Selasa, 19 Oktober 2010

Intau Bolaang Mongondow



Ada beberapa tulisan saya yang dinilai sectarian karena sangat mengedepankan aspek kesukuan. Walau agak sakit namun saya harus berterimakasih untuk ini. Menurut saya, hal ini memang harus terus kita diskusikan. Bukan agar kita bisa memaksakan diri sehingga bisa satu pemikiran melainkan agar kita bisa memahami pemikiran satu sama lain.
Dalam agama saya, ada ayat yang berbunyi: Lakum Dinukum Waliyadin—untukmu agamamu dan untukku agamaku. Saya pikir, hal ini pun berlaku pada pemikiran yang berbeda dan tak bisa disatukan: untukmu pemikiranmu dan untukku pemikiranku. Namun diskusi perlu tetap dilakukan agar kita bisa saling memahami dititik mana kita bisa “sepakat bahwa kita tidak sepakat”.
Tudingan bahwa saya sectarian sesungguhnya bukan baru di kampung halaman saya dapatkan. Ketika di kampung orang pun demikian juga. Ketika saya menulis cerita dengan mengedepankan tokoh yang berasal dari legenda Bolaang Mongondow dan banyak bumbu yang berasal dari Bolaang Mongondow, beberapa kawan yang membaca tulisan ini mengatakan bahwa saya terlalu mengedepankan kesukuan. Atau saya terlalu membanggakan kampung halaman saya ketika bicara tentang hukum adat dan lainnya, pasti tuduhan sectarian itu teman-teman sandangkan.
Buat saya, tuduhan sectarian ketika saya di luar maupun ketika tinggal di kampung halaman, keduanya tak menjadi persoalan. Walau harus aku akui mengatasi tuduhan ini ketika di luar akan lebih mudah karena kita bahkan bisa marah-marah dan melontarkan tuduhan balik ke kawan-kawan. Tapi di kampung halaman, saya akui ini tidak mudah. Membahas persoalan ini seperti berjalan ditengah ranjau, kita harus berhati-hati agar tidak meledakan diri sendiri dan sekeliling kita. Apalagi menjelang pesta demokrasi di mana bukan makanan enak dan minuman lezat yang menjadi suguhan melainkan gossip dan persangkaan.
Namun, seperti yang telah saya kemukakan diawal, hal ini perlu didiskusikan agar kita bisa saling memahami walau klimaksnya kita sepakat untuk tidak sepakat.
Saya sangat setuju dengan rumusan Rukun Pogogutan im Bolaang Mongondow (RPIBM) Jakarta tentang siapa orang Bolaang Mongondow (lihat tanggapan RPIBM di catatan saya tentang MENGGALANG KINALANG), yaitu:
1. Faktor Biologis. yaitu, siapa saja yang dilahirkan dari Kake atau Nenek (25% darah Bolmong), dan merasa bagian dari Bolmong. Atau yang Bapak atau ibu sebagaian Bolmong (50% darah Bolmong), maka otomatis adalah orang Bolmong
2. Faktor Geografis. yaitu siapa saja yang lahir di Wilayah Bolaang Mongondow dari Bapak atau Ibu yang tinggal dan memiliki KTP Bolmong, maka otomatis adalah orang Bolmong.
3. Faktor Politis, Yaitu siapa saja, yang karena pernah bertugas di bolmong dan merasa mempunyai keterlibatan secara psikologis dengan budaya Bolmong,serta punya kepedulian akan kemajuan Bolmong maka dia adalah orang Bolmong
4. Faktor Historis, adalah siapa saja yang merasa punya kepedulian dengan Bolmong, dengan dibuktikan dengan pengabdian yang terus menerus tanpa pamrih untuk Bolmong, maka itu adalah orang Bolmong.
Rumusan ini cukup moderat yang mencakup keseluruhan sekaligus menjadi dasar seseorang bisa dikategorikan intau in Bolaang Mongondow.
Di luar rumusan tersebut, saya juga ingin memasukan satu kategori orang Bolaang Mongondow yaitu dari segi sifat. Adalah Syachrial Damopolii yang pertama kali mengemukakan hal ini. Menurut beliau, orang Bolaang Mongondow itu bukan sekadar dilihat dari sudut fam/marga tapi dari sudut sifat, yaitu orang yang berani mengemukakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah dihadapan siapapun juga.
Tentang hal ini, ada cerita yang beredar dikalangan orang kampung seperti saya bahwa orang Bolaang Mongondow di masa lalu sangat kuat dan kata-katanya bertuah atau dalam bahasa Mongondow disebut “mobarakat”. Semua itu karena orang Bolaang Mongondow di masa lalu berpikir, berkata dan bersikap lurus seperti penggaris. Kalau dia mengatakan ke timur maka carilah dia di timur karena pastia dia di timur.
Saya mencoba mengaitkan hal ini dengan masa para Punu’ (berakhir pada masa Loloda Mokoagow) di mana wilayah Bolaang Mongondow terbentang luas, bersahabat dengan para penguasa tak hanya dari dalam negeri tapi dari manca Negara, disayangi kawan dan disegani lawan. Bahkan Punu’ Damopolii, wafatnya tak hanya dikabungi di tanah Bolaang Mongondow sekarang tapi juga di Minahasa. Di dua tempat ini diadakan upacara duka yang disebut “Mongalang” sehingga beliau digelari “Kinalang”, suatu gelar yang dinisbatkan pada siapapun yang menjadi pemerintah di bumi Bolaang Mongondow. Siapapun! Mokodompit adalah Kinalang, Tadohe adalah Kinalang, Loloda Mokoagow adalah Kinalang, Para Datu adalah Kinalang, para Bupati adalah Kinalang.
Saya bukanlah budayawan maupun calon budayawan. Saya hanya orang yang senang mendengar “o’uman” baik dari Pak Ginupit, Pak Lantong, dan lainnya. Dan saya trenyuh karena kebesaran itu ternyata tinggal kata diujung lidah walau semua sesungguhnya benar adanya. Kita adalah orang besar, tanah para Bogani ini adalah tanah yang diberkati!
Saya juga cukup sadar diri bahwa saya bukan orang cerdas. Saya hanya mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan puzzle, mencoba menggabungkannya sehingga kita tahu siapa diri kita.
Dan jika Anda bertanya pada saya siapa orang Bolaang Mongondow maka saya rasa rumusan RPIBM serta sifat orang Bolaang Mongondow yang saya ajukan bisa jadi acuan. Jangan lagi Anda bertanya pada saya apakah Anda orang Bolaang Mongondow atau bukan tapi silahkan Anda menilai diri sendiri karena bisa jadi penilaian saya salah.
Namun jika Anda bertanya siapa sebaiknya “Kinalang” yang akan memimpin Bolaang Mongondow ke depan maka pendirian saya tetap, yaitu dia orang Bolaang Mongondow. Dan jika ingin spesifik maka dia haruslah yang benar-benar bersifat seperti orang Bolaang Mongondow, yaitu orang yang lurus dan berani mengatakan kebenaran sekalipun itu pahit. Dengan demikian, kejayaan Bolaang Mongondow seperti masa para Punu’ akan kita dapatkan kembali.
Ini hanyalah pandangan pribadi saya, bisa jadi saya juga salah. Dijadikan perdebatan boleh, menjadi alasan perpecahan jangan. Inggai motobatu’ molintak kon Bolaang Mongondow. Wallahualam bishawab. (Anuar Syukur)
Catatan dalam catatan : Saya mendapat protes dari beberapa sahabat karena pada catatan sebelumnya (Menggalang Kinalang) saya hanya menuliskan “orang Mongondow” padahal seharusnya “orang Bolaang Mongondow”. Saya nyatakan bahwa dicatatan sebelumnya memang saya salah dan saya minta maaf atas kesalahan ini.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB