Kamis, 01 Juli 2010

DATU BINANGKANG


2
Inde’ Dow Meninggal…
Loloda tak pernah berpikir akan menerima tanggung jawab sebagai seorang pemimpin Bolaang dan Mongondow, akan menjadi Punu’ yang berkuasa atas wilayah ke-Punu’-an mulai dari Bolaang dan Mongondow, Tontemboan, sampa Manarow. Sesungguhnya Loloda adalah penyendiri yang selalu merenungkan kehidupan. Dia tak segan-segan mengemukakan perenungannya pada keluarganya, para Bogani, bahkan pada sang Punu’ Tadohe yang merupakan ayahnya sendiri. Lidahnya sangat fasih dalam mengemukakan apa yang dia pikirkan.
Justru yang mendengarkan jadi terkagum-kagum dan bersorak kegirangan karena menemukan pemimpin yang paripurna.
“Penantianmu sudah dijawab Ompu Duata, Punu’. Penggantimu telah mahir berkata-kata dan punya ketajaman berpikir. Engkau tak perlu lagi mencemaskan apa yang terjadi pada ke-Punu’-an setelah kita semua tinggalkan,” kata Inde’ Dow.
Sukuron kon Ompu Duata, Inde’[1]. Loloda tak hanya jawaban atas doa saya tapi juga doa seisi alam Bolaang dan Mongondow. Ompu Duata telah menjawab doa kita, Inde’, sekarang kewajiban kita untuk mendandani agar Loloda benar-benar bisa seperti yang kita harapkan,” kata Tadohe.
Maka Loloda’ pun mulai dilatih untuk disiapkan menjadi Punu’. Dia sangat beruntung Inde’ Dow, Bantong, Oyotang, Mogidag dan Karompeyan masih hidup walau jelas mereka tak mungkin mendampinginya ketika dia menjadi Punu’ suatu hari nanti. Ompu ki Togi Mia[2] telah menjadikan kehidupan hanya seperti lautan pendek yang diarungi, suatu saat dia akan berlabuh ke alam kematian dan bersiap menuju alam keabadian. Namun pelajaran yang mereka berikan sangat Loloda’ harapkan dalam menjalani takdirnya dikehidupan.
Di siang hari, dia dilatih kanuragan oleh Bantong, Oyotang, Mogidag, Karompeyan, bahkan oleh ayahnya sendiri, di malam hari dia akan mendengarkan kebijaksanaan dari Inde’ Dow. Loloda sangat senang mendengar hikmah dari bibir Inde’ Dow yang dia panggil Ba’ai itu.
Pomalui[3], engkau memimpin dimasa yang sulit. Orang-orang pucat berkepala api berkeliaran di wilayah ke-Punu’-an dengan adat dan aturan yang sama sekali berbeda dengan kita. Mereka orang aneh dengan sejuta keanehannya. Senjatanya seperti milik mongonggaing[4], berbunyi di sini tapi mati di sana…”
Loloda tersenyum mendengar definisi Inde’ Dow pada senjata dari mesiu yang dipunyai orang-orang Pertugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Ketika masuk pertama kali di wilayah ke-Punu’-an, pasti banyak orang yang menyangka orang pucat berkepala api itu sakti dan punya ilmu yang tinggi. Namun lama kelamaan, mereka menganggap senjata mesiu itu seperti mainan. Loloda punya satu, yang bentuknya pendek, berukir serta bertuliskan entah apa. Ayahnya yang memberikan, Punu’ Tadohe tak ingat lagi itu hadiah dari siapa dan dia jarang sekali mengingatnya. Senjata dari mesiu memang bukan senjata andalan orang-orang di wilayah ke-Punu’-an. Para Bogani maupun Walian jarang sekali yang mempergunakan. Bagi mereka, senjata itu seperti senjata perempuan yang tak melambangkan keberanian dan keperkasaan dan kehormatan. Bagi mereka, lebih terhormat memenggal musuh atau terpenggal oleh musuh dengan parang dibandingkan dengan senjata dari mesiu.
“Orang-orang pucat berkepala api itu licik, Pomalui. Mereka akan memecah belah kita, akan menjadikan kita ata[5]…”
“Jika begitu, mengapa Punu’ mau berteman dengan mereka?” Loloda memotong.
Inde’ Dow terdiam, memandangi Loloda. Seumur-umur baru sekali ini pembicaraannya dipotong. Bahkan Tadohe, ayahnya Loloda yang telah menjadi Punu’ pun tak berani memotong bicaranya, terlebih ketika dia diberi nasehat.
“Maafkan saya, Ba’ai,” kata Loloda.
Inde’ Dow tertawa. “Engkau akan menjadi Punu’ sehingga kumaafkan agar kau tak membalas,” kata Inde’ Dow, dia tertawa lagi.
Inde’ Dow menatap Loloda dengan pandangan serius. “Orang-orang pucat berkepala api itu harus diadu antar mereka, syukurlah mereka sangat sulit berunding antar mereka. Salah satu dari mereka meminta kita membantu memerangi lawannya, kita terima saja. Dengan begini mereka tak bisa bersatu, juga kita dapat mengetahui senjata aneh mereka yang berbunyi di sini namun yang mati ditempat yang jauh, juga kita mendapatkan bibit tanaman yang sangat berguna tapi belum ada di tempat kita. Intinya, kau bisa berteman dengan mereka tapi harus tetap berhati-hati dan berusaha sebisa mungkin agar pertemanan itu tidak mengancam wilayah ke-Punu’-an melainkan menguntungkan.”
Loloda menganggukan kepala. Sekarang dia mengerti kenapa banyak hal mengherankan yang pendahulunya lakukan terhadap orang-orang berambut merah itu. Sekali waktu mereka berteman dengan Spanyol dan membantu berperang melawan Portugis, namun di waktu lain mereka bersikap sebaliknya, bahkan mereka mengundang Compeny itu mendiami wilayah mereka. Pada masa Tadohe, Company diizinkan membangun benteng dari kayu yang memicu sengketa Spanyol dan Company[6]. Walau telah mengizinkan Belanda untuk membangun benteng tersebut namun Tadohe tidak otomatis membantu Belanda. Tadohe hanya mendiamkan walau orang-orang Tontemboan mendesaknya membela Belanda karena dari Toundano masih menginginkan Spanyol. Bagaimanapun Tadohe harus memperhatikan perimbangan Spanyol yang telah menguasai bekas kesultanan Sulu yang lebih dekat dengan Ke-Punu’-an di bandingkan Company yang berada di Batavia. Andai Company kalah, bisa jadi ke-Punu’-an akan jadi bulan-bulanan Spanyol.
“Adapun orang-orang diwilayah ke-Punu’-an, walau banyak yang berbeda denganmu namun kau tak boleh memusuhi mereka. Orang Tontemboan dan Manarow adalah saudaramu. Leluhurmu, Bua’ Ginsapondo telah dinikahi dan tinggal di tempat mereka. Leluhur kita telah menikahi gadis-gadis mereka. Mereka adalah saudara kita. Tak hanya ketakutan akan perang yang membuat mereka mau masuk ke wilayah ke-Punu’-an tapi juga karena kesadaran bahwa kita memang bersaudara. Tapi jika mereka mengancam wilayah ke-Punu’-an, kau harus bijak tapi tegas,” lanjut Inde’ Dow.
Seperti biasa, Loloda hanya bisa mengangguk ketika mendengarkan petuah Inde’ Dow yang penuh hikmah. Bukan sekadar anggukan seorang munafik tapi memang setiap hikmah dari Inde’ Dow langsung tersimpan dalam hatinya. masih banyak hikmah yang Inde’ Dow sampaikan padanya.
***
Tadohe punya cara sendiri dalam mendidik Loloda. Dia membawa anaknya itu ketika dia turun ke daerah. Di Moyag, dia bersitatap dengan gadis cantik dan jantungnya langsung berdegup kencang. Di Komalig, dia mendadak jadi pendiam. Dia sangat menikmati wajah itu di alam angan.
“Engkau sakit, Pomalui?”
Loloda tersontak saking kagetnya. “Ah, tidak, Ba’ai,” katanya, pipinya langsung memerah, dia merasa telah tertangkap basah telah bercumbu dengan sang gadis di alam angannya.
“Engkau sakit!” sekarang Inde’ Dow berseru.
“Tidak!” Loloda meraba keningnya sendiri. “Aku tidak sakit!” ulangnya.
“Mari kita berjalan-jalan, biar kuberitahu sakitmu.”
Loloda’ pun bangkit dan mengikuti langkah Inde’ Dow yang terbungkuk-bungkuk dengan tangan bersandar pada tongkat. Sepertinya tongkat itulah kaki Inde’ Dow, namun agak susah bagi Loloda untuk mengimbangi. Mereka ke salah satu gubug tak berdinding yang tak jauh dari Komalig. Di depan gubug itu terdapat kolam besar dengan perahu yang masih tertambat. Punu’ dan Boki’ sering bersantai di sana. Para Dayang yang sedang bergosip di sana diusir halus oleh Inde’ Dow.
“Siapa perempuan itu, Pomalui?” tanya Inde’ Dow begitu mereka duduk.
Wajah Loloda kembali memerah. Dia seperti tersergap. Dia ingin berdusta namun dia yakin Inde’ Dow tahu apa yang dia pikirkan. “Aku tak tahu namanya, Ba’ai. Tapi dia dari Moyag,” katanya jujur.
“Tidak kah kau ingin tahu namanya?”
Inde’ Dow menarik napas panjang. “Kau cari tahulah siapa dia, pastikanlah apa dia belum menikah. Jika dia belum menikah, suruhlah taba’[7] untuk menyampaikan hasratmu padanya. Kau harus memastikan apa dia mau menikah denganmu dengan keikhlasan atau tidak. Kau jangan sekali memaksakan diri kalau dia sudah menikah atau tidak ingin berumbah tangga denganmu. Walau kau anak Punu’ dan kalau Ompu Duata mengizinkan sebentar lagi akan menjadi Punu’, kau tak boleh memaksakan kehendak. Jangan sampai ke-Punu’-an berperang dan musnah hanya karena kau berhasrat pada perempuan.”
Sangat mengherankan. Persoalan ini seharusnya disambut dengan gembira karena sebentar lagi Loloda akan menjadi pria dewasa seutuhnya dengan menikah. Dengan menikahnya Loloda maka syaratnya untuk menggantikan ayahnya sudah cukup. Namun Inde’ Dow malah menanggapinya dengan serius, dengan diselimuti kesedihan dan ancaman. Loloda tahu sikap Inde’ Dow biasanya mendatangkan hikmah, maka dia mendiamkan saja.
Tanpa bisa dibendung, meluncurlah cerita itu dari bibir Inde’ Dow.
Kakeknya Loloda’ yang bernama Mokoagow yang menjadi Punu’ menggantikan ayahnya Mokodompit ternyata telah monangag[8]. Sang Punu’ telah mengganggu isteri Matindas yang bernama Pingkan. Inde’ Dow memang menyalahkan cara licik Matindas yang memabukan Mokoagow sehingga bisa membunuh Punu’ Mokoagow. Beruntung rasa malu Tadohe terhadap perbuatan ayahnya yang mengganggu isteri orang lebih besar dibandingkan keinginan untuk terus berperang untuk membalaskan dendam. Rasa malu itu yang mendorong Tadohe lari ke tempat neneknya Tadohe di Tahuna[9].
Karena malu, Tadohe tak ingin kembali ke Bolaang Mongondow. Untunglah pengawal yang dia pandang sebagai sahabat terdekat, Karompeyan dan Mogidag, telah menyadarkannya bahwa lari dari malu tak akan memecahkan masalah. Tadohe dinasehatkan untuk kembali ke Bolaang dan Mongondow dan menghadapi apa pun terjadi. Ompu Kitogi Mia telah menetapkan takdir untuk ayahnya dan dia harus pasrah menerima tapi peristiwa seperti itu tak boleh terjadi pada dirinya sampai keturunannya. Dan Tadohe tak ingin peristiwa kelam itu terjadi pada Loloda.
“Perkawinan itu untuk menyatukan, Abo’, karena itu kau tak boleh memaksakan walau sangat ingin karena bisa jadi bukannya menyatukan tapi malah memunculkan permusuhan yang akan membuat kita malu,” kata Inde’ Dow.
Loloda melaksanakan apa yang disarankan Inde’ Dow. Dia benar-benar meneliti siapa gadis yang ternyata bernama Langgaan itu. Setelah semua jelas dan tak ada dari gadis itu yang melanggar syarat dari Inde’ Dow, Loloda dan Langgaan pun menikah.
***
Baru sehari menikah, Loloda harus mendapatkan dirinya dalam kekosongan. Saat itu, ayahnya sendiri yang memanggilnya. Mereka, hanya berdua, tanpa pengawalan, tanpa pakaian kebesaran, mereka berjalanan ke wilayah Kotabunan. Di sepanjang perjalanan, Punu’ Tadohe diam. Mendapatkan ayahnya diam, Loloda pun diam walau berjuta tanya muncul di kepalanya.
Mereka terus berjalan. Begitu, mendaki dan menuruni gunung. Akhirnya mereka sampai disuatu gubug. Loloda kaget begitu keluar Inde’ Dow, Bantong dan Oyotang.
“Engkau sudah datang, Adi’[10], Ompu[11],” sapa Inde’ Dow, bibirnya tersenyum penuh misteri. Bantong dan Oyotang pun terlihat gembira—entah apa yang mereka girangkan.
“Kuucapkan selamat padamu, Ompu. Kau sudah terlihat bukan sekadar pomalui lagi tapi sudah Punu’ yang sebenarnya,” sambung Inde’ Dow.
Loloda hanya diam. Dia belum tahu apa akan gembira atau senang. Ucapan Inde’ Dow masih misteri baginya.
“Karena kau sudah menggenapi syarat untuk menjadi Punu’ maka maka tugas kami untuk membimbingmu sudah berakhir. Kali ini kau tak boleh memotong, Ompu, karena yang bicara ini bukan pembimbingmu melainkan Ba’aimu.”
Loloda yang sudah ingin bicara langsung merapatkan bibir.
“Karena tugas kami telah selesai maka sekaranglah saatnya bagi kami menjelajahi bumi dari Ompu Kitogi Mia[12] sambil menunggu dimana ajal akan menjemput nyawa,” kata Inde’ Dow, mulutnya seperti terkunci setelah mengucapkan itu.
Punu’ Tadohe berusah menahan air mata namun matanya berkaca-kaca. Loloda terisak-isak.
“Jangan menangis ya mokogagow[13], kehilangan hanyalah hiasan kehidupan maka sebaiknya bukan kepergian kami yang kau tangiskan tapi hikmah dari setiap pertemuan kita yang kau jadikan pegangan dalam membimbing rakyat agar mencapai kesejahteraan.”
Setelah bersalaman dan berpelukan, Inde’ Dow, Bantong dan Oyotang pun pergi diiringi tangis ayah-anak, Tadohe-Loloda. Loloda merasakan kehampaan yang sangat mendalam justru disaat dia dinyatakan telah mencapai kesempurnaan untuk memimpin wilayah ke-Punu’-an.
Di kemudian hari, Loloda mendengar kemunculan Inde’ Dow diberbagai tempat[14]. Bahkan keturunan Loloda pun mengatakan sering melihat Inde’ Dow.


[1] Sukuron kon Ompu Duata, Inde’ : Syukur pada Tuhan yang Maha Kuasa, Ibu
[2] Ompu kit Togi Mia : Tuhan Maha Pencipta
[3] Pomalui : Pengganti, ini sebutan Inde’ Dow untuk Loloda Mokoagow sang Putra Mahkota
[4] Mongonggaing : orang berilmu hitam, tukang tenung
[5] Ata : Budak
[6] Benteng VOC dari kayu tersebut didirikan di Manado sekarang pada tahun 1658 diberi nama ‘De Nederhaldsche Vastigheit’
[7] Taba’ : Orang yang disuruh
[8] Monangag: Mengganggu isteri orang
[9] Tahuna adalah kerajaan yang menguasai wilayah Sanger Talaud (sekarang Kabupaten Sangihe, Talaud dan Sitaro)
[10] Adi’ : Anak
[11] Ompu : Cucu
[12] Ompu Kitogi Mia : Tuhan yang Maha Pembuat
[13] Mokogagow : Yang bisa merebut
[14] Inde’ Dow adalah tokoh yang fenomenal, dia dikenal di Minahasa dan Gorontalo tapi dengan nama yang berbeda

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB