Kamis, 01 Oktober 2009

SALURAN KEHORMATAN


Oleh: A. Totabuan Syukur

Suara bising aku dengar disampingku. Di susul sentuhan-sentuhan ketubuhku. Apa ini? Aku mencoba membuka mata. Ah, kelopak mataku lengket, seakan ada lem yang merekatkannya. Tapi aku terus mencoba. Berhasil. Yang pertama kali aku lihat adalah wajah teduh seorang lelaki berpakaian putih-putih. Di mana aku?
“Dia sudah siuman, dia sudah siuman,” teriak lelaki itu.
Aku merasa badanku digerayangi. Apa yang hendak mereka lakukan pada tubuhku? Aku mencoba bangkit.
“Siapa nama anda? Di mana alamat anda? Siapa yang bisa kami hubungi... “seorang lelaki berbaju putih lain tiba-tiba muncul dan memuntahkan pertanyaan. Sementara yang lain masih sibuk menggerayangiku.
“Ada apa?” tanyaku. Aku tak mempedulikan pertanyaan yang meragukan eksitensiku itu. Apa benar mereka tak tahu siapa aku?
“Ah, Anda kecelakaan. Untung tidak parah,” katanya, “Jadi, namamu siapa? Di mana alamatmu? Siapa keluarga yang bisa kami hubungi?...
Apa? Kecelakaan? Ya, benar, aku baru saja mengalami kecelakaan. Bayangan kejadian itu kembali tampil seolah hendak menyajikan rekontruksi.
Aku sedang mengendarai motor butut dengan sedikit gerutuan. Bagaimana tidak. Istriku hanya memperbolehkanku mengendarai motor butut padahal di rumah ada tiga mobil mewah. Katanya, dia takut kupergunakan kendaraan itu untuk memikat wanita lain. Heh, dasar istri keparat.
Tapi dia memang benar. Hari ini aku hendak merayu Lastri, ABG yang ayu dan semok itu. Aku memang sempat ragu untuk menemuinya dengan mengendarai motor butut, tapi kantongku penuh rupiah. Aku yakin dia tak akan menolak. Toh, kemarinpun rupiah ini telah menjeratnya sehingga jatuh kepelukanku walau hanya semalam.
Hasrat menyelimutiku ketika mengendarai motor butut itu. Benda keparat yang seharusnya sudah dicemboren itu aku pacu dengan kecepatan penuh. Tujuanku cukup jauh. Aku harus memacu dam memacu kecepatan motor butut itu. Tak ada hal lain dibenakku selain Lastri. Aku ingin, sangat ingin, terlalau ingin, memeluknya seperti malam yang lalu.
Oh, lastri, aku datang. Akan kurangkai rupiah dalam kantongku ini untuk menutupi tubuhmu yang indah itu. Oh...
Tiba-tiba saja, seorang berlari menyeberang jalan. Setir aku banting, rem aku injak....
“Pak, pak.” Hanya itu yang aku dengar. Mataku terkatup. Gelap.
Aku kembali tersadar. Matakau terbuka perlahan. Seorang perempuan cantik berbaju putih bersih berada dilatar yang putih juga.
“Dia sudah siuman,” teriak perempuan cantik itu.
“Tutup mulutmu, kamu sangat tidak sopan,” terdenga teriakan seorang lelaki.
Perempuan cantik itu berlalu dari hadapanku berganti sosok lelaki keparat yang meragukan eksistensiku tadi. Aku menjadi muak padanya.
“Apa kau tak mengenaliku?” kataku lebih menyerupai kecaman.
“Oh, maaf, pak. Wajah bapak sulit dikenali tadi. Tapi sekarang tidak lagi,” katanya dengan senyum munafik, “Kami sudah menghubungi istri bapak tapi beliu sedang sibuk. Mungkin sebentar lagi akan kesini. Tapi tak perlu cemas, bapak berada di tangan yang tepat. Sekarang bapak berada di ruang isolasi. Kami perlu melakukan berbagai hal untuk memastikan kondisi bapak. Selain itu, kami akan memindahkan bapak keruang VIP. Ruang VIP itu fasilitasnya lengkap....”
Aku muak mendengar penjelasannya. Aku yakin dia bukan dokter. Mungkin bagian merketing. Kalau pun dia dokter, aku rasa bukan seperti ini tingkah seorang dokter.
Aku memalingkan muka pongah. Ada perasaaan pongah dari sikapku itu. Di mataku sikap lelaki itu sangat tidak terhormat. Deg. Jantungku berdenyut keras. Detak jantungku menggiringku kepertanyaan atas perbuatanku selama ini. Apakah perbuatanku juga terhormat? Aku telah berencana untuk melakukan perselingkuhan yang entah untuk ke berapakali; aku tak sanggup lagi menghitungnya. Apakah perselingkuhan termasuk pebuatan orang terhormat?
Ini memang bukan perbuatan terhormat, kata hatiku. Tapi. Aku punya alasan untuk melakukan. Istriku super sibuk. Pergi menjelang fajar, pulang tengah malam kemudin menjadi patung yang tergeletak di kamar mewah kami. Mungkin tidak tepat kalau dikatakan patung karena dia bisa mengatakan “selamat tidur” yang dususul nafas teratur. Sekali-kali dia menjadi manusia, atau tepatnya menjadi wanita normal yang telah menikah. Dan dia selalu mengatakan puas.
Tiba-tiba aku merasakan kantong kemiluhku penuh. Kantong yang menjadi tempat penampungan limbah cair dalam tubuhku itu sekarang penuh. Aku merasakan, isinya melebihi kapasitas. Kantong itu, aku rasa mulai membesar. Mungkin dia seperti karet, elastis. Tapi keelastisannya nampaknya sulit dipertahankan lagi. Keelastisannya sudah melampaui titik jenuh. Dia sudah sulit ditarik kekiri-kanan, ke atas-bawah. Air limbah aku rasa terus mengalir menuju kantong penampungan itu. Akau dapat merasakan alirannya. Dan setiap tetes limbah itu masuk kepenampungan, aku merasakan sakit yang luar biasa.
Aku merasa kantong itu akan meledak membawa serta serpihan diriku. Aku tak tahan lagi. “Hei, apa kalian ingin mengotori ruangan ini?” teriakku.
Seorang berlari. “Ada apa, pak?”
“Kantong kemiluku sudah penuh.”
“Iya, tahan dulu ya, Pak,” katanya dan langsung berlari. Dia kembali dengan membawa ceret bermulut besar itu. Aku tersenyum dalam hati. Rupanya dia benar-benar tak ingin ruangan putuh bersih ini tercemari limbahku. Memang tak seorang pun yang menginginkan tercemari limbah ini. Mungkin kerena itu didirikan bangungan khusus pembuangan limbah.
Aku berusaha mengeluarkan limbah itu tapi tak berhasil. Tak setetespun yang keluar. Salurannya mampet. Seolah ada penghalang. Aku mengerahkan kekuatan.
“Sabar, Pak. Biarkan saja dia mengalir seperti pancuran. Tak perlu dipaksa,” kata orang itu.
Sialan, umpatku dalam diam. Aku sudah bersabar tetapi tetesan limbah itu tak juga muncul. Aku terus berusaha.
“Sabar, Pak,” katanya lagi, “Limbah itu akan mengalir dengan sendirinya kalau kantongnya sudah penuh.”
“Sabar katamu,” kataku menahan emosi, ”Apa kau tidak lihat perutku sudah membuncit? Isi kantongku sudah melebihi kapasitasnya.”
“Iya, Pak. Coba lagi.”
Aku berusaha lagi sehingga menyerupai orang yang mengeluarkan limbah lain yang lebih padat tapi salurannya lain juga. Memang tak bisah mengerahkan kekutan penuh karena sakit di kepala membuatku harus tertidur. Aku terus berusaha tapi tak kunjung berhasil. Setetespun tak ada yang mau keluar.
Ah, mungkin salurannya terlalu lentur sehingga alirannya tak lancar. Dari balik selimut aku gerakkan tangan, menari-narik saluran itu, mencoba agar dia keras. Apa ini? Teriakku dalam diam.
Wahai, mengapa kau menyiksaku seperti ini, rutuku dalam hati. Biasanya kau langsung bertingkah begitu melihat keindahan, bahkan jangankan sampai melihat, hanya mencium keindahan pun kau langsung bertingkah. Tapi, begitu aku membutuhkanmu di saat menyiksa begini, kau justru diam.
Wahai, di mana tingkahmu yang memaksaku lari dari satu keindahan ke keindahan lain, selain keindahan istriku. Mengapa kau hanya mau bereaksi terhadap dosa? Mengapa kau tak memenuhi fungsimu di saat seperti ini?
Aku terus mengulangi gerakakn sebelum aku menikah.tapi, saluran itu tetap lentur dan tak setetes pun limbah yang mengalir. Tiba-tiba, aku mendengar suara dari...saluran limbah itu.
“hai pikiran mengapa kau salahkan aku, bukankah kau yang menuntunku untuk melakukan itu? Bukankah kau yang memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa pindah dari satu keindahan kekeindahan lain di luar keindahan yang telah diperuntukan padaku? Hai nurani, mengapa kau membiarkan aku berpindah-pindah seperti alu yang bisa menunbuk di setiap lesung? Aku sudah punya lesung sendiri, mengapa kau membiarkanku mencari lesung lain? Hai nafsu, mengapa kau terus menyeret-nyeretku terus. Mengapa kau tak pernah bisa menahan diriku begitu melihat, bahkan membuai keindahan. Engkau sudah punya tempat yang terhormat, di mana segala yang kebesaranmu bisa kau umbar. Tapi mengapa kau memaksaku juga. Kau telah menyeret-nyeretku seolah aku hanya budak yang bisa saja memenuhi segala keinginanmu.”
Aku mendengar suara sesenggukan dari saluran limbah itu. Tapi tak setetespun cairan yang mengalir dari sana. Aku tertunduk mendengar gigatan itu. Kemudian aku mendengar lagi gugatan dari saluran limbah itu.
“sekarang kau katakan hanya saluran limbah. Saluran yang hanya mengalirkan kotoran, busuk, tak diharapkan. Pernah kah kau memikirkan funsiku ketika kau sehat? tidak! Kau tak perna memikirkanku. Di saat seperti ini kau baru merengek, menghiba, memohon agar aku mengembalikan fungsiku. Selama kau sehat, kau hanya menjadikan alu...alu yang menumbuki semua lesung keindahan. Sampai, pemilik keindahan itu mencercaku. Mengatakan aku sebagai perusak.”
Sekali lagi terdengar sesunggukan tanpa cairan.
“apakah kau perna memikirkan aku sebagai saluran kehormatan? Yah, aku adalah saluran kehormatanmu dan hanya satu-satunya saluran kehormatanmu. Ah, bahkan aku dalah kehormatanmu. Tanpa aku, kau tak mungkin mendapatkan kehormatan. Di tengah ke papaanmu kau sama sekali tak berharga dihadapan istrimu yang kaya itu. Untunglah aku menempel pada tubuhmu, yang membuat istrimu mau menghiba dan memohon. Setelah kau menjadikanku sebagai alu yang bisa menumbuk lesung mana saja, dia sebenarnya sangat ingin meninggalkanmu tapi dia tak ingin berpisah denganmu karena aku. Karena aku.”
Sesunggukan tanpa cairan lagi.
“dan, hanya menganggapku sebagai saluran limbah yang hina. Ah,kau memang tak bisa diberikan kehormatan. Ya, kau memang tak seharusnya diberi kehormatn. Termasuk aku, tak layak lagi berada ditubuhmu....”
“tidaaaak....” selimut aku lemparkan. Juga ceret bermulut besar itu. Aku tak memikirkan lagi derita dari kantong limbah cair itu. Aku tak merasakan lagi tetes demi tetes yang mengalir dalam kantong penampung itu. Aku tak merasakan lagi pembesaran yang terjadi pada kantong itu, yang membuat perutku semakin membuncit. Yang ada dalam pikiranku hanya membangkitkan kembali kehormatan. Atau, mungkin juga mengembalikan kehormatanku.
Para suster yang cantik terdengar menjerit. :”dia gila,” kata mereka sambil menutup mata dengan lima jari yang terbuka. Aku tak peduli. Aku terus membangkitkan kehormatanku, menghilangkan kelenturan dalam saluran limbah tak berfungsi. Bayangkan istri meninggalkanku membuatku ngeri. Bahkan aku tak berharap kedatangannya disaat aku tak punya kehormatanku seperti ini.
Aku terus mencoba seperti kesetanan.
“bapak tak usah memaksakan diri,” kata seorang lelaki berpakaian putih sambil menarik tanganku.
“lepaskan,” kataku sambil berontak, “aku ingin mengembalikan kehormatanku.”
Lelaki itu tersenyum yang menyejukan, kemudian dia berkata seolah mengerti apa yang ada dipikiranku, bapak hanya trauma. Kehormatan bapak akan kembali lagi.”
“benarkah?” tanyaku tak percaya.
“iya, sebaiknya limbahnya dulu yang dibuang,” katanya seakan tahu deritaku, “ambilkan selang itu, perintahnya. Selimut yang menutupi tubuhku kembali dikenakan.
Seorang lelaki lagi datang membawa selang kecil.
“nah, sekarang bapak berbaring tenang. Selang kecil ini akan mengelurkan limbah dalam perut bapak.”
Aku mengangguk saja. Lelaki itu mulai meraba di balik selimut, memegangi saluran limbahku...ah, bukan, itu saluran kehormatan, bukan saluran limbah. Aku hampir berontak tapi aku urungkan.
Dia menyingkapkan selimut.
“aduh, ringisku. Aku merasakan ada yang masuk ke saluran kehormatanku.
“tahan ya, pak,” kata laki-laki itu. Dia terus memasukan selang kecil itu. Aku terus meringis. Selang itu masuk lebih kedalam. Saluran kehormatanku seperti dirobek.
“nah, sudah selesai,” katanya, “coba bapak keluarkan limbah diperut.”
Aku mecobahnya. Kali ini aku merasakan limbah itu mengalir lancar. Aku dapat merasakan perpindahan limbah cair itu dari penampungan limbah dalam tubuhku.
Aku bangun dalam kaget. Nyeri luar biasa menerpa saluran kehormatanku. Apa yang terjadi? Ah, rupanya saluran kehormatan itu kembali ke asalnya. Ke posisi yang benar-benar terhormat. Dan siap melaksanakan fungsinya. Aku meringis. Nyeri masih terasa. Rupanya saluran kehormatan itu telah melahap sebagian selang yang menjadi penyambung dengan kantong penampung limbah cair dalam tubuhku. Uh, beginilah rupanya kalau benda lembut bertemu dengan benda kasar. Nyeri luar biasa.
Senyum mengembang di bibirku. Saluran kehormatan itu telah pulih. Bayangan lestari melintas.ABG ayu dan semok itu mebuatku bersemangat. Ada hhasrat untuk mencobahkan saluran kehormatan yang baru pulih ini pada lesrati. Tapi, aku segera tersadar. Lestari hanya lesung yang semua alu bisa menumbuknya. Dan, sekarang aku tak ingin ikut. Ah, entah mengapa kesadaran ini baru datang sekarang.
Bayangkan lestari berganti dengan bayangan istriku. Ah, istriku masih muda. Belum tiga puluh. Dia sebenarnya sama saja dengan lestari. Sekaran, aku merindukannya. Aku ingin berbisik denganya seperti saat malam pertama. Aku ingin memberi kepastian padanya tentang berfungsinya saluran kehormatanku. Ah, ini bukan hanya saaluran kehormatan. Ini kehormatan. Tak ada lagi kehormatan lain yang kupunyai selain ini. Kehormatanlain-kedudukan dan kekayaan-semua milik istriku, yang dia terima dari pendahulu-pendahulunya. Tapi, tentang kehormatan yang satu ini, aku penguasanya. Istriku sendiri mengakui. Ah, istriku, aku rindu padamu....
“Ada yang bisa kami bantu, Pak?” tanya seorang lelaki yang berlari ke arahku.
Aku tersenyum padanya. Dia tahu apa yang ada di pikiranku. “Apakah selang keparat ini bisa dilepas? Aku tak memerlukannya lagi!”
“Sebaiknya jangan dulu, Pak. Dia tak akan mengganggu saluran kehormatan Anda.”
Nah, benar kan, dia tahu yang kupikirkan! “Isterikut sudah datang?”
“Sudah, Pak. Apa Anda ingin bertemu dengannya?”
“Iya! Iya! Panggilkan! Cepat!” kataku tak sabar.
Lelaki itu seperti dibawa angin. Dia begitu cepat menghilang dari hadapanku. Ah, alangkah enaknya jadi orang terhormat. Walau…kehormatan ini sebenarnya milik isteriku. Kecuali yang satu ini, tentu…
Tak lama kemudian sosok wanita masuk. Isteriku. Dia nampak cantik dan sangat menggairahkan sekarang. Jauh lebih menggairahkan daripada Lastri. Mungkin dia belum pulang. Pakaian kerja yang minim itu masih tertempel di badannya.
Aku meringis. Saluran kehormatanku kembali beraksi yang memunculkan rasa nyeri. Tapi ringisan berganti senyum. Tak apa. Saluran kehormatanku bereaksi untuk isteriku.
“Sayang, engkau tak kehilangan apa pun dari diriku.” Kemudian aku mengoceh panjang tentang kepulihan saluran kehormatanku.
Dia hanya tersenyum. “Sayang,” bisiknya halus, memotong bicaraku. “Andaipun saluran kehormatanmu tak berfungsi, kau tak perlu berdosa padaku…”
Aku tersenyum. Dia benar-benar isteri yang setia dan bijaksana. Aku benar-benar merasa berdosa telah mengkhianatinya. Bayangan Lastri kurobek dalam angan.
Kemudian dia melanjutkan, masih dalam tutur kata yang halus. “Kau sama sekali tak perlu merasa berdosa, Sayang. Karena aku tak akan merasa kehilangan. Toh aku sudah menemukan yang lain, yang lebih mempunyai kehormatan daripada dirimu. Kehormatan fisik dan batin. Tak hanya kehormatan fisik seperti kamu. Selamat tinggal, Sayang!”
Setelah mengatakan itu, dia bangkit meninggalkanku. Rasa nyeri sekarang pindah. Jauh ke lubuk hati. Ke nurani. Tempat kehormatanku yang sebenarnya bersemayam.
Aku tak memerlukan saluran limbah ini!
(Motoboi Kecil, 19 November 2006)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB