Rabu, 22 Februari 2012

Kritis bukan Krisis

Dinangoi, Khas Mongondow
Murah, Meriah, Bersahaja
Bisa didapatkan di
RUMAH DINANGOI
Motoboi Kecil, depan SD
Saat di rantau, ada seorang teman, sebut saja Fulan yang sangat kami segani. Selain dia itu sesungguhnya senior dua tahun di atas kami namun karena—alasannya dia—para dosen menyayanginya sehingga tak kunjung selesai, dia juga gemar berdebat dengan siapapun dan di manapun termasuk dengan Rektor kami di ruang rektorat lagi.

Kritis, itu gelar yang kami sematkan pada Fulan. Karena ini dia disegani. Soalnya hampir segala hal dia jadikan bahan perdebatan. Sampai beasisiswa yang telah Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) usahakan dengan keringat dan air mata terpaksa gagal karena si Fulan bilang beasiswa tidak perlu.
“Kalau memang tidak punya biaya untuk kuliah ya ndak usah kuliah to, kok maksa amat sih, Amat saja ndak maksa,” katanya saat sosialisasi.
Rektor yang saat itu hadir tersenyum dan dengan senang hati menyatakan beasiswa ditunda sampai semua mahasiswa sepakat.
Sialan betul si Fulan, aku yang sudah mengurus berbagai persyaratan terpaksa urung mendapat kesempatan. Seorang teman orang Sunda yang juga anggota BPM, sebut saja Ujang, kesal minta ampun.
Eta si Fulan te lain kritis tapi krisis (si fulan itu bukan kritis tapi krisis),” kata Ujang.
 Aya-aya wae (meniru Wapres Negeri Impian, Jarwo Kuat alias JK) si Ujang ma. Tapi Ujang, mahasiswa Teknik yang gemar membaca buku psikologi, punya argumen yang menurutnya kuat.
Menurut dia, diawal memang antara orang kritis dengan krisis tidak kelihatan karena keduanya sama-sama menolak. Namun seorang yang kritis tidak selamanya akan menolak, bahkan tak jarang diawal menolak kemudian menerima karena alasan-alasan yang rasional di depan mata membuat dia harus merubah sikap. Tapi seorang yang krisis, dia akan menolak semua apa pun alasannya.
Ini kata teman saya, si Teknik yang senang Psikologi. Teman saya yang lain menambahkan bahwa gejala krisis tak hanya terlihat pada penolakan melainkan juga pada persetujuan. Menurut dia, ketika seseorang hanya selalu mengatakan “enji (bukan Enji Sondakh ya, heheh)”, “oke”, “yes”, “setuju”, “o’o, totu’u”, ini juga dikategorikan dalam krisis. Karena, menurut teman ini, seorang yang krisis memang daya analisisnya menurun. Dia mencontohkan apa yang terjadi pada Nasrudin Johan, seorang Mullah (ulama Turki) yang senang menyindir.
Pada suatu hari Nasrudin jadi orang dekat raja, saat makan raja memuji sayur yang disajikan maka Nasrudin pun bilang: “Ya, Baginda, sayur ini memang sayur yang terenak di dunia.” Besoknya sayur yang sama disajikan lagi namun nampaknya Raja sudah bosan sampai memerintahkan membuang sayur itu. Maka Sang Mullah segera bicara: “Memang sayur itu terjelek di dunia, Baginda.”
Sikap Nasrudin yang Mullah ini tak hanya membingungkan rakyat, bahkan Sang Baginda juga bingung. Sampai-sampai Raja bertanya: “Mengapa kemarin kau katakan yang terbaik, sekarang kau katakan yang terjelek?” Namun bukan Nasrudin namanya kalau tak bisa berkilah, dengan enteng dia berkata: “Saya kan bukan sayur, Baginda. Saya ini orang dekat Baginda.”
Inilah contoh orang yang krisis, kata teman saya. Pertimbangan entah nomor ke berapa, yang penting mengiyakan apa yang dikatakan atasan karena dia tak ingin bernasib seperti sayur yang hari ini dikatakan bagus namun besoknya dibuang.
Buat saya pribadi, apa yang dikatakan teman-teman itu ada benarnya. Kukatakan benar bukan karena aku takut senasib dengan sayur seperti sikap Nasrudin. Lagi pula, kawan-kawanku tak bisa mengangkat derajat atau membuangku. Mengakui kebenaran yang masuk akal apa salahnya?
Ada yang menyamakan kekritisan dengan obyektifitas atau penilaian yang obyektif. Ya, bisa jadi, tapi bisa jadi juga tidak sama. Sebab, obyektifitas terkait dengan sudut pandang terhadap suatu obyek sehingga kekritisan atau kekrisisan sama nilainya. Kritis ataupun krisis keduanya sama-sama menilai suatu obyek sehingga bisa dikatakan keduanya sama-sama obyektif. Karena itu, kita pakai saja istilah kritis.
Kekritisan tak bisa menggeneralisir persoalan namun harus melihatnya secara parsial atau perbagian karena bisa jadi seseorang mempunyai kelebihan di satu sisi dan kelemahan di sisi lain. Satu contoh, penilaian Cak Nur (Nucholis Madjid) terhadap sikap membingungkan Gus Dur (Abdurahman Wahid) yang akhirnya berkesimpulan bahwa secara makro sikap Gus Dur masih positif sedang mikronya banyak yang merugikan umat. Begitu juga ketika kita menilai pemerintah negara, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) karena kehati-hatiannya dinilai lambat dalam mengeluarkan kebijakan namun beliau cukup tegas terhadap koruptor walau toh akhirnya orang-orang sekelilingnya terbelit dalam berbagai kasus korupsi.
Saya pikir, Insya Allah dengan kekritisan kita akan dapat membangun Bolmong Raya sampai daerah yang luas wilayahnya setengah lebih dari wilayah Sulut ini dapat menjadi Provinsi. Saya harus jujur melihat bahwa saat ini nyaris disemua kalangan masih dihinggapi krisis sehingga tak mau menyatu dalam usaha pembentukan Provinsi. Kekrisisan ini dapat dilihat dari tertunda-tundanya Provinsi karena ditakutkan nilai politis seseorang akan meningkat ketika ibu kota ditempatkan di suatu tempat, adanya keterlibatan seseorang dalam pembentukan Provinsi, adanya dominasi dari salah satu etnis, dan lainnya. Karena dihinggapi pemikiran yang krisis sehingga kita tidak pernah bisa menyatu walau itu untuk kepentingan bersama. Jika kita benar-benar kritis, seharusnya kita bisa memilah yang mana kepentingan bersama dan mana pertarungan individu atau kelompok.
Semoga kedepannya kita bukan lagi krisis tapi sudah benar-benar kritis. (Anuar Syukur; owner Rumah Dinangoi, Motoboi Kecil)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB