanya jika hari raya maupun saat membayar zakat atau ada ijab kabul untuk persoalan tertentu yang biasanya Abah Ali menyarankan agar berjabat tangan sebagai pertanda kedua bela pihak telah saling memahami apa yang diijabkan. Lagi pula tangannya yang kasar menurutnya tak layak dijabatkan pada tangan anak-anak muda itu yang selain halus juga mulia. Namun menurut anak muda yang kemudian diketahui bernama Anhar itu, salaman itu untuk lebih mengakrabkan kedua pihak. Yang lain juga ikut-ikutan menyalami Aki Bonok dan Tawakal, mereka menyebutkan nama yang aneh: Waluyo, Sumantri dan lainnya--karena aneh maka cepat terlupakan oleh Tawakal.
"Jangan duduk di lantai, Aki. Eh, siapa namamu?" tanya yang satunya.
"Tawakal, Tu...eh, maksudku Ustadz," sahut Tawakal agak gugup, dia dan Aki Bonok masih tetap berdiri walau dua orang yang duduk tadi telah berpindah ke tempat duduk lainnya.
"Duduklah di kursi itu," kata Anhar yang nampaknya jadi jurubicara kelompok guru itu karena dia anak Mongondow. Ragu-ragu Aki Bonok dan Tawakal duduk, seumur-umur belum pernah mereka duduk di kursi. Di Dotamonag hanya rumah Sangadi yang berkursi namun bahkan Sangadi pun jarang duduk di kursi tapi lebih sering duduk di gopot.
"Nah, apa yang hendak kalian bicarakan?" tanya Anhar.
Aki Bonok pun menguraikan maksud kedatangannya, suasana yang nyaman dan akrab membuat Aki Bonok lancar bicara.
"Bagus dan tepat Aki serta Tawakal ke sini," kata Anhar yang kemudian terlibat dalam penjelasan panjang lebar tentang Sarekat Islam dan Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam yang akan segera dibuka. Aki dan Tawakal terpesona dengan penjelasan Anhar.
"Tapi begini lho Aki dan Tawakal. Kami membatasi penerimaan murid..."
"Saya akan berusaha membayar, Ustaz, bahkan jika harta habis sekalipun yang penting Tawakal sekolah," Aki Bonok memotong.
Anhar tersenyum mendapatkan bicaranya dipotong. Aki Bonok menunduk malu.
"Iya, Aki. Saya senang karena ada orang Mongondow yang pynya semangat seperti Aki. Tapi kami tak bisa juga melanggar peraturan, ya samalah dengan kita memandang dodandian Paloko-Kinalang yang juga seharusnya tak boleh dilanggar."
Aki Bonok dan Tawakal benar-benar terpikat sehingga apa pun keputusannya mereka bisa menerima. Dan memang Tawakal tak bisa diterima karena usianya sudah tua.
»»  LANJUTKAN???...

Minggu, 03 Juni 2012

Tertolak, Ganigir Tanpa Mendung 2


2. Tertolak

Bagi orang banyak, keberadaan Tawakal sebagai anak haram dari Aki Bonok jelas akan tertolak. Tawakal kecil itu ganteng, hidungnya mancung, kulitnya sawo cenderung ke putih, perawakannya bisa dipastikan akan tinggi--lha baru kecil saja begitu sudah tinggi bagaimana setelah dia besar nanti. Ini sangat kontras dengan Aki Bonok yang pendek, hitam serta berhidung sedang, terlebih tubuhnya yang sudah membongkok karena terlalu sering menyandang obito telah membuat Aki Bonok benar-benar seperti manusia kalangan bawa di masyarakat Mongondow waktu itu. Tak ada satupun ciri yang ada pada Aki Bonok yang menurun pada Tawakal, andai benar dengungan beberapa orang bahwa Tawakal itu anak dari Aki Bonok. Aki Bonok sesungguhnya sudah menolak Tawakal anak kandungnya, tapi ya namanya saja dengungan ya tetap saja muncul. Namun dengungan itu menghilang begitu saja seiring kenyataan yang ada.
Ada dengungan lain yang mengatakan Tawakal itu sesungguhnya anak hasil Turney yang dibuang orang tuanya karena malu. Soalnya kulit dan wajahnya memang seperti pejabat pada umumnya. Namun ini terbantahkan mengingat tak akan ada yang membuang anak pejabat meskipun itu anak hasil turney, bahkan ada kebanggaan. Lihat saja Goros yang mengumumkan bahwa bapaknya itu Abo Langag walau dia hanya anak hasil turney. Maka inipun menghilang begitu saja, terlebih keluarga Goros keberatan dengan dengungan ini.
Maka yang bertahan hanyalah Tawakal anak pengikut Hatibi Dibo Mokoagow. Sesungguhnya pernyataan ini cukup memberatkan Tawakal. Menjadi anak pengikut Hatibi Dibo Mokoagow berarti anak pemberontak. Pintu untuk mengabdi di luar jadi petani langsung terkunci. Padahal Tawakal anak yang cerdas. Pengetahuan keagamaan yang diajarkan Abah Ali sangat cepat dia tangkap. Walau dia tak begitu menonjol karena memang tidak ditonjolkan. Goros yang sesungguhnya jauh lebih tua darinya dan sudah saatnya mengalihkan adzan dan qamat pada yang lebih muda tak pernah memberikan kesempatan itu, terlebih pada Tawakal yang dia pandang sebagai pesaing.
Namun nampaknya Aki Bonok punya tekad untuk membuat Tawakal menonjol, tak hanya di kampung Lipu' Dotamonag melainkan di Mongondow. Tawakal sempat mendengar pembicaraan antara Aki Bonok dan adiknya pada malam Jumat. Aki Bonok nampak tidak kelelahan walau isi obito yang dia bawa lebih banyak dari biasanya.
"Jadi Paya, kau simpanlah baik-baik yang aku bawa dari kebun itu. Cobalah bagaimana caranya agar tidak busuk sampai di hari ahad karena pagi-pagi akan saya bawa pada tuang Belanda," terdengar suara Aki Bonok.
"Lho, kalau mau dibawa ke Belanda, sebaiknya diantar saja sekarang, Bonok. Biar masih segar," sambut Paya.
"Tidak. Akan aku bawa hari ahad saja sebelum mereka ke gereja..."
"Kamu mau apa to, Bonok? Apa kamu mau dimandikan Belandaa? Apa kamu mau kafir?" potong Paya.
"Mulutmu itu, kalau bicara ya dipikir-pikir. Tak ada yang mau dimandikan Belanda," bentak Aki Bonok. Sesaat suasana sunyi. "Maksudku begini, Paya. Tawakal ini cerdas, pisiknyapun pantas. Ya anaknya pengikut Hatibi Dibo. Nah karena dia cerdas dan pantas maka saya hendak meminta tolong pada Belanda agar Tawakal bisa diterima di sekolah Belanda. Siapa tahu nanti dia bisa jadi pejabat walau tentu pejabat kecil saja dahulu."
Terdiam beberapa jenak, kemudian menggelegar tawa dari Ba'ai Paya. Suara tawa itu seperti tawa yang disimpan-simpan kemudian bobol, mirip bendungan bobol.
"Jangan marah Bonok, jangan tersinggung ya, hahahaha..."
Ba'ai Paya terus saja tertawa. "Kamu itu ... kamu itu ... kalau capek ya sana tidur, jangan ngomong ngelantur. Mimpi kok ya mata masih terbuka begitu, hahaha..."
"Ini susahnya kalian, kalian ini tak pernah punya mimpi," bentak Aki Bonok yang disambut tawa Ba'ai Paya.
Setelah itu, Tawakal mendengar dengkuran dari Aki Bonok. Ba'ai Paya walau terus menertawakan kakaknya namun tetap juga melaksanakan apa yang diperintahkan Aki Bonok padanya.
Besoknya, di masjid, diumumkan berita yang menggembirakan. Sarekat Islam yang baru saja menggelar kongres di Manado akan juga meluaskan organisasinya di Mongondow. Organisasi ini sangat cepat jadi bahan pembicaraan karena Abo' Abraham Patra Mokoginta mendukung penuh organisasi ini dengan mengangkat Adampe Dolot dari Molinow sebagai ketuanya. Jika ada kalender maka masyarakat Lipu' Dotamonag akan tahu bahwa pada saat itu tahun 1923 dan Tawakal telah berusia 6 tahun.
Tawakal sudah diberitahu oleh Abah Ali tentang Sarekat Islam ini. Awalnya Sarekat Islam hanya perkumpulan para pedagang di Jawa sehingga disebut Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam agar bisa merangkap seluruh kalangan. Dan karena sekarang Sarekat Islam perlu menegaskan sikap politiknya yang tak mau bekerjasama dengan Belanda maka ditambahkanlah kata "partai" sehingga menjadi Partai Sarekat Islam. Abah Ali menjelaskan itu dengan berapi-api dihadapan Tawakal.
"Engkau harus mendukung gerakan ini, Wakal. Toh orang tuamu telah menolak bekerjasama dengan Belanda," kata Abah Ali.
Tawakal hanya mengangguk namun baginya kehadiran gerakan Sarekat Islam tak begitu menarik. Sarekat Islam itu tidak dia ketahui seperti apa, Jawa itu di mana dan seperti apa orang-orangnya, Tawakal sungguh tak tahu. Dalam lingkup pergaulannya yang hanya di Lipu' Dotamonag, dia sungguh buta tentang hal itu. Terlebih dikaitkan dengan tidak ingin bekerjasaama dengan Belanda. Pikiran dangkal Tawakal menolak pernyataan pihak yang tak ingin bekerjasama dengan Belanda karena baginya itu tak mungkin. Lha, Datu saja yang kekuasaannya melingkupi bulud bo lopa' takin balangon, gunung lembah serta lautan, tapi tetap bekerjasama dengan Belanda walau tetap enggan, apalagi hanya rakyat jelata. Mata masih terbuka lebar kok ya sudah bicara mimpi--Tawakal ingat kata-kata Ba'ai Paya.
Yang menjadi buah pikirnya yang sering terbawa dalam mimpi adalah pembicaraan Aki Bonok. Dia harus bersiap memakai pakaian rapi serta belajar tentang ilmu di sekolah. Tapi, apakah sekolah yang menurut cerita telah didirikan oleh tuang Danubeir sejak awal-awal pemerintahan paduka tuang Datu Cornelis Manoppo itu mau menerimanya? Bagaimana pula jika dia dapat diterima tapi harus berganti agama?
Walau orang yang selama ini dia dan orang kampung pandang sebagai orang tuanya adalah pengikut Hatibi Dibo Mokoagow yang berontak terhadap Belanda namun Tawakal tetap ingin bersekolah di sekolah Belanda. Buat dia, tak ada gunanya melawan Belanda sekarang. Justeru akan lebih baik jika dia bisa menjadi pintar dengan bersekola di sekolah Belanda kemudian merubah keadaan. Tapi kalau syaratnya dia harua berganti agama, jelas Tawakal akan menolak.
Tawakal tak tahan menanti hari ahad.
***
Hari ahad sudah memasuki siang, Aki Bonok yang telah ke rumah orang Belanda sejak subuh terlihat berjalan gontai. Tawakal yang sedang bermain dengan kawan-kawannya segera meninggalkan permainan.
"Belanda keparat. Memangnya mereka itu siapa? Lha orang yang tak diketahui asalnya begitu kok petantang petenteng di bumi para Bogani ini lho," kata Aki Bonok benar-benae gusar.
"Sudah, Bonok. Jangan diperturutkan hati yang marah, nanti mengundang celaka," kata Ba'ai Paya yang segera ke dapur membalik air. "Minum dulu, atur napas dan ceritakanlah dengan perlahan."
Tawakal ingin betul mendengarkan cerita Aki Bonok. Karena itu dia duduk disudut dapur dan memasang kuping. Tak lama setelah minum, Aki Bonokpun bercerita.
Sesungguhnya kedatangan Aki Bonok kekediaman Belanda sudahlah tepat. Sinyo dan Nyonya sedang diberanda menikmati kopi dan makanan lokal.
"Stop," teriak sinyo dari beranda. Aki Bonokpun berhenti walau sesungguhnya jarak dengan Sinyo dan Nyonya masih jauh. "Kamu orang mau apa?" tanya Sinyo.
"Hamba mau mengantar ini tuang Sinyo," kata Aki Bonok sambil memukul-mukul obito yang masih bergelantungan dibahunya.
"Ataaaa," teriak Sinyo Belanda. Tanpa mempedulikan beban dipunggung, Aki Bonok melangkah cepat. "Kamu orang berhenti," teriak Sinyo yang langsung membuat Aki Bonok seperti direm menghentikan langkah.
Aki Bonok memandang ke depan, dia baru tahu bahwa yang disebut ATA bukanlah dia. Dari pintu terlihat seorang yang berpakaian lebih baik darinya berjalan tergopo-gopo dan membungkuk-bungkuk. Rupanya orang itulah yang disebut ATA oleh Sinyo.
"Kamu orang periksa barang yang ata itu bawa!" teriak si Sinyo Belanda pada ATa yang membungkuk dihadapannya sambil menunjuk pada Aki Bonok.
Aki Bonok tercekat. Ternyata dia pun disebut juga ATA alias budak. Terselip gundah dihatinya. Bisa jadi semua rakyat Belanda sebut ATA. Jiwanya ingin berontak, dia memang hanya orang kampung namun dia bukan ATA. Dia tuangi lipu' yang merdeka. Darah Aki Bonok bergolak namun secepatnya dia redam. Sepanjang sinyo Belanda ini tak menyebut ATA pada  paduka tuang Datu maupun para Abo maka tak apalah, lagi pula secepatnya dia sadar bahwa dia datang untuk meminta sesuatu sehingga harus merunduk.
"Hanya bahan makanan, tuang Sinyo," kata orang yang disebut Ata tadi, dia agak mencibir pada Aki Bonok. Aki Bonok membelalak padanya, lha sesama ATA kok ya pakai mencibir segala.
"Ya kamu orang bawa ke dapur saja itu bahan makanan," kata si Sinyo Belanda dan kembali pada posisi santainya.
Orang yang disebut ATA itu segera mengangkuti barang yang Aki Bonok bawa. Aki Bonok terus saja berdiri. "Apa lagi yang kamu orang tunggu?" tanya Sinyo Belanda yang sekarang terdengar lebih santai.
Aki Bonok segera jongkok dan berjalan jinjit untuk menunjukan niat baik. Setelah dekat, diapun menghaturkan apa yang dia inginkan.
"Hahahaha, jadi kamu orang ingin memintaku untuk menyekolahkan anak kucing? hahahaha..."
"Bukan anak kucing tuang Sinyo..."
"Kamu orang gila, kamu orang pigi, jangan sampai aku panggil marsose. Hahaha, dasar ATA. Hayo nyonya kita masuk, hahaha..."
Aki Bonok terpukul, dia pulang sambil mengumpat. Langkahnya gontai. Tiba-tiba saja timbul marahnya pada Belanda, kemarahan luar biasa yang membuatnya hanya bisa menggerutu.
Mendengar cerita Aki Bonok, Tawakal bisa membenarkan perlawanan yang dilakukan orang tuanya--itu jika benar apa yang dikatakan orang bahwa orang tuanya pengikut Hatibi Dibo.
»»  LANJUTKAN???...

Minggu, 29 April 2012

Tawakal, Ganigir Tanpa Mendung 1

1
Tawakal

Sholat Id di lapangan Molinow.
Molinow pusat Syarikat Islam (SI) yang melakukan
Perlawanan
Namanya Tawakal, nama dari kalangan pertengahan, tidak ke nama para bangsawan yang biasanya mirip dengan nama Bolanda seperti Laurens Cornelis yang sedang memerintah saat itu, tidak juga ke nama tuangi lipu' yang namanya sesuai nama tumbuhan, hewan atau suatu kerajinan--contohnya Aki Bonok yang dipanggil Ama’ oleh Tawakal.
Tawakal itu nama Islam, agama yang dibawa Imam Touke dari Gorontalo. Anak Imam Touke, Killingo telah memikat tuang Datu Jacobus Manoppo sehingga membuat tuang Datu melamarnya. Lha wajarlah tuang Datu terpikat, Killingo itu menurut cerita orang-orang tua, cantiknya tiada tara. Wajahnya seperti  bulan, hidungnya mancung, matanya indah sehingga membuat siapapun akan terhipnotis kedalamnya. Tak hanya cantik, suara Kilingo juga menghanyutkan--menurut Aki Bonok, Tuang Datu benar-benar tenggelam saat Kilingo melantunkan qasidah. Ketika dilamar, Kilingo hanya meminta tuang Datu untuk mengucapkan kalimah syahadat. Maka resmilah tuang Datu memeluk agama Islam, bahkan tuang Datu memerlukan waktu untuk menghadap Residen di Manado untuk melaporkan ke-Islam-annya. Karena tuang Datu sudah memeluk Islam maka diapun diberi gelar Sultan.
Walau tuang Datu sudah bergelar Sultan dan telah mayoritas penduduk beragama Islam namun pemakaian nama Islam belum lazim. Ini yang Tawakal herankan terkait dengan namanya. Nama Islam biasanya hanya terkait dengan pemangku agama atau pegawai syar'i. Tawakal selalu bertanya-tanya  tentang hubungannya dengan pemuka agama.
"Benar Udul, engkau memang punya kaitan dengan pemuka agama," kata Aki Bonok.
Kemudian Aki Bonok menceritakan bagaiman Tawakal ditemukan. Saat itu Aki Bonok sedang berada di gubugnya di Lopa' Kobiagan. Pada suatu malam, Aki Bonok bermimpi didatangi kucing berwarna cokelat muda yang anehnya bisa bicara. Kucing itu menitipkan sebutir benih yang diminta ditanam dan dirawat karena benih tumbuhan tersebut kelak akan bermanfaat. Kucing itu juga berpesan agar benih tersebut diberi nama Tawakal. Besoknya, dia menemukan bayi dipinggir sungai. Bayi itu diletakan di dalam kotak kayu yang didalamnya diletakan daun pisang yang juga berfungsi sebagai selimut sang bayi. Aki Bonok pun mengambil dan memelihara anak itu dan diberi nama Tawakal.
Menurut Aki Bonok, orang tua Tawakal adalah anak buah Hatibi Dibo Mokoagow yang melakukan perlawanan ketika pusat pemerintahan tuang Datu dipindahkan dari Bolaang ke Kotabaru oleh Belanda. Juga oleh Belanda, tuang Datu Ridel Manoppo diganti oleh  tuang Datu Cornelis Manoppo. Ini yang membuat Khatib masjid kerajaan di Bolaang itu marah. Setelah sholat Jumat, Hatibi Dibo dan anak buahnya memotong tiang bendera Belanda di halaman istana kerajaan dan di pelabuhan Lombagin. Karena kalah senjata, Hatibi Dibo berhasil ditangkap Belanda dan ditembak mati di Kotabunan, sisa pasukannya lari menyelamatkan diri. Salah satu pasukannya, menurut sahibul hikayat, lari melalui pegunungan Antotangoi dan akhirnya memilih berdiam di gunung Sampaka. Di gunung ini, dia dan isterinya yang ikut lari telah menjelma menjadi kucing berwarna cokelat muda.
Tawakal tercenung. Sesungguhnya dia tak begitu percaya dengan cerita itu. Lha, bagaimana bisa manusia berubah menjadi kucing? Lagi pula, peristiwa Hatibi Dibo terjadi pada awal pemindahan ibu kota kerajaan sementara menurut Aki Bonok, dirinya ditemukan di akhir pemerintahan tuang Datu Cornelis Manoppo—bagaimana bisa dia dilahirkan oleh orang yang sudah demikian lama menghilang? Bagaimana juga dua ekor kucing bisa melahirkan manusia walau mereka hanya beralih wujud?
Keraguan Tawakal ini dikuatkan oleh Abah Ali, guru mengajinya. Dengan tegas Abah Ali mengatakan bahwa tidak mungkin manusia bisa berubah menjadi mahluk Allah lainnya.
“Saya dengar dari teman, ada yang mengatakan manusia berasal dari monyet. Lha, kalau manusia itu dari monyet, terus bagaimana dengan pernyataan Allah bahwa manusia itu diciptakan dengan diperbagus rupa serta pemikirannya dan diangkat sebagai khalifah di bumi Allah ini? Ada-ada saja pemikiran manusia ini, disangkanya dia bisa melebihi kekuasaan Allah,” kata Abah Mansyur ketika pengajian di masjid.
Walau Abah telah mengatakan begitu dan hati Tawakal memang sudah meragukan cerita Aki Bonok sejak awal, namun entah mengapa hatinya merasa tenteram ketika berpikir bahwa dirinya anak dari anak buahnya Hatibi Dibo walau orang tuanya telah berubah menjadi kucing yang berdiam dipuncak gunung Sampaka. Lha wajar-wajar saja. Jika bukan anak dari anak buahnya Hatibi Dibo, bisa-bisa dia dicap penduduk anak haram jadah.
Anak haram menurut tradisi adalah anak hasil penyelewenangan yang biasa disebut dengan monualing yaitu lelaki dan perempuan masih sama-sama terikat dalam pernikahan tapi menyeleweng, atau mokitualing yaitu perempuannya masih terikat pernikahan kemudian menggoda perjaka.
Pada zaman Punu’ Tadohe, ketika diikrarkan sumpah Paloko-Kinalang, sang Punu’ pertama kali mengeluarkan larangan untuk monualing maupun mokitualing ini. Dan bagi yang melanggar larangan, hukumannya sangat berat, yaitu dimasukan ke bubu, sejenis alat penangkap ikan, kemudian dibuang ke laut. Menurut penuturan para orang tua yang Tawakal dengar, larangan itu bersumber dari kakak Tadohe yang bernama Dodi Mokoagow telah menyeleweng dengan Pingkan isteri Matindas yang mengakibatkan Dodi Mokoagow terbunuh oleh Matindas. Rupanya sang Punu’ merasa malu dengan perbuatan kakaknya itu. Bagi orang Mongondow malu atau oya’ memang sangat dipegang teguh sehingga muncullah larangan itu.
Lha, jika dirinya anak hasil penyelewengan orang tuanya, entah orang tuanya monualing atau mokitualing, alangkah malunya Tawakal. Karena itu, dia membiarkan saja cerita orang-orang bahwa dirinya adalah anak dari anak buah Hatibi Dibo yang telah berubah menjadi kucing. Lagi pula, nampaknya masyarakat lebih percaya pada cerita itu dibandingkan penegasan dari Abah Ali yang didasarkan pada firman Allah dan rasionalitas manusia.
Lagi pula, jika perkataan anak haram diletakan pada tempatnya, rasanya begitu banyak anak haram. Lha, begitu banyak anak gadis yang hamil di luar nikah—kan anak mereka juga seharusnya tergolong anak haram?
Namun penilaian berdasarkan tradisi cukup berbeda. Bahkan, tak jarang muncul kegembiraan ketika dikaitkan dengan anak haram model begitu. Menurut yang Tawakal dengar, Porobis Goros sesungguhnya tergolong juga pada anak haram. Porobis Goros itu anak penguasa yang disuguhkan gadis, ya ibunya Porobis Goros itu, saat sang penguasa sedang melakukan turuney ke kampungnya. Dan persoalan turuney itu diceritakan berulang-ulang oleh Porobis Goros sendiri dengan bangganya, keluarga Porobis Goros juga demikian bangganya, dan berbekal keberadaannya sebagai anak haram dari sang penguasa, Goros pun menjadi Porobis sejak masa mudanya hingga saat ini. Porobis Goros sesungguhnya sangat ingin menjadi Sangadi di kampung Dotamonag, tapi Datu yang bijaksana itu melihat sang Goros tak begitu dekat dengan masyarakat.
Tawakal merasakan ketidakadilan dalam sudut peristilahan. Dan bicara tentang turuney, Tawakal memang sangat membenci istilah itu. Semua bersumber dari hubungannya dengan Rintok.
Rintok memang seperti tubuhnya, dia mungil. Karena kemungilannya, orang-orang menyangka dia tak mungkin mendapat keturunan. Karena itu, untuk mengangkat derajat keluarga, banyak yang menyarankan—termasuk keluarganya—agar Rintok menjadi suguhan untuk turuney saja. Bahkan ketika Tawakal memberanikan diri untuk melamar Rintok sekalipun, orang-orang tetap menganjurkan agar Rintok menjadi suguhan untuk turuney saja dibandingkan dengan menikahi Tawakal yang tidak jelas asal usulnya dan miskin pula. Untunglah Rintok cukup teguh hatinya, semua karena jiwa agama yang ada pada diri Rintok. Tawakal dan Rintok sama-sama murid Abah Ali.
Agama memang bekal dalam menghadapi persoalan sebesar dan seberat apa pun. Aki Bonok, entah mungkin untuk memperkuat cerita yang dia hembuskan tentang keberadaan Tawakal, benar-benar telah mendorong Tawakal untuk mengaji Islam.
Atau mungkin juga Tawakal anak dari Aki Bonok dengan perempuan entah siapa. Aki Bonok tak pernah menikah sampai ajal menjemputnya beberapa bulan setelah Tawakal menikah. Tapi, tak harus semua pernikahan diketahui masyarakat kan? Kehidupan Aki Bonok yang berbulan-bulan di kebunnya di Lopa’ Kobiagan—Aki Bonok hanya pulang kampung hari Kamis dan kembali lagi ke kebun selepas sholat Jumat—bisa saja membuka peluang untuk hal-hal apa pun. Juga, tidak menikah bukan berarti tidak berpeluang untuk punya anak kan?
Untuk yang terakhir ini, memang cukup jauh dari sosok Aki Bonok yang memegang teguh prinsip-prinsip agama. Tapi bisa saja dia khilaf. Dan bagi Tawakal, andaipun dia anak Aki Bonok diluar pernikahan maka tak akan dia persoalkan. Bagaimanapun Aki Bonok telah memeliharanya sampai dia dewasa dan menikah, itu sudah merupakan tanggung jawab seorang Bapak. Juga, dalam tradisi saat itu, tak ada persoalan—terlebih jika perempuannya masih gadis.
Walau pun Aki Bonok menolak mengaku sebagai orang tua Tawakal namun rasa terimakasih Tawakal padanya tak akan berkesudahan. Aki Bonok tak hanya telah memeliharanya sampai dia dewasa, bahkan Aki Bonok yang telah membelanya saat pernikahan dengan Rintok. Saudara kandung Aki Bonok yang dua orang itu menolak tegas Tawakal menikahi Rintok karena tergiring pernyataan orang-orang bahwa Rintok tak akan memberinya keturunan.
“Memangnya kalian ini Tuhan sehingga anggapan kalian merupakan kepastian? Jika Allah berkehendak maka kehendaknya yang akan terjadi, bukan kehendak kalian,” bentak Aki Bonok ketika saudara serta keponakan-keponakannya mencoba berdebat.
Sebulan setelah pernikahan itu, Aki Bonok pun meninggal.
Ah, kenapa juga terlalu aku pikirkan? Namaku Tawakal yang menurut Abah Ali berarti pasrah, berserah diri pada apa pun ketentuan Allah. Maka biarlah kupasrahkan semua yang tak kuketahui ini pada Allah. Wallahualam bishawab.
Tawakal pun berdiri dan memandangi kebun peninggalan almarhum Aki Bonok di Lopa’ Kobiagan. Besok dia akan mengadakan posad. (ATS)
===============
Tulisan ini merupakan bagian pertama bakal novel yang diberi judul Ganigir Tanpa Mendung
»»  LANJUTKAN???...

Selasa, 24 April 2012

Abu Nawas--Bertobat melalui Sajak


Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Abu Nawas merupakan seorang pujangga Arab dan dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar
penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.


Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.

Referensi :

- http://nyatanyatafakta.blogspot.com/2011/08/biografi-abu-nawas.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Nawas
»»  LANJUTKAN???...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB