Merundingkan
Perhitungan
Sejujurnya sempat muncul keraguan untuk mengurai
persoalan ini panjang lebar karena memang saya marah besar ketika perundingan
terakhir dengan pihak perusahaan. Secara pribadi saya merasa tersakiti. Saya
putra daerah, karya saya sangat terkait dengan daerah walau tidak
keseluruhannya. Minimal latar cerita maupun tokoh sangat terkait dengan daerah.
Pun pembicaaraan dengan elit telah dilakukan dengan baik namun pada
pelaksanaannya ternyata tidak seperti yang diharapkan. Bukan saja saya ditolak
tapi dikatakan RAKUS KARENA INGIN MENGAMBIL SEMUA ANGGARAN YANG TERSEDIA.
Sekadar kilas balik, pada pertemuan bulan Februari,
Kepala Perpustakaan mengatakan anggaran pengadaan buku besarnya 40 juta. Namun
begitu kami kembali pada awal bulan april, anggarannya tersisa 32 juta. Berarti
telah berkurang 8 juta atau 20%. Ketika ditanyakan anggaran buku saya yang 4
judul dengan ketersediaan 300 eksemplar perjudul dan harga 25 ribu-30 ribu
rupiah perjudul, saya dengan jujur harus mengatakan bahwa anggaran keseluruhan
untuk buku saya besarnya 38 juta.
38 juta jelas akan mengambil 95% anggaran jika
anggarannya masih tetap 40 juta, bahkan anggaran yang ada akan kurang 6 juta
jika anggaran yang tersedia tinggal 32 juta alias berkurang 20%. Anggaran ini
sangat kecil jika dikaitkan dengan anggaran lainnya yang bernilai milyaran.
Tapi tetap saja ini anggaran namanya dan tentu saya tak akan bertindak serakah
walau anggarannya kecil.
Sejak awal saya sudah katakan kesediaan saya untuk
berunding. Untuk berunding, saya sudah bersabar setahun lebih lamanya. Saya
juga tak pernah mempergunakan power elit yang telah memberikan jalan ini dalam
menekan. Bagi saya, perundingan yang baik adalah dengan tidak mengikutkan pihak
lain--terlebih dalam menekan.
Saya mengemukakan angka 38 juta karena itu yang
ditanyakan. Tapi bukan berarti itu bahwa angka itu harus dipenuhi karena masih
terbuka pintu untuk solusi. 300 eksemplar untuk judul yang harganya 30 ribu,
harga totalnya 9 juta. Sedangkan 300 eksemplar untuk judul yang harganya 25
ribu, harga totalnya 7,5 juta.
Pengemukaan angka-angka diatas sebenarnya untuk
membuka ruang diskusi lebih lanjut. Misalnya dengan mengakomodir 2 judul
terlebih dahulu dan perjanjian untuk penganggaran 2 judul lainnya pada waktu
berbeda. Ini baru solusi namanya dan merupakan bagian pekerjaan dari seorang
penentu kebijakan.
Namun penentu kebijakan dengan gagahnya langsung
berteriak: DIA SOMO AMBE SAMUA INI ANGGARAN...
Beruntung orang yang menerima telepon telah
mengetahui siapa saya, dan tentu dia yang lebih mengetahui siapa Kepala Kantor
Perpustakaan.
Kemampuan komunikasi dari Kepala Perpustakaan ini
yang mengherankan sekaligus menyesalkan saya. Dalam kondisi normal, saya masih
ingin berdebat. Tapi ini kondisinya sama sekali tidak normal. Dan daripada saya
terbawa perasaan, saya lebih memilih menjabat tangan beliau dan berlalu.
Saya pikir wajarlah jika ada rasa kesal yang luar
biasa. Sudah setahun saya mengusahakan, semua karena arahan petinggi yang
kuasanya lebih tinggi dari Kepala Perpustakaan, tapi ternyata mentok di Kepala
Perpustakaan. Padahal apa yang diinginkan oleh Kepala Perpustkaan sudah saya
lakukan. Termasuk menyediakan pihak ketiga yang ternyata tidak bisa lagi karena
sudah buku saya pun tinggal disisipkan. Kekesalan saya yang lain, ternyata
arahan dari atasan tidak dipatuhi oleh Kepala Perpustakaan. Ketidakpatuhan
Kepala Perpustakaan ini akan memunculkan penafsiran lain, jangan-jangan pihak
atasan sebenarnya telah mengintruksikan kepada Kepala Perpustakaan untuk
mengambil kebijakan seperti ini.
Memang bisa jadi ATASAN BAIK SEDANGKAN BAWAHAN KURANGBAIK. Tapi jika kebijakan atasan sudah setahun lebih tapi tetap tidak dilakukan
oleh bawahan, bisa juga akan timbul pemikiran lain. Apalagi kebijakan dari
atasan sebenarnya telah tepat dan tidak melanggar aturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"