Selasa, 21 Februari 2012

2012 Tahun Kebangkitan Totabuan

Dinangoi, Khas Mongondow
Murah, Meriah, Bersahaja
Bisa didapatkan di
RUMAH DINANGOI
Motoboi Kecil, depan SD
Dari perbincangan, banyak orang yang mengatakan dengan jujur kepesimisannya akan masa depan Bolaang Mongondow Raya. SDM yang masih terbelakang, alam yang mulai dikuras sampai tak ada lagi yang tersisa untuk anak cucu, infrastruktur yang masih jauh memadai—ini yang memunculkan kepesimisan itu. Ditambah lagi dengan tidak menyatunya para pemimpin Bolaang Mongondow Raya. Penekanan pada pemimpin karena rakyat sesungguhnya tak pernah mempersoalkan bagaimana penyatuan ini.

Saya sendiri membenarkan. Pendidikan memang bukan satu-satunya tolak ukur kualitas SDM tapi harus juga diakui bahwa Bolaang Mongondow Raya masih memiliki sedikit sekali tamatan perguruan tinggi yang mumpuni, kreatifitas sebagai ukuran lain dari kualitas SDM juga terlihat sangat kurang—rata-rata orang Bolaang Mongondow Raya lebih senang menekuni rutinitas daripada memikirkan sesuatu yang lebih bernilai guna. Terkait SDA pun bisa juga dibenarkan mengingat J Recource akan masuk ke Blok Bakan setelah mereka “meratakan” Lanut—harus diingat bahwa pertambangan rakyat akan lebih lama masa pengolahannya dibandingkan perusahaan besar. Sebagai perbandingan, pertambangan rakyat di Tobongon yang sudah mulai beroperasi sejak zaman Belanda dengan Avocet Lanut yang belum masuk. Mungkin juga pertambangan rakyat lebih beresiko pada alam dibandingkan dengan pengelolaan oleh perusahaan pertambangan besar, tapi itu semata-mata karena penambang rakyat tidak dibimbing bagaimana pengolahan tambang dengan menggunakan beragam zat kimia. Satu contoh pertambangan rakyat yang berada di Palu saat ini di mana nyaris separuh dari penambangnya—menurut informasi yang kami terima—berasal dari Bolaang Mongondow Raya. Dari sudut infrastruktur pun harus kita akui ketika kita memperbandingkan dengan daerah lain diwilayah Sulawesi Utara.
Terkait dengan menyatunya para pemimpin Bolaang Mongondow Raya bisa dilihat dari pembentukan Provinsi yang sampai detik ini terkatung-katung karena belum pernah bertemunya 5 pemimpin se-BMR untuk merumuskan pembentukan Provinsi ini sampai ke persoalan teknis. Tidak menyatunya para pemimpin ini menyebabkan tidak begitu kuatnya bargaining Bolaang Mongondow Raya di Provinsi sampai nasional.
Jika demikian, apa yang bisa memperkuat dan mempercepat pembangunan di Bolaang Mongondow Raya?

Masa Lampau untuk Masa Kini
Saya mengakui  bahwa saya bukanlah siapa-siapa dan sesungguhnya tak tahu apa-apa. Ketika kami mulai memproklamirkan diri sebagai orang Bolaang Mongondow ketika di rantau maka kamipun dihujani pertanyaan tentang tanah kelahiran kami tercinta. Karena bukan siapa-siapa dan tak tahu apa-apa maka saya pun mulai menelusuri tentang tempat berlabuh (kinotubuan/totabuan[1]) yang sekarang lebih dikenal dengan nama Bolaang Mongondow Raya. Dan masih dalam konteks pengakuan, saya pun mengakui bahwa hasil penelusuran saya mungkin masih di kulit ari. Namun saya berani menuliskan ini karena walau baru di kulit ari tapi saya menemukan bahwa Bolaang Mongondow Raya itu ada dan pernah jaya.
Dalam perjalanan saya ke sebagian kecil wilayah Sulawesi Utara, saya sering merenungkan bagaimana kondisi di masa lampau. Ketika ke Manado, saya sering merenungkan di mana dan bagaimana cara Tadohe yang kemudian dilanjutkan Datu Binangkang menerima dan merestui permintaan Belanda/VOC untuk mendirikan benteng Roterdam yang awalnya dari kayu kemudian dirubah menjadi beton. Ketika melewati Amuyang/Amurang, saya sering merenungkan bagaimana cara para Punu’ mengadu domba Spanyol dan Portugis sehingga tak satu pun dari mereka yang bisa menguasai wilayah ke-Punu’-an.
Itu baru sebagian kecil dari hasil penelusuran yang bisa saya bayangkan. Ini bukan dari kisah orang-orang Bolaang Mongondow melainkan pihak lain yang mengisahkan. Dan karena bukan dikisahkan oleh orang Bolaang Mongondow sendiri maka saya bisa membayangkan bagaimana besarnya Bolaang Mongondow di masa lalu. Dia benar-benar disayangi kawan dan disegani lawan. Dia tak hanya mengurusi pertikaian antar daerah tapi menyiasati bagaimana agar bangsa berambut merah tak berkuasa.
Namun begitu kembali pada kenyataan, saya seperti terbangun dari mimpi indah yang teramat panjang. Setelah terbangun maka semua itu hilang sirnah.
Jejak-jejak itu memang susah ditapaki kembali. Kita pun tak bisa memperlihatkan kebesaran Totabuan dari sudut tampilan, mulai dari candi sampai perkuburan dari batu. Saya tidak tahu apa yang tersimpan dalam perut bumi Totabuan ini dari sudut arkeologi karena setiap dilakukan penggalian pasti akan terbentur pada aturan adat. Tapi tak ada yang bisa membantah bahwa tanah Totabuan yang sekarang bernama Bolaang Mongondow Raya ini pernah berjaya. Bukan kita yang menuliskan tapi orang-orang di luar tanah Totabuan!
Bagaimana para Bogani, Punu’ sampai Datu bisa memperkuat tanah Totabuan di masa lalu? Apa yang bisa kita baca dari peninggalan yang tidak ada?
Saya melihat budaya dan karakter yang dipegang teguh dengan kuat oleh mereka di masa lalu yang memperkuat tanah para Bogani ini. Kebanggaan mereka sebagai intau Mongondow, kemampuan mereka dalam bersiasat, ketegasan mereka dalam menegakan aturan, ketaatan mereka pada tradisi—ini yang memperkuat mereka.
Budaya dan karakter ini yang membuat siapa pun yang datang dan menjadikan Bolaang Mongondow Raya sebagai Totabuan (tempat berlabuh), akan berusaha menyesuaikan diri dengan budaya serta karakter yang ada. Ini bisa kita lihat dari begitu banyaknya orang Mongondow yang mendalami serta mempraktekan budaya dan karakter orang Mongondow walau asal mereka sebenarnya dari luar Mongondow. Dan bahkan mereka lebih bangga menyebut diri mereka sebagai intau Mongondow.
Menurut saya, budaya dan karakter ini yang menghilang dari orang Mongondow saat ini. Budaya dan karakter itu yang sudah terkikis pada kita, bahkan bahasa sebagai pondasi budaya pun perlahan sudah mulai hilang. Ini dalam pandangan saya yang membuat kemerosotan itu.
Karena itu saya merekomendasikan back to culture dan back to character!
Saya melihat budaya dan karakter sebagai trigger sekaligus pondasi pembangunan Bolaang Mongondow Raya serta menjadi energi besarnya karena dengan budaya dan karakter sendiri, kejayaan di masa lalu akan bisa kita ulang.
Saya harus membenarkan kata-kata seorang teman: BANGSA YANG BESAR DI MASA LALU DAN SEKARANG TERPURUK AKAN BERUSAHA UNTUK KEMBALI MENGGUNAKAN JALAN YANG PERNAH NENEK MOYANGNYA LALUI.

Tanda-tanda Kebangkitan
Mari kita jadikan perdebatan untuk
Memajukan Totabuan
Bangkit berarti selama ini Bolaang Mongondow Raya tidur cukup panjang atau mungkin bisa juga diistilahkan mati suri. Dan harus diakui memang itu yang terjadi. Namun saat ini sudah mulai dilihat geliatnya. Tanda-tanda dia akan bangkit sudah nampak, kuapannya mulai membuat orang ternganga.
Pertama, mulai diperdebatkannya adat. Adat bagian dasar dari budaya, ketika adat mulai dibahas maka perlahan budaya pun akan terkuak. Dan ramainya perdebatan tentang adat ini diawali dari peristiwa yang oleh banyak orang dinilai sebagai peristiwa politik. Keramaian ini tak lain terkait dengan perseteruan antara Ketua Komisi V DPR RI Dra. Yasti Soeprodjo dengan Walikota Kotamobagu Drs. Djelantik Mokodompit. Banyak pihak yang menilai negatif pertentangan yang sudah masuk dalam wilayah adat ini, namun saya pribadi menilainya positif dari sudut perbincangan adat. Saat ini, orang yang supercuek terhadap budaya sekalipun akan bertanya-tanya. Saya sendiri sempat memberikan catatan terhadap persoalan ini dan saya rasa tak perlu diulas di sini. Satu hal yang pasti, adat mulai dibicarakan walau masih dalam pandangan masing-masing kubu. Orang-orang yang ingin menelisik lebih jauh pun mulai mencoba memperbandingkan pemikiran. Menurut saya, ramainya perdebatan soal adat ini kurang diarahkan sehingga menghasilkan goal yang lebih positif.
Kedua, Generasi muda mulai tertarik mengetahui budaya. Satu hal yang aneh, saat peluncuran novel saya di Gorontalo, yang banyak dibicarakan bukan isi novel melainkan budaya. Mungkin karena arah bicara saya juga ke sana, tapi banyak juga penanya maupun penanggap yang lebih mempertanyakan maupun menyatakan budaya dibandingkan alur novel. Begitupun pada kegiatan-kegiatan yang lain. Memang dalam novel saya ada beberapa bagian yang terkait dengan sejarah dan budaya tapi itu hanya pengaruh alur dan bukan bagian inti dari cerita.
Ketiga, Munculnya eksklusifitas positif. Kami mengelolah grup facebook yang hanya beranggotakan orang dari Bolaang Mongondow Raya, setiap hari rabu diwajibkan menggunakan bahasa daerah yang ada di Bolaang Mongondow Raya. Ketika ada keluhan terkait hari wajib bahasa daerah ini, akun-akun anggota pun menyadarkan akan pentingnya pelestarian bahasa daerah ini. Eksklusifitas ini bukan berarti orang Bolaang Mongondow Raya tidak terbuka tapi mereka ingin siapapun yang menjadi anggota keluarga Bolaang Mongondow Raya akan berperilaku sesuai adat istiadat yang ada, terutama dalam berbahasa. Sikap seperti ini sama saja dengan sikap daerah lain yang berharap pada siapapun agar berperilaku inklusif, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Dengan begini budaya Bolaang Mongondow Raya tak hanya diamalkan oleh orang yang secara genetic memang orang Bolaang Mongondow Raya, melainkan oleh semua yang berdiam di bumi para Bogani ini.
Keempat, mulai bangga dengan symbol-symbol budaya. Jika Anda berteman dengan akun-akun di fb maka akan Anda temukan akun-akun yang merupakan symbol budaya seperti Abo’, Bua’, Bogani, Inde’, Maruatoi, dan banyak lagi. Ada juga banyak hal lucu terkait akun-akun ini. Saya pernah chating dengan akun yang menggunakan symbol kedaerahan tapi tak bisa berbahasa daerah, setelah dicek ternyata yang punya akun telah lama bermukim di Jawa—bahkan sudah tidak berfam karena orang tua lelaki dari luar daerah. Pemilik akun ini hanya tau dari ibunya tentang Bolaang Mongondow Raya dan merasa bangga dengan simbolnya sehingga menggunakannya dalam nama akun.
Kelima, Mulai dituliskannya budaya oleh generasi muda. Tentu yang saya maksud di sini bukan saya karena pada tulisan-tulisan saya budaya masih unsur tambahan dan bukan bahasan. Tapi saat ini saya melihat begitu banyak tulisan dari kalangan yang lebih muda dari saya dan tulisan itu memang mengkhususkan pada budaya. Saya pikir, jika dikelola dengan baik maka di masa yang akan datang cukup banyak penulis budaya Bolaang Mongondow Raya.

Epilog
Seharusnya judul tulisan ini saya beri tanda tanya. Namun sebagai pendorong bagi rakyat Bolaang Mongondow Raya untuk berbuat maka tanda Tanya saya hilangkan. Dan saya meyakini, kalau kita bekerja keras, bekerja cerdas dan saling menopang, semua itu akan dapat dibuktikan.
Ibarat tanaman, bibit yang kita tanam sesungguhnya telah berkecambah, kita tinggal merawat serta menguatkannya. Ibarat orang tertidur, tanda-tanda dia akan bangun sudah terlihat. Janganlah memberi dia mimpi-mimpi lagi sehingga membuatnya tertidur lebih dalam dan sulit dibangunkan. Percepatlah bangunnya dengan memfasilitasi dia dalam bekerja. Dengan demikian, kebangkitan Bolaang Mongondow Raya akan terbukti nyata.
****
(Anuar Syukur, owner RUMAH DINANGOI Motoboi Kecil-Kotamobagu)


[1] Saya kurang sependapat dengan pengertian yang selama ini berkembang bahwa TOTABUAN sebagai tempat mencari penghidupan. Saya tertarik untuk mengkaitkan dengan sejarah awal Bolaang Mongondow dimana penumpangnya menaiki dua perahu besar (bangka’) yang bernama Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat dan berlabuh (sinumubu) di tempat (disebut kinotubuan) disekitar sungai Lombagin (sekarang daerah Kaya’ dan sekitarnya). Totabuan dalam pengertian modern pun yang sebenarnya bersumber dari tradisi membuat garam (modapung) juga demikian, di mana para pembuat garam berlabuh disuatu tempat sampai akhirnya berkembang menjadi desa sendiri seperti Maelang yang menjadi Totabuan orang Motoboi Kecil. Perubahan bahasa dari kinotubuan ke totabuan itu sangat biasa dalam bahasa Mongondow, terutaam terkait dengan penamaan tempat. Seperti kata totaboian yang kemudian berubah menjadi Motoboi.
Kata TOTABUAN ini justru sangat netral dalam menengahi ego masing-masing eks swapraja di Bolaang Mongondow Raya karena dari kata ini dapat ditelusuri bahwa para pendatang mendatangi gunung Huntuk (Bolmut) dan bertemu dengan Gumalangit serta ke wilayah selatan dan ketemu Salamatiti di Molibagu. Jadi kata TOTABUAN ini bisa dipandang sebagai pemersatu.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB