Jumat, 13 Agustus 2010

LOBONG, LUMBUNG NENAS BOLMONG



Panen Besar Jelang Lebaran
Adam Potabuga dan Isteri
Lobong merupakan desa di jalan utama trans Sulawesi Amurang-Kotamobagu-Doloduo (AKD) yang menjadi penghubung dengan Manado. Letaknya di ngarai yang diapit gunung, di kanan-kirinya terdapat deretan pegunungan. Di deretan pegunungan itu akan kita lihat barisan nenas yang menghijau.

Menurut Adam Potabuga, mayoritas warga Lobong, bahkan warga lain yang punya kebun di Lobong menanam nenas. “Paling sedikit petani nenas di sini menanam lima ratus pohon yang bisa beranak sampai dua-tiga ribu pohon. Dan paling kurang ada seribu petani nenas. Bisa Anda bayangkan berapa banyak yang akan dihasilkan setiap panennya,” katanya.
Masyarakat lebih memilih nenas karena dipandang lebih menguntungkan dari segi pemeliharaan.
“Memang agak repot ketika pertama kali tanam karena rumput banyak yang tumbuh, tapi setelah nenas sudah tumbuh sudah tidak terlalu repot lagi, apalagi sekarang sudah ada racun rumput sehingga cukup disemprot saja. Yang kami lakukan hanya menebang bakal pohon yang bisa kami lakukan bahkan sampai enam bulan sekali dan dengan tenaga sendiri,” kata Adam yang biasa dipanggil Laki Dali ini.
Nenas juga bisa dipanen bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena anakan nenas yang ditanam akan kembali berbuah. Secara ekonomis, keuntungan dari nenas didapat seiring dengan bertambahnya anakan.
Selain itu, waktu panen juga bisa diatur dengan mengatur pembuahan. Biasanya petani akan merangsang tanaman dengan zat perangsang dari pabrik maupun menggunakan karbit tiga bulan sebelum waktu yang ditetapkan untuk panen.
“Dulu sebelum ada obat-obatan dari pabrik, masyarakat di sini menggunakan karbit untuk merangsang pembuahan. Namun sekarang sudah jarang yang menggunakan karbit karena lebih mahal dan kadang-kadang hasilnya tidak sesuai dengan harapan,” ungkapnya.
Hasilnya, bisa terjadi panen raya pada waktu yang ditetapkan tersebut.
Biasanya, petani akan menentukan waktu panen menjelang hari besar keagamaan, seperti lebaran yang tak lama lagi akan dirayakan umat muslim.
“Menjelang lebaran atau hari raya agama lain, permintaan nenas melonjak bisa sampai sepuluh ribu buah perkali angkut. Harganya juga cukup bagus, bisa sampai lima ribu pergandeng yang berisi dua buah nenas,” kata lelaki satu cucu yang selain menjadi petani juga menjadi pedagang pengumpul nenas. Menurutnya, dari mendapat keuntungan sekitar seribu pergandeng (lima ratus rupiah perbuah) dari hasil penjualan itu dan sepanjang bulan ramadhan sampai dia bisa menjual minimal dua puluh lima ribu biji.
Luar biasa juga untungnya.
“Ya, cukuplah untuk ditabung dalam menghadapi hari-hari yang sulit serta untuk memenuhi keperluan rumah tangga dalam menyambut lebaran,” katanya merendah.
Wilayah pemasaran nenas Lobong, selain Menurutnya, pasar nenas Lobong, selain untuk local Bolaang Mongondow, juga biasa dibawa ke Manado, Gorontalo, bahkan Palu.
“Biasanya kalau lebaran, walau sudah diupayakan untuk panen serempak namun tetap tak bisa memenuhi permintaan pasar,” ujarnya.
Tokoh muda Lobong, Repol Mokodongan meminta perhatian pemerintah agar nenas tak seperti tanaman tahunan.
“Kalau kita hanya sekali panen besar yaitu menjelang lebaran, berarti nenas sama saja dengan tanaman tahunan padahal jelas berbeda. Namun kalau tak kami buat begitu, artinya kami melakukan panen setiap waktu, jelas kami akan rugi. Karena itu, kami berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang tepat sehingga nenas bisa jadi salah satu komoditi andalan,” kata tamatan Sekolah Pertanian Menengan Atas (SPMA) Mongkonai ini.
Lebih lanjut, Repol mengemukakan, bisa saja dibangun pabrik pengolahan nenas di Lobong.
“Mungkin hasil panen nenas di Lobong belum mencukupi jika dibangun pabrik berskala besar. Tapi itu bukan alasan untuk meniadakan pabrik di sini. Menurut saya, justru ini merupakan peluang karena wilayah komoditi nenas bisa diperluas sampai hasilnya mencukupi untuk dikelolah pabrik,” tuturnya.
Melalui tabloid naton ini, Repol berharap agar tak hanya pemerintah yang memikirkan tapi juga orang Bolaang Mongondow yang berada di rantau.
“Jika pemerintah tak sanggup mendatangkan investor, mungkin orang Bolaang Mongondow yang ada dirantau bisa menjembatani atau bahkan menjadi investor itu sendiri. Tak perlu mereka datang ke sini karena kita juga sangat memerlukan orang Bolaang Mongondow di rantau, tapi kami berharap pemikiran dan modal mereka dapat ikut memajukan kampung halaman,” harapnya. (Anuar Syukur)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB