Sabtu, 07 Agustus 2010

Bolang Mongondow Kompor Bocor




Sejujurnya sih agak takut juga aku memakai judul ini. Tahu sendirilah, di daerahku yang masih menunjung tinggi adat dan mempermalukan Bolmong termasuk melanggar adat. Jika salah mengartikan aku bisa dihukum adat, diharuskan mogompat kon lipu’, nah bingungkan? Kau akan bingung lagi kalau tahu arti mogompat kon lipu’ itu. Harfiahnya, mogompat kon lipu’ berarti mengalasi kampung. Wah?!

Kalau kampungnya kecil, mungkin masih mending. Tapi kalau kampungnya seperti kampung di Bolaang Mongondow yang besarnya ada yang seluas kecamatan Lowok Waru Malang (jangan kaget mas, mbak, soalnya itu sudah ditambah dengan kebun maupun hutan yang masih masuk wilayah kampung itu), berapa banyak uang yang diperlukan untuk mengalasi? Walau punya tabungan untuk dipakai tujuh turunan saya yakin tak akan sanggup.
Tapi, tentu yang dimaksud di sini tak sebesar itu. Bahasa dalam adat Bolaang Mongondow memang sedikit unik, sedikit membesar-besarkan persoalan, mungkin agar yang akan melakukan tindakan melanggar takut melakukan niat buruknya. Padahal yang dimaksud sesungguhnya tak sebesar itu. Kisaran dari mogompat kon lipu’ paling banyak hanya beratus juta (lho?), tergantung dari kesepakatan para guhanga, yaitu pemangku adat di kampung. Bahkan ada yang besarnya hanya beberapa puluh ribu.
Yang repot dari mogompat kon lipu’ adalah jika yang dihukum diharuskan menyediakan uang kuno yang tak tahu lagi harus didapatkan di mana, atau bisa saja dihukum “pololanon” alias diusir.
Wah, kalau begini bisa berabe! Apalagi diriku tak punya penunjang untuk membela secara adat. Diriku ini miskin, jauh dari penguasa, bermarga yang tidak umum: Syukur!
Tentang marga ini, memang mengundang persoalan. Suatu hari, aku bertemu dengan seorang teman yang kebetulan asalnya dari Gorontalo dan dia langsung berbahasa Gorontalo, aku yang kebingungan hanya bisa jawab dalam bahasa mereka: “Sory, dia tawa’u,” yang maksudnya kira-kira “Maaf, aku tak tahu.” Di lain kesempatan, kebetulan oleh seorang wartawan yang iseng namaku sering dimunculkan untuk menanggapi berbagai persoalan di daerah, ketika bertemu dengan seorang kawan dia bilang: “Saya kira kamu dari Jawa!”
Repot juga, kan?
Padahal aku ini putra daerah asli lho! Kedua orang tuaku pun bukan sepuhan, keduanya benar-benar orang Bolmong. Margaku ini punya jalan cerita sendiri. Dia sebenarnya terkait dengan marga besar, terutama Buntuan dan Paputungan, tapi untuk menghindari inseks alias perkawinan sedarah maka nama buyutku yang bernama Syukur yang dijadikan marga, maklumlah di daerahku perkawinan semarga tak diharamkan seperti di daerah lain.
Seharusnya sih dengan penjelasan ini, semua jadi terang. Walau begitu, tetap saja aku takut disalahkan adat. Karena itu, biar kujelaskan mengapa kupakai judul ini. Inilah yang kutakutkan mencantumkan judul ini tanpa harus menjelaskan terlebih dahulu.
Dari mulut orang-orang tua, mereka selalu berkata bahwa Bolaang Mongondow di masa lalu sempat jaya. Bersama Hulontalo (Gorontalo), Bolaang Mongondow merupakan kerajaan besar di Sulawesi Utara. Kekuasaannya melingkupi Bitung sampai wilayah Bolmong sekarang, berarti termasuk Manado dan Minahasa. Punu’ kami, yaitu penguasa yang dipilih oleh para kepala suku yang disebut “Bogani” sebelum berlaku system Datu yang berlaku turun temurun, yang bernama Damopolii dianggap sebagai Raja Manado yang di Minahasa lebih dikenal dengan Ramopolii. Bahkan di Ternate ada kampong Loloda yang konon diambil dari nama Datu kami yang bernama Loloda Mokoagow, seorang Raja yang selalu beradu siasat dengan penjajah Belanda.
Nah, besar dan kuat juga kan Bolmong?
Tapi kebesaran dan kekuatan daerahku ini seperti kompor yang telah bocor sehingga kunamai “komporbocor” di mana masih menyala tapi sudah redup-redup.
Tak sama dengan daerah lain, Bolaang Mongondow bukanlah bangsa batu melainkan bangsa kayu. Ini bukan berarti daerahku bebas dari kepala batu lho, termasuk saya sendiri cukup kepala batu juga (aku jujur, kan?).
Maksudnya, di daerahku bangunan jadul tidak terbuat dari batu melainkan dari kayu (tapi di sini tak ada yang kepala kayu). Memang ada beberapa batu yang dijadikan sejarah seperti batu berukir tapak kaki yang dipandang masyarakat sebagai tapak kaki Bogani serta beberapa batu lain namun pada bangunan tak digunakan batu. Karena itu, di daerahku tak ada candi atau prasasti atau lainnya yang bisa dijadikan bukti kehebatan leluhurku.
Komalig atau istana raja itu sebenarnya cukup kuat walau terbuat dari kayu. Namun tahulah kayu. Alat pembakar saja dari kayu, maksudku kayu macis (korek), sehingga wajar jika mudah terbakar. Apalagi zaman Permesta dulu di mana komalig memang sengaja dibakar. Tradisi menulis juga tak ada pada leluhurku. Kebiasaan di sini hanya oral (jangan piktor, ya!). Perjalanan di masa lalu hanya diceritakan lewat lisan yang Anda tahu sendirilah, cerita itu bisa dipanjang-pendekan sesuai keinginan si pencerita. Walhasil, daerahku tak punya peninggalan yang bisa memperkuat apa yang dikatakan orang tua.
Pada masa penjajahan, daerahku dianaktirikan karena selalu melawan walau perlawanannya hanya secara adat tanpa kontak pisik sehingga pembangunan pisik tak dibuat penjajah di sini.
Daerahkupun mulai memudar. Nyalanya yang tadinya berkobar-kobar perlahan mengecil. Bahan bakarnya yang bocor membuat daerahku kurang dikenal sekarang. Menyedihkan, ya?

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB