Jumat, 03 Juni 2011

Kota Musik

Dinangoi, makanan khas Bolmong
Ketika menaiki mobil yang akan membawa kami pulang ke kampung halaman, seorang ibu setengah baya--yach bisa dibilang nenek2lah--berujar ke sopir.

"Musik, Pir. Uda panas, sunyi lagi. Kau ini gimana sich ah," kata sang nenek yang kebetulan duduk didekatku dengan tubuh dilenggak-lenggokan mirip cacing kepanasan.

Cukup asyik juga bagiku--dari pada kutulis sial, hehehe

Sebenarnya tadi saya sudah mengincar tempat duduk di tengah agar bisa berdampingan dengan cewek cantik yang dari tampangnya sich bukan Orang Kota atau mungkin setelah melewati proses naturalisasi telah menjadi Orang Kota. Namun, rupanya pada angkutan dalam Provinsi yang ke kampungku ini tempat duduk depan, tengah dan belakang ada pembedaan harga. Dan kantongku menjerit sehingga aku terpaksa mengambil tempat duduk paling belakang saja, bersama dua nenek dan seorang kakek.


Dengan nenek yang satu ini, sejak awal aku sudah nggak cun--eh emangnya listrik, hihihi. Bagian kanan kursi secara otormatis diduduki oleh kakek-nenek yang nampaknya suami isteri itu. Si kakek tentu saja mau melindungi isterinya dengan menempatkan didekat jendela agar angin bisa menghempas ke pipi nenek keriput itu--mungkin untuk mencegah mabuk. Dan di sisi jendela lainnya jadi perebutan antara aku dan nenek yang satunya lagi. Sebenarnya sih nenek gaul ini tak begitu menyoal kedudukan. Yang menyoal itu justru isteri si kakek yang sekarang sudah menempati tempat duduk di dekat jendela. Dia ngotot menyuruhku duduk berdekatan dengan si kakek, dan menepok bokong nenek gaul itu yang sudah akan duduk di dekat suaminya.

Idih, udah tua tapi masih cemburu juga, hahaha..

Maka, sukseslah saya duduk berdampingan dengan si kakek. Untunglah kakek yang satu ini tubuhnya kurus sehingga membuat deretan kursi kami terasa longgar.

"Jangan lagu yang itu, Pir. Payah ente ini, nggak gaul. Apa perlu ente digauli?" teriak si nenek persis burung betet ketika lagu Broeri mengalun syahdu.

Wah, saya ingin protes tapi juga takut. Lha, sopir yang berada di depan saja terancam akan digauli, apalagi saya yang persis berdempetan dengan si nenek.

"Yang lagu disko donk. Masak lagu cengeng kaya' gitu," usul si nenek.

Terlihat jelas wajah para penumpang nggak ikhlas tapi hanya bisa diam, pun si sopir. Walhasil mengalunlah lagu hingar bingar itu.

Wah, benar-benar dah ni nenek-nenek. Saya sudah siap-siap mau tidur malah dibangunan terus gara-gara musik yang sangat jauh dari pengiring tidur itu. Namun, weleh, ni nenek malah sukses ngorok, pipi keriputnya pake di sandarkan ke pundak saya lagi. Payah juga..

Akhirnya kami sampai juga dengan slamet, dan setelah 3,5 jam menikmati hingar bingarnya musik di dalam mobil, aku pun tertidur nyenyak diiringi nyanyian jangkrik dan kodok. Walau ORANG KOTA dan lama hidup dalam hingar bingarnya Jawa namun kebiasaan alamiku tidur dengan diiringi suara jangkrik dan kodok belum menghilan.

Besoknya, karena belum diperkenankan ke luar rumah oleh Bunda tercinta, aku pun hanya bisa duduk diberanda sambil memandangi keramaian lalulintas di wilayah ORANG KOTA.

Ada kendaraan mirip becak, tapi di dorong speda motor yang berseliweran di jalan. Namanya bentor alias BEcak mesiN moTOR. Masing-masing bentor membunyikan musik yang luar biasa hingar bingarnya. Daerahku jadi mirip kota di Brazil sana dengan kehingarbingaran musiknya.

Cinta benar Orang Kota ini pada hiburan. 

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB