Kamis, 30 September 2010

POLEMIK LOLAK MEMIRISKAN


Tanggapan akan Memicu Kisruh
Permintaan agar ibu kota Bolaang Mongondow (induk) di Lolak segera dimanfaatkan sebenarnya sudah cukup lama. Saya sendiri meminta ini 3 (tiga) tahun lalu yang akhirnya membuat saya harus berpolemik dengan orang tua saya Drs Djainudin Damopolii (Ketua Pemekaran Bolaang Mongondow) dan Ridwan Thalib. Waktu itu saya dipandang anak yang tak tahu diri karena telah mengusir ibu yang melahirkan Kotamobagu, tidak bermanfaat sebagai orang Mongondow, saya dipandang orang yang tidak tahu memahami Undang-undang pemekaran Bolaang Mongondow yang unik, dan lainnya.

Saya sebenarnya ingin berpolemik terus waktu itu. Namun saya membiarkan saja mengingat akan terjadi debat kusir yang akan melahirkan istilah-istilah aneh yang bisa membakar emosi. Lagi pula, saya sangat memahami bahwa tak mungkin Lolak akan segera dipindah saat itu karena infrastrukturnya memang masih jauh dari sempurna.
Saya mencoba meminta atau tepatnya mempersoalkan pemanfaatan ibu kota ini tak lama setelah Kotamobagu mandiri menjadi Kota agar Pemkab Bolaang Mongondow (induk) segera mempercepat pembangunan infrastruktur di Lolak sehingga bisa segera pindah tanpa ada ribut-ribut lagi.
Akan memalukan kalau kita ribut-ribut soal urusan pindah rumah mengingat kepindahan ini bukan lagi dalam ruang “hak” melainkan sudah menjadi “kewajiban”. Pemkab Bolmong (induk) memang “harus” pindah. Jika ribut di Kotamobagu berarti Pemkab Bolmong (induk) “diusir” dan keributan di Lolak berarti Pemkab dinilai “tidak bertanggung jawab”. Jelas keduanya sama-sama memalukan!
Saya gembira ketika mendengar Bupati memerintahkan pada semua SKPD agar bersiap pindah ke Lolak. Memang santer terdengar isu bahwa kepindahan ini terkait dengan targetan politik karena MMS punya calon kuat yang ingin beliau menangkan dalam Pemilihan Bupati (Pilbup) 2011. Tapi bagi saya itu bukan persoalan. Apa pun targetannya, yang penting Pemkab Bolaang Mongondow segera pindah agar Lolak segera termanfaatkan!
Namun kepindahan itu ternyata belum juga terwujud dan Lolak pun mulai menuntut.
Awalnya saya menduga tuntutan kawan-kawan pemuda di Lolak hanya untuk membangun opini saja yang secara politis endingnya (akhirnya) akan menguntungkan Bupati. Bupati akan dinilai sebagai pahlawan karena telah memenuhi tuntutan masyarakat. Karena saya tak begitu peduli dengan misi politik siapapun, maka saya membiarkan saja. Yang penting bagi saya, Lolak segera difungsikan sebagai ibu kota!
Namun polemic akhir-akhir ini membuat saya miris. Spanduk dari para penuntut sudah sampai pada kata-kata yang menurut saya wajar tapi bagi mereka yang memandang kehalusan budaya Bolaang Mongondow kata-kata itu sudah keterlaluan. Kata-kata penuntut ini saya pandang wajar karena mereka sudah tidak tahan bolak-balik menuntut namun tak ada hasil.
Yang memiriskan adalah tanggapan mereka yang membela Pemkab. Baca saja bantahan Efendi Abdul Kadir yang mengatakan telah melakukan komunikasi dengan beberapa OKP se-Bolmong untuk memindahkan ibu kota dari Lolak ke Dumoga atau Lolayan jika kepindahan SKPD ke Lolak terus dipolemikan. Rupanya Efendi tak sadar bahwa bantahannya merupakan polemic tersendiri dan akan mengipasi bara sehingga menjadi api yang akan membakar semua.
Saya bukan tidak setuju Lolayan atau Dumoga menjadi ibu kota, tapi pengopiniannya saya rasa sangat janggal. Jelas Lolayan maupun Dumoga akan bersiap mengingat keberadaan ibu kota memang cukup menjanjikan dari sudut ekonomi dan lainnya. Tapi Undang-undang mengatakan ibu kota adalah Lolak. Memang bisa saja dilakukan pemindahan seperti yang terjadi di Malut. Tapi apa hanya karena rakyat Lolak menuntut daerahnya segera dimanfaatkan sebagai ibu kota kemudian keberadaan Lolak sebagai ibu kota di cabut?
Apakah Efendi pernah berpikir cost social jika kepindahan ibu kota sampai terjadi? Kepindahan ini bukan lagi sekadar menjadi pertentangan antara pemerintah dengan akar rumput tapi akan menjadi pertentangan antar akar rumput.
Saya orang Bolaang Mongondow, saya cinta daerah saya, saya akan mencegah jangan sampai apa yang dikatakan Efendi Abdul Kadir terjadi. Saya yakin Ny. Hj. Marlina Moha Siahaan sebagai pengayom rakyat juga cinta rakyatnya. Beliaupun tentu akan melakukan hal yang sama, bahkan mungkin akan menegur Efendi Abdul Kadir yang membuka polemic baru yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di Bolaang Mongondow.
Saya pikir, langkah terbaik untuk mengakhiri polemic Lolak ini adalah dengan memanfaatkan Lolak sebagai ibu kota sesegera mungkin. Bukan dengan memunculkan opini baru yang anproduktif. (Anuar Syukur)
***

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB