Kamis, 01 Oktober 2009

Prasasti

Oleh A. Totabuan Syukur


“Kita harus membangun membangun prasasti bagi orang-orang yang telah berkorban untuk kampung kita, Kang,” kata Suli.
“Untuk apa?” sentak suaminya, Parman, “mereka hanya sekedar mati. Ya, mati! Tak perlu dibuatkan prasasti segala!”
“Prasasti itu penting, Kang! Selain untuk mengenang kepahlawanan mereka…”
“Kepahlawanan katamu?!” potong Parman membentak. Dia membuka baju, bekas luka terlihat di dadanya. Sambil menunjuk-nunjuk bekas luka itu dia berkata: “Apa kau tidak lihat bekas luka ini, hah? Apa kau sudah lupa pada luka yang kau obati sendiri ini? Apa derajat mereka yang mati lebih tinggi daripada luka yang kuderita? Mereka enak, Sulis! Mereka tak lagi merasakan penderitaan hidup. Sedangkan aku? Pensiun saja tak cukup untuk membiayai luka dalam yang aku derita! Masyarakat juga tak menghargaiku. Luka ini tak ada nilainya bagi mereka!” Parman mendadak sedih. Kemudian amarahnya bangkit lagi. “Sekarang kau minta aku mendirikan prasasti buat mereka. Buat mengenang kematian mereka? Mengapa tak kau pikirkan nasib kita sendiri yang masih hidup, yang telah memberikan darma bakti kita untuk negara tapi telah menderita di tengah keedanan zaman ini. Mengapa kau tak mempedulikan pengorbanan kita yang tak pernah diperhitungkan? Mengapa kau lebih mengurusi orang mati? Orang mati!”
Seperti biasa, Sulis segera menghindar etika bongkahan amarah berbalut romantisme masa lalu dan kesengsaraan hidup sekarang diungkap Parman. Sulis tak pernah berdebat, tepatnya tak ingin mendebat. Di sisi relung hatinya juga ada luka! Luka yang hanya tersembuhkan jika prasasti berdiri!
Tinggalah Parman sendiri meratapi nasib. Bekas luka itu sebenarnya tak sakit, tapi ketidakpedulian masyarakat membuat lukanya itu perih. Masyarakat memang senang mendengar cerita tentang asal luka itu, apalagi luka itu dia kaitkan dengan sejarah kampung. Tapi mereka tak memberikan tempat yang layak untuknya. Masyarakat hanya memberi tempat sebagai pendongeng dan pengusir hantu untuk lukanya itu. Sedangkan tempat yang dia impikan, sebagai Kepala Kampung, justru diberikan pada orang lain yang katanya pandai, anak sekolahan, seorang sarjana.
Parman sangat tahu sejarah kampung, bahkan lukanya merupakan sejarah kampung. Tapi, pimpinan malah diberikan pada anak muda yang sama sekali tak mengetahui sejarah kampung. Beh!
***
“Engkau melihatnya juga?” tanya seseorang.
“Iya, aku melihatnya!” sahut ang lain.
“Iya, aku juga melihatnya! Bajunya yang putih itu sungguh mengerikan, belum lagi wangi-wangian yang dia bawa. Hiii,” tambah yang lain, ngeri!
Kampung yang tenang itu tiba-tiba geger. Sosok berbaju putih dengan wewangian kubur, bau bunga kamboja, muncul di mana-mana. Hampir setiap warga kampung melihatnya. Yang belum melihatnya dengan mata pisik telah melihatnya dengan mata batin. Anak-anak minta ditemani walau hanya ke kamar kecil yang ada di dalam rumah. Hantu memang selalu membuat takut anak-anak. Kali ini, orangtua juga takut!
Kepala Kampung yang sarjana itu bingung. Cara mengusir hantu yang ada di buku telah dia terapkan tapi tak juga mempan. Ini masalah yang irasioanl, batinnya. Karena itu, buku tak mungkin bisa mengatasi. Akhirnya dia mendatangi Parman, yang oleh masyarakat dipandang ahli masalah perhantuan.
Parman tak langsung memberikan apa yang diharapkan Kepala Kampung. Dia tak ingin dipandang hanya pengusir hantu, dia ingin dipandang punya pengetahuan juga seperti Kepala Kampung yang sarjana.
“Dulu, di sekitar kampung ini merupakan hutan lebat. Di hutan lebat itu dihuni para dedemit. Tapi, begitu kalian moncrot, dewasa, dan sekolah, keberadaan mereka kalian kesampingkan. Nah, wajar kalau sekarang dia menunjukan diri.”
Apa benar begitu? Kepala Kampung yang sarjana berpikir.
“Nak, keberadaan mereka bukan hanya tahyul, lho. Keberadaan mereka juga ada di Kitab Suci. Nah, kita ini bertetangga dengan mereka; walau tentu mereka tidak kelihatan. Sebagai tetangga yang baik, kita harus saling menghormati, saling memberi. Dan bicara tentang memberi, ada caranya. Kita siapkan sesaji untuk mereka!”
Kepala Kampung masih sulit percaya, bagaimanapun toh dia sarjana, jadi harus masuk akal! “Itu pemberian kita! Pemberian mereka?”
Parman tersenyum. “Yang nyata adalah rasa aman. Dan yang tidak nyata, tentu tidak bisa kita lihat. Lha wong wujudnya saja tak bisa kita lihat, apalagi barang pemberiannya. Iya, to?!”
Walau masih belum percaya namun Kepala Kampung harus yakin. Bagaimana tidak? Cara yang dia percaya selama ini ternyata tak mampu mengusir sosok mengerikan itu. Akhirnya, sesajipun disajikan di salah satu pohon besar. Menurut Parman, di sanalah kerajaan dedemit bertahta. Kopi, teh, berbagai panganan, dan bermacam jenis bunga diletakan di sana.
Ternyata, setelah persembahan sesaji itu, sosok itu tak muncul. Ini membuat Parman besar kepala.
“Nah, apa kataku? Kita memang harus meng-orang-kan penunggu kampung kita. Makanya, jangan sok pintar. Bagaimanapun, untuk memecahkan masalah harus dilihat dari sejaranya,” katanya pada orang kampung yang mendatanginya. Sambil bicara dia memegangi dadanya dan meringis. Dia ingin orang kampung memperhatikan luka di dadanya. Luka itu juga bagian dari sejarah kampung!
***
Ketidakmunculan sosok itu sedikit mengangkat posisi Parman dari sekedar pendongeng dan pengusir hantu. Sekarang dia dipercaya menjadi pemelihara pohon itu. Dia yang memimpin upacara pemberian sesaji. Dan untuk itu dia mendapatkan sedikit rupiah, yang kalau dikumpul lumayan juga.
Agar masyarakat lebih percaya, dan dia mendapat keuntungan yang lebih, hampir tiap hari dia ke pohon itu. Memberikan sesaji, setelah itu menyuruh masyarakat mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Ah, ternyata untuk mendapatkan uang tak perlu sekolah tinggi-tinggi! pikirnya.
Dari sesuatu yang hanya sekedar mencari nafkah, akhirnya menanjak ke kesadaran bahwa pohon itu adalah hidupnya. Ini yang membuat Parman khusu’ ketika di sana. Seperti sore itu, dia pun sangat khusu’. Angin yang bertiup kencang membuat pohon seolah berbisik. Daun-daunya bergesekan, juga dahannya. Tapi Parman sedang hanyut.
Tiba-tiba…
“Hai Parman, mengapa kau menghormati dedemit yang tak pernah kau lihat? Sedangkan aku, yang sudah berkorban untuk kampung tak pernah kau pedulikan?!”
Parman kaget luar biasa. Kepalanya mendongak. Mencari asal suara. Bulu kuduknya langsung berdiri. Beberapa meter di hadapannya ada sosok putih dengan wajah hitam seperti jelaga. Sosok itu sungguh menyeramkan.
“Si…siapa kau?” Parman terbata-bata.
“Aku Satria!”
Satria?” Parman tertegun. Ya, memang, itu suara Satria. Tapi, dia kan sudah mati? “A…apa yang kau inginkan?”
“Ha-ha-ha.” Tawa menggema. “Apa kau hanya ingin menghormati dedemit?”
Suara gesekan daun dan dahan pohon membuat Parman semakin merinding ketakutan. “Ti…tidak. Apa yang kau inginkan?”
“Bangunkan prasasti untuk mengenang para pahlawan yang telah gugur di kampung ini. Apa kau mau?”
“Ma…mau”
Sosok itu pun menghilang seperti ditelan malam. Meninggalkan Parman dalam kesendirian. Bayangan masa lalu, yang ingin dia hilangkan, kini tergambar nyata. Bayangan itu tak bisa dia sensor. Bayangan itu tak bisa dia jadikan versi lain, seperti saat dia menceritakannya pada masyarakat. Bayangan itu tersaji apa adanya.
***
Masa peperangan…
“Bangun, Parman. Musuh sudah di perbatasan kampung. Kita harus melawan.”
Parman yang baru terbangun dari tidur bingung, cemas, dan takut. Selama ini, dia sebenarnya tak pernah berperang. Yang dia lakukan hanya bersembunyi. Persembunyiannya tak mungkin diketahui karena kawan-kawannya sibuk mengganyang musuh. Juga kawan-kawannya banyak sehingga tak mungkin memperhatikan satu persatu.
Biasanya ada dua kemungkinan yang terjadi saat perang. Kalau musuh sedikit, kawan-kawannya pasti akan melibas habis musuh. Sedang, kalau musuh banyak atau setidaknya sama, karena kalah persenjataan, komandan akan memerintahkan untuk mundur. Ini kebijakan yang benar-benar bijak karena nyawa harus dihemat, begitu juga dengan senjata dan peluru.
Tapi, bagi Parman, sedikit atau banyak jumlah musuh maka yang dilakukannya tetap: bersembunyi.
Dengan bersembunyi reputasi Parman tetap. Jika musuh kalah maka cepat-cepat dia keluar dari persembunyian, dia akan tampil untuk merampas—tepatnya memunguti—senjata-senjata musuh sambil mencaci maki dan menendang musuh yang telah menjadi bangkai itu. Jika harus mundur maka dia sudah di depan untuk lari.
Reputasinya ini yang dia ceritakan pada orang-orang kampung, terutama pada Mirna, kembang desa yang sangat senang mendengar cerita kepahlawanan. Dan dia sangat senang pada pemuda pemberani. Sudah lama Parman menaruh hati padanya tapi nampaknya Mirna masih menginginkan oleh-oleh yang lebih. Entah, mungkin mata atau kepaa musuh.
Tapi, kali ini dia tak mungkin dapat bersembunyi. Yang menyandang bedil hanya dia dan Parman. Kalau bersembunyi, pasti akan kelihatan. Belangnya akan terbongkar. Dan Mirna akan berpaling padanya.
Mengapa aku pulang? sesalnya. Sebenarnya yang diperintahkan pulang oleh atasannya hanya Satria, entah karena apa. Tapi, karena dia rindu pada Marni, akhirnya dia minta izin untuk ikut Satria dan komandan mengizinkan.
Dor…dor…
Ke mana Satria? Parman memandangi sekeliling. Satria sudah tak ada. Pasti dia yang menembak! ujar hati Parman. Kawannya yang satu ini memang lain. Dia tak pernah sembunyi, dia benar-benar berjiwa ksatria. Satria telah menunjukan keberaniannya dalam berbagai pertempuran. Di pundaknya ada bekas tertembus peluru. Belum sembuh betul tapi dia terus ikut bertempur. Sialan!
Walau mengutuk namun Parman mengambil juga bedilnya.
Dor…dor…
Dasar bodoh. Di sini bukan wilayah perang, di sini yang ada hanya penduduk sipil. Satria salah. Dia telah membangkitkan amarah musuh. Rakyat tak boleh dikorbankan. Aku harus mengingatkan Satria!
Segera Parman keluar. Tapi, yang disaksikannya, rakyat telah bersenjatakan seadanya. Satria juga terus menembaki musuh.
Dor…dor…
“Parman, selamatkan perempuan!” teriak Satria tanpa menoleh, seakan punggungnya punya mata.
Parman bingung. Harga dirinya terusik. Dia merasa Satria menganggap dirinya tak berguna. Menyelamatkan perempuan? Huh!
Parman menggenggam bedilnya. Dia membidik. Tapi sebutir tima panas menghujam dadanya. Parman roboh. Ketakutan pada maut menyelimutinya, yang membuat dirinya melupakan segalanya.
Begitu siuman, wajah gadis cantik berada di sisinya. Bukan Mirna. Ke mana Mirna? Ternyata Mirna telah gugur. Juga Satria. Juga yang lainnya. Mereka tak mampu lagi menunggu bantuan yang datang. Puluhan peluru telah menembus jasad mereka.
***
“Kita harus membangun prasasti, Sulis,” kata Parman pada isterinya.
“Prasasti? Untuk siapa? Untuk para pahlawan yang telah gugur di sini?” isterinya balik bertanya. Parman mengangguk. Isterinya tersenyum tulus. “Kan sudah saya katakan dari dulu, kita seharusnya membangun sesuatu untuk mengenang mereka. Mereka sudah berkorban untuk kita, Kan! Akang seharusnya berterimakasih pada mereka. Karena mereka, musuh terhambat geraknya. Kalau tidak, pasti Akang telah ditemukan musuh, dijadikan tawanan, bahkan bisa jadi dibunuh!”
Parman memandangi isterinya. Perempuan yang telah menolongnya iu masih terlihat cantik, juga tulus, juga polos. Dia tak pernah tahu apa yang terjadi. Dia telah menelan mentah-mentah cerita Parman. Bahwa Parman yang paling dicari musuh. Bahwa Parman yang pertama kali tertembak. Bahwa Parman…
Karena itu Sulis mau dia persunting.
Isterinya sama dengan rakyat. Rakyat juga telah termakan kebohongannya. Bahwa dia punya jimat kebal tapi sayang tidak dia pakai waktu itu. Bahwa dia juga punya ilmu lain.
Rakyat segan padanya karena cerita itu.
Satu hal yang tak pernah isterinya, juga rakyat, ketahu. Dia masih menyimpan bara cinta pada Mirna. Bahkan dia mencemburui kematian Satria dan Mirna. Ini yang membuat hatinya tak tergerak untuk membuatkan prasasti untuk mengenang mereka.
Sekarang pun sebenarnya dia belum siap. Rasa cemburu masih melekat di hatinya. Tidak rasional. Jasad tinggal tulang kok dicemburui! Memang tidak rasioan. Tapi itu yang ada di hatinya.
Sosok yang mengaku arwah Satria sekarang berkelebat di benaknya. Hiii! Buluk kuduk Parman merinding. Dia harus berkampanye agar prasasti itu jadidibangun. Dia siap berdebat dan emnakut-nakuti kalau ada yang dihalangi, termasuk Kepala Kampung yang sarjana tapi goblok itu.
***
akhirnya jadi juga prasasti itu. Cukup megah. Di sana tertulis: DI SINI TELAH GUGUR PAHLAWAN PADA… Selanjutnya deretan nama yang telah gugur. Pada deretan teratas ada nama Satria dan Mirna. Sebenarnya Parman ingin menempatkan Mirna pada deretan terbawah tapi dia takut arwah Mirna akan muncul untuk menuntut, seperti Satria.
Sulis, isteri Parman, menyanyi. Dia menari. Dia memeluk erat prasasti itu, seakan membawanya serta menari. Oh luka, kini kau telah terobati! bisiknya tanpa suara.
Masa peperangan…Sulis muda merasa bersalah. Dia menjalin cinta segitiga. Dengan atasanya, juga dengan seorang prajurit. Sang atasan mendepak halus sang rival dengan memerintahkannya pulang kampung. Tapi, kemudian Sulis dicampakan karena sang atasan akhirnya tahu Sulis telah punya anak dengan sang prajurit. Sulis sadar. Dia mencari sang kekasih tapi menemukan jasadnya tak bernyawa lagi. Rasa bersalah semakin menjadi, menjadi luka. Obatnay hanya satu, prasasti! Ya, prasasti cintanya yang telah mati.
Sekarang, prasasti itu telah berdiri. Luka di hati telah terobat. Saat bernyanyi dan menari, dia dapat melihat senyum sang kekasih. Tanpa sadar dia berseru… “Oh Satria, hanya kau penawar luka…”
Parman melihat semua. Dia pun sadar, dia tak pernah dicintai.
***
Malang, 12 Agustus 2004

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB