Jumat, 13 Agustus 2010

Tuntul Di masa Sulit



Memasuki Ramadhan, selain kue dan berbagai jenis makanan mulai dari manuk pinogiot (membahasa Indonesia kan gimana ya?), ilosingan, rica-rica, yondog, kolak, onde-onde, dan lainnya yang kita nikmati ketika buka dan sahur. Juga baju baru, ilulut, binarundak, dinarag, dan lainnya saat hari raya. Yang terbayang pada kita juga adalah meriahnya tuntul 3 malam terakhir Ramadhan.

Bicara tentang tuntul, saya jadi ingat kenangan saat awal saya di kampung halaman tahun 2006. Waktu itu teman-teman Remaja Masjid bertekad menerangi lapangan Motoboi Kecil yang merupakan lapangan terbesar kedua di Bolaang Mongondow setelah Gelora Ambang. Pusing juga.
Minyak agak langkah, krismon masih terus membayang, kebanyakan—terutama saya—belum punya persiapan untuk menghadapi lebaran. Padahal dibutuhkan minimal 3 drum minyak tanah untuk menerangi lapangan itu selama 3 malam. Belum lagi diperlukan tak kurang 10 ribu botol kecil seperti botol karatingdeng, M150, hemaviton. Manalagi harus membeli sumbuh, membuat loga-loga (tempat sumbuh) dan lainnya. Semua butuh fulus yang lumayan besar, jutaan rupiah. Dari mana?
Namun niat sudah dipancangkan, pantang untuk undur selangkah pun. Saat rapat dengan Badan Ta’mir Masjid (BTM) Darusalam, masalah minyak teratasi. Drs. Jemy Lantong yang waktu itu masi anggota DPRD Bolmong menyumbang 1 drum, 1 drum sumbangan BTM dan 1 drum dari Lurah Motoboi Kecil serta pegawai Syar’i. Sungguh rapat yang berproses dengan baik dan hasil yang indah.
Masyarakat pun menyumbang botol-botol kecil yang mencukupi setelah datang bantuan dari restoran Lembah Bening. Kami, walau matahari luar biasa terik yang mengeringkan kerongkongan namun harus mencari patok dan bambu di Molayak. Pembuatan loga-loga ternyata harganya dipermurah sampai separuh harga, ada juga yang membantu membeli labrang, tali dan lainnya.
Luar biasa masa itu. Masing-masing menyumbang apa yang dia punya atau yang dia bisa. Gotong royong yang mewujud.
Malam pertama, setelah trawih, muncul lah kreasi itu. Lapangan Motoboi Kecil berhias lampu minyak tanah. Ada tulisan Allah, Muhammad, BKPRMI Motoboi Kecil dan ditengahnya seharusnya masjid tapi agak lain—semua dari lampu minyak tanah. Malam kedua bentuknya berubah, juga di malam ketiga. Yang ingin mengabadikan kreatifitas itu dipaksa harus datang terus di tiga malam terakhir Ramadhan.
Luar biasa.
Saya tak tahu apakah itu indah atau tidak. Selain aku tak begitu bisa menilai estetika yang mewujud, aku juga tak bisa memuji diri kami sendiri. Yang jelas kami, seluruh warga Motoboi Kecil, berusaha mewujudkan sesuatu yang saat itu nyaris nihil. Bagiku sendiri, nilai dari semua yang kami lakukan saat itu adalah kemampuan mendobrak bersama. Kami bisa bergandengan tangan untuk mewujudkan sesuatu.
Sekarang sudah tahun 2010, sudah empat tahun peristiwa itu berlalu. Belum ada lagi peristiwa serupa yang dilakukan padahal mungkin seharusnya bisa dikerjakan. Termasuk disaat ini.
Apa yang terjadi dikampungku sesungguhnya tak hanya dapat terjadi disitu. Yang terjadi dikampungku hanya gambaran kecil yang bisa kita terapkan di wilayah yang lebih luas. Tuntul juga hanya satu peristiwa yang bisa juga diterapkan pada peristiwa atau keadaan lainnya.
Inti dari semuanya adalah, kita bisa mengatasi persoalan apapun, dimanapun, kapanpun, jika kita saling bergandengan tangan untuk mengatasi persoalan itu. Persoalan akan teratasi ketika kita mau menyumbang apa yang kita punya atau yang kita mampu untuk mengatasi persoalan itu. Tapi jika kita saling berlepas tangan, menganggap suatu persoalan hanya persoalan orang lain atau persoalan yang ditimbulkan oleh orang lain, maka aku yakin sekecil apa pun persoalan itu tak akan teratasi. Bahkan bisa jadi masalahnya akan bertambah.
Kembali ke tuntul, dia memang bukanlah syariat, dia hanya budaya, hanya sebuah kebiasaan yang mengkristal karena dilakukan terus menerus. Tapi dia adalah sejarah yang menjadi bagian dari diri kita. Sangat disayangkan jika kita biarkan sehingga musnah.
Saat ini memang sulit. Minyak tanah langkah dan mahal—dan semua memang serba mahal sekarang. Tapi kalau kita bisa bergandengan tangan, kurasa tak ada persoalan. Toh kata mahal hanya bagi yang tak beruang seperti saya, sementara bagi yang punya semua sesungguhnya murah. Dan yang bilang mahal masih punya tenaga dan pikiran yang mungkin bisa mengurangi beban. (Anuar Syukur)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB