Kamis, 01 Oktober 2009

Seribu Lima Ratus

A. Totabuan Syukur
Yang namanya mahasiswa mungkin harus seperti ini. Ke mana-mana, kalau masih dekat ya jalan kaki, kalau sudah agak jauh dan kebetulan punya uang ya naik angkutan, dan jika sudah jauh sekali maka naik kereta. Lumayan, praktis dan ekonomis! Memang mahasiswa harus belajar brhemat, apalagi bagi anak rantau miskin seperti aku yang tidak tentu kirimannya.
Dan siang ini, aku naik kereta ke Bangil untuk keperluan yang tidak dapat ditunda lagi. Seperti biasanya, kereta yang aku tumpangi penuh dan terpaksa aku duduk di pintu. Kereta mulai berjalan, di setiap stasiun penumpang terus bertambah. Nampaknya sebagian besar penumpang hendak ke Surabaya, kota metropolitannya Jawa Timur.
Di stasiun Lawang, di antara penumpang yang naik, ikut juga seorang lelaki dengan pakaian kumal dan compang-camping, brewoknya tebal dan kelihatan menyeramkan. Nampaknya kaki kanannya putung, dia bergerak merangkak dengan menopang pada tangan kirinya, sedang tangan kanannya mengepal terus. Ya Tuhan, ternyata tangan kanannya bukan mengepal tapi jarinya memang sudah tidak ada.
Orang ini benar-benar menyeramkan sekaligus memilukan! Aku ingin membantunya ketika naik tapi aku takut juga.
Akhirnya dia berhasil naik, dan dengan acuh duduk di sampingku. Bau tubuhnya langsung menyengat namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Di kereta kelas ekonomi seperti ini kita harus memaklumi sikap maupun penumpang yang ada di dalamnya.
Pikiranku menerawang, mengira-ngira apa yang terjadi pada orang yang duduk cuek di sampingku ini. Dari penampilannya yang sangar, aku menduga dia mantan jawara yang kena sial. Mungkin dia kalah dalam pertarungan memperebutkan wilayah operasi—entah di pasar, terminal, atau tempat lain di mana para preman berkeliaran menarik “uang keamanan”. Kekalahannya ini yang membuat jari tangan kanannya tandas dan kaki kanannya putung. Dugaanku ini yang membuat aku tak bersimpati.
Beberapa saat kemudian dia menarik-narik sesuatu di kantongnya dengan tangannya yang masih sempurna, dan keluarlah rokok murahan. Dia mengambil sebatang, dengan tangannya yang berjari lengkap menyalakan korek api dan membakar rokok itu, kemudian menghisapnya dalam-dalam. Nampaknya dia sangat menikmati rokoknya. Dia merokok dengan memejamkan mata, mungkin merenungkan sesuatu. Setelah beberapa hisapan, dia diam. Ternyata dia tidur, dengkur halus teratur terdengar. Aku bingung, dalam kereta yang melenggak-lenggok sepeti ini dia masih bisa tidur. Rokoknya terus mengepulkan asap.
Seorang wanita datang dari gerbong lain. Pakaiannya kumal dan rambut awut-awutan, tubuhnya nampaknya belum tersentuh air. Wanita itu menenteng plastik bekas wadah sabun. Aku hapal dengan penampilan orang seperti ini: pasti dia pengemis!
Rupanya wanita itu tak ingin mengemis. Dia langsung duduk di samping lelaki itu dan membangunkannya. Apa dia ingin mengemis pada si lelaki? Heh!
Bersamaan dengan terbangunnya si lelaki, api rokoknya yang sudah kandas menyentuh kulit tangannya. Bagai tersengat listrik, dia mengibaskan tangan dan rokok yang tinggal puntung itu melayang hampir mengenaiku. Lelaki itu memandangku sekilas, mungkin dia merasa bersalah namun tak ada kata maa yang keluar dari bibirnya. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke wanita itu.
“Kalau tidur rokoknya dimatikan to, Kang, eman!” ujar si wanita.
Si lelaki tidak menanggapi. Dia sibuk mengelus tangannya yang terbakar. “Kamu sudah makan?” dia mengalihkan pembicaraan.
“Belum, Kang. Aku baru dapat ini.” Si wanita memajukan plastik bekas wada sabun.
Si lelaki tak memperhatikan tingkah wanita itu. Dia sibuk membuka tasnya dan keluarlah sepotong singkong rebus. “Makanlah!” ujarnya.
“Nanti saja, aku belum lapar.”
“Makanlah, aku sudah makan!”
Wanita itu tetap menolak.
“Makanlah, nanti kamu sakit,” si lelaki mendesak.
Akhirnya si wanita mengambil juga singkong itu dan segera makan dengan rakus.
“Anak-anak kamu tinggalin apa tadi?”
Wajah si wanita langsung berubah. Dia mengembalikan singkong yang baru dimakannya sebagian. “Aku tinggalin seribu lima ratus. Hanya itu yang tertinggal kemarin, entah cukup untuk mereka.”
Lelaki itu terdiam. Dari percakapan mereka aku dapat menyimpulkan bahwa mereka pasangan suami istri alias pasutri yang punya beberapa orang anak. Nampaknya mereka pasutri yang bertanggung jawab namun terbelit kesusahan hidup. Aku tak tahu apakah perkawinan mereka resmi atau hanya kawin-kawinan. Menurut beberapa penelitian yang aku baca, entah ikhlas atau difardukan oleh dosen, banyak perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang seperti pasutri disampingku ini ternyata tidak resmi. Istilah teman-teman, mereka hanya kawin tapi tidak nikah.
“Mereka pasti sanggup mendapat tambahan. Kemarin saja Slamet dapat sepuluh ribu dan Inem lima belas,” si lelaki menghibur, “Tak usah terlalu dipikir, makanlah! Kalau kamu sakit, siapa yang merawat mereka?”
“Aku sudah kenyang, Kang.”
Lelaki itu tak mendesak lagi. Dia memejamkan mata, kelihatannya dia capek sekali.
“Sudah dapat berapa, Kang?”
lelaki itu mengeluarkan semua yang ada di kantong dan tasnya kemudian si wanita menghitung.
Si wanita memulainya dari uang kertas. Aku melihat ada dua lembar lima ratusan kumal dan sembilan lembar seratusan yang juga kumal; berarti ada seribu sembilan ratus rupiah uang kertas kumal. Wanita itu memandangku dengan mata melotot seakan aku hendak mencuri penghasilan suaminya. Segera kualihkan pandangan. Wanitu itu melanjutkan penghitungan. Sekarang dia menghitung uang logam. Aku tak berani memandangnya lagi tapi aku bisa ikut menghitung dari gemerincing yang yang jatuh ke plastik bekas wadah sabun itu.
Satu, dua, tiga—sepuluh—dua puluh—tiga puluh—empat puluh—empat puluh tiga. Ternyata gemerincing uang logam berhenti pada hitungan ke empat puluh tiga. Jika ditambah uang kertas berarti penghasilan total si lelaki enam ribu dua ratus rupiah.
Di mataku, yang didapatkan lelaki itu luar biasa besar. Waktu baru menunjukan pukul sepuluh, jika dia menggunakan sisa waktu hari ini bisa jadi akan mendapatkan lebih dari dua puluh ribu rupiah. Jika dikali tiga puluh hari, penghasilannya enam ratus ribu sebulan. Itu baru dari si lelaki, jika ditambah penghasilan isteri dan anak-anaknya, penghasilan mereka bisa melebihi satu juta sebulan.
Aku hanya menggelengkan kepala membayangkan penghasilan yang didapatkan keluarga pasutri yang berpakaian kumal di sampingku ini. Penghasilan sebanyak itu beberapa kali lipat di atas kiriman bulananku. Dan jelas di atas gaji bapakku yang hanya pegawai rendahan.
Sepengetahuanku, seperti yang banyak ditulis, pengemis seperti kedua pasutri ini diorganisir rapih dan profesional. Mereka punya jaringan yang luas dan solideritas kelompok yang tinggi. Penghasilan mereka yang besar itu dipergunakan untuk membangun kehidupan keluarganya sehingga kebanyakan mereka punya rumah serta fasilitas hidup yang lengkap dan mewah. Mereka memang terlihat papa di sini, tapi di kampungnya mereka kaya raya.
Tapi, ke mana larinya uang sebanyak itu? Jika dipikir-pikir, keduanya bisa kaya raya dan mendapatkan segalanya dengan penghasilan sebesar itu. Tapi keduanya masih mengeluh juga. Nasib anak mereka yang hanya dibekali seribu lima ratus tadi sebagai bukti. Aku mulai berpikiran negatif. Menurutku, keduanya hanya pasutri pemboros yang tak tahu diri. Keduanya takpernah tahu dan sepertinya tak ingin tahu bahwa mencari uang itu sulit dan hanya menghambur-hamburkannya seperti itu. Keduanya memang tak pernah merasakan sulitnya mencari uang. Cukup dengan mengandalkan pada kekurangan pisik dan kebranian membuang harga diri dengan menadahkan tangan, keduanya telah mendapatkan penghasilan yang demikiran besar. Dasar orang-orang tak tahu malu! Aku hanya bisa menggerutu karena karena nyaliku keder juga melihat kebengisan yang terpancar dari wajah si lelaki.
“Masih ada lagi, Kang?”
Nampaknya wanita itu belum puas dengan penghasilan suminya. Dasar wanita tak tahu bersyukur!
“Hanya itu—sudah tidak ada—periksa saja sendiri!” nampaknya si lelaki kesal juga dengan pertanyaan isterinya.
“Jangan marah to, Kang!”
“Kamu dapat berapa?”
“Hanya ini!” Si wanita menjulurkan logam seratusan. “Teman-teman terlalu banyak di alun-alun, padahal yang memberi hanya sedikit.”
“Kamu pindah saja kalau terlalu banyak tman, ndak usah ngotot pada teman sendiri.”
“Mau pindah ke mana, Kang? Di tempat lain storannya lebih banyak dan sudah ada yang menempati,” wanita itu memperhatikan suaminya sebentar. “Tadi Tomo mengusirku karena ndak nyeotor. Yang aku dapatkan baru seratus, bagaimana aku dapat nyeor, Kang?!”
Lelaki itu terdiam. Pandangannya menerawang, kemudian meredup. “Sudah, ndak usah diladeni,” katanya pasrah.
Wanita itu hanya diam. Mungkin dia berpikir juga, suaminya saja sudah pasrah seperti itu, apalagi dirinya yang hanya wanita miskin lemah. Mungkin juga lelaki itu punya pengalaman buruk dengan orang bernama Tomo yang akhirnya membuat dia takut membela isterinya.
“Bagaimana keadaan Juminten ketika kamu tinggalkan?”
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, nampaknya ada yang mengganjal di pikirannya. “Badannya masih panas. Sebenarnya aku tak ingin meninggalkannya, tapi mau apalagi?! Kamu saja hanya dapat segini, mau makan apa nanti kalau aku tak ikut, Kang?” katanya lemah.
“Sebaiknya kamu pulang saja, bawa semua yang kudapat sekarang. Seribu lima ratus tak akan cukup untuk mereka berdua!”
“Slamet dan Inem pasti akan mendapat tambahan!”
“Jadi, Inem tak menjaga Juminten?”
“Tidak, Kang! Kalaupun dia kusuruh menjaga Juminten, dia pasti akan keluyuran juga. Makanya Juminten kutitipkan pada Mbok Mina!”
“Mi, Mi. Kamu ini bagaimana, to? Kamu tahu kan Mbok Mina tidak senang pada anak-anak. Kalau Juminten jatuh lagi seperti dulu, apa yang akan kita lakukan? Aku tak punya uang lagi untuk mengobatinya!”
wanita itu diam saja mendengar ucapan si lelaki.
“Ya, sudah. Sampai di Surabaya, kamu langsung pulang saja, urus Juminten! Aku akan mencari tambahan dulu, mungkin pulang setelah magrib. Yang yang kudapat sekarang kamu bawa saja semua.” Si lelaki menyodorkan semua yang dia dapat tadi.
“Tapi, kalau semua, kamu makan pakai apa, Kang?”
“Gampang itu! Yang penting kamu segera mengurus Juminten! Kalau panasnya belum turun, kamu belikan obat. Tanyakan pada Pak Katmi obat apa yang manjur.”
“Kalau kamu tak dapat tambahan seperti kemarin, kamu mau makan apa?”
Lelaki itu terdiam, mungkin nyalinya jadi kecut. Aku tak dapat menerka apa yang terjadi dengannya kemarin.
“Bawa saja semua. Yang penting Juminten sembuh. Kalau hanya makanku, itu tak masalah!”
“Jangan makan dari tempat sampah lagi, Kang. Makanan di sana sudah basi semua, dan kotor. Nanti perutmu sakit lagi.”
Ya Tuhan, kalimat itu mluncur dalam hatiku. Makan dari tempat sampah? Seperti anjing saja! Perutku tiba-tiba mulas. Seumur-umur aku belum pernah mendengar langsung penuturan seperti ini. Sebenarnya banyak yang menuliskannya namun aku tak percaya. Menurutku, tulisan-tulisan itu hanya provokasi pihak-pihak yang kurang pada pemerintah. Namun tak mungkin aku mengecap provokator pada dua orang di sampingku ini. Mereka tak bohong! Lagi pula untuk apa mereka berbohong?
Aku mulai mengoreksi pandanganku terhadap pasutri di sampingku ini. Nampaknya mereka bukan bagian kelompok pengemis yang punya jaringan dan rasa solideritas seperti yang sering aku baca. Mereka pengemis mandiri atau mungkin pengemis terbuang dari kelompoknya namun tak dapat lari dari dunia pengemis karena hanya itu yang bisa mereka lakukan. Perasaanku berubah dari kurang senang ke rasa iba.
Siapa yang tidak iba pada nasib mereka yang harus menanggung hidup sendiri dan anak-anak yang salah satunya mungkin sedang sakit. Lagi pula lapangan kerja mereka telah dikuasai kelompok dari golongan lain yang hanya memanfaatkan orang-orang seperti keduanya untuk kepentingan sendiri. Kelompok ini telah kaya raya dengan mengeksploitasi kekurangan pisik dan materi orang lain, dan tidak ingin orang lain yang tidak mau taat pada aturan kelompok ikut serta di dalam walau orang itu lebih berhak dan lebih membutuhkan. Mereka akan melakukan apa saja—mengintimidasi, memukul, bahkan membunuh sekalipun.
Hidup menjadi keras bagi pasutri ini. Aku tak mungkin mampu hidup di dunia mereka, aku hanya dapoat berempati.
Apa juga kerja pemerintah? Pemerintah memang banyak berbicara tentang penanggulangan kemiskinan, tapi pemerintah malah melakukan yang sebaliknya. Pemerintah menambah deretan kaum miskin dengan menggusur tempat tinggal mereka atau tempat usaha mereka. Menggusur, menggusur begitu saja! Menggusur tanpa membangun! Dan tak hanya itu, pemerintah juga mengkorup uang rakyat.
Stasiun Bangil sudah dekat. Aku harus turun. Aku memandang iba ke pasutri di sampingku ini. Kurogoh kantong, ternyata masih ada seribu lima ratus di dalam. Begitu sampai, kumasukan uang itu ke plastik bekas wadah sabun yang sudah kosong itu. Si wanita memandangku, mungkin heran dengan pemberian yang tidak lumrah itu.
“Sangu suamimu selama mencari tambahan pengobatan Juminten. Entah cukup untuknya,” ujarku yang semakin membuatnya bingung.
***
Malang, 30 Juli 2004

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB