Kamis, 01 Oktober 2009

Satani

Satani
Oleh Anuar Syukur


Wanita cantik itu datang padaku bersama buntalan pakaian. Masih muda. Pipi padat memerah, juga bibirnya merekah. Manis, polos, lugu—khas gadis desa. Dia duduk di hadapanku, bersimpuh. Bagian tubuhnya mengintip di balik pakaiannya. Kepolosan yang menggairahkan!
Mau apa dia ke sini? Mau jadi pembantu?
“Hamba bukan ingin jadi pembantu, Tuan. Tapi hamba ingin mengabdikan hidup hamba pada Tuan,” katanya masih dengan bersimpuh.
“Mengabdi? Tanpa imbalan?” tanyaku tak percaya.
“Ya, Tuan, tanpa imbalan! Hamba akan melayani Tuan lahir batin.”
Aku semakin terperangah. “Lahir batin? Tanpa imbalan?”
“Ya, Tuan, itu keinginan hamba!”
Aku tersenyum. Berulang kali aku memandanginya, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sempurna, desisku dalam hati. Cantik, sensual, menggairahkan. Pikiran kotor mulai merayapi pikiranku. Aku ingin segera menyeretnya!
“Ampuni hamba, Tuan, hamba punya satu permintaan!” sambungnya menghentikan pikiran kotorku.
“Apa itu? Uang? Mobil? Ruma? Bicara saja, jangan sungkan!”
Aku tak berpikir panjang lagi. Untuk wanita secantik dan sepolos ini memang tak perlu pemikiran panjang. Gadis ini bukan hanya polos dalam ucapannya tapi juga polos dalam penampilannya, penampilan khas pelosok yang alami. Selama ini telah banyak wanita yang kukenal luar-dalam, namun belum pernah dengan wanita seperti ini. Gairah menyelimutiku. Aku tak sabar lagi menunggu.
“Apa permintaanmu? Katakanlah, jangan ragu!” desakku.
“Hamba tidak minta yang Tuan sebutkan tadi. Hamba hanya melayani, bukan memiliki!” Bibir merah tanpa gincu itu berhenti, “tapi hamba berharap pelayanan hamba direstui oleh sesembahan hamba.”
“Langsung saja, tak usah bertele-tela,” ujarku mulai kalap. Hasrat sudah menyelimuti ubun-ubunku.
“Mohon jangan marah, Tuan. Hamba hanya minta Tuan menikahi hamba terlebih dahulu.”
“Apa? Menikah? Jangan ngaur, to!” ujarku terbelalak.
“Tidak, Tuan, hamba tidak ngaur. Itu hamba minta agar pelayanan hamba direstui sesembahan hamba. Itu keharusan bagi hamba, Tuan. Jika Tuan mengabulkan, hamba akan ssegera melayani apa pun permintaan Tuan.”
Hasrat sudah menguasaiku sepenuhnya. Sepengetahuanku, ada kiyai yang membantu menikahkan pasangan-pasangan yang menginginkan pernikahan of the record. Ah, pasti dia akan membantuku! Apalagi kalau ditimbuni uang!
“Baiklah, kita berangkat sekarang,” kataku tidak sabar.
“Ke mana, Tuan?”
“Ya, menikah! Kamu ini bagaimana?” tukasku kesal dan bingung.
“Hamba hanya mengabdi, Tuan, tidak layak menikah di depan orang,” dia berhenti, mungkin menungguku memotong namun aku tak melakukannya, “Tuan mengatakan bahwa Tuan menikahi hamba itu sudah cukup. Hamba tak punya pilihan karena mengabdi sudah pilihan hamba!”
“Ha—ha—ha—“ Aku terbahak mendengar permintaan ganjil itu. Ganjil tapi sangat mudah. Aku mengira dia akan menyeretku ke depan pengadilan agama yang akan menjadi gosip terhebat di awal abad 211 ini. Ternyata tidak. Menimbuninya dengan segunung uang saja aku rela, apalagi hanya memenuhi permintaannya yang ganjil ini. Bicara “aku menikahimu!” saja, mana susahnya?
“Baiklah, baiklah,” ujarku setelah tawaku reda, “siapa namamu?”
“Marni, Tuan!”
“Satani, Tuan!”
“Satani? Ha—ha—ha—“ Kembali aku terbahak. Perempuan secantik ini kok bernama Satani?! Tapi pikiranku telah dipenuhi hawa lain, “nah, baiklah, Satani. Aku menikahimu dengan setulus jiwa dan perasananku,” lanjutku formal tapi dengan bibir tersenyum.
Tiba-tiba terdengar bunyi bergemuruh dan halilintar menyambar, kemudian . Aku tak bgitu mempedulikannya. Bagiku, itu hanya fenomena alam. Apalagi aku akan segera menikmati bulan madu, entah untuk ke berapa kalinya. Semua yang ada di dalam maupun di luar diri terlupakan sudah.
Aku segera menyeretnya. Dia pasrah.
Luar biasa perempuan ini. Tapi menikmati yang luar biasa harus sedikit-sedikit. Aku mempelajari ini dari sekian banyak pengalaman. Lagi pula, kulihat dia lelah. Ah, perempuan kampung. Betapa beruntungnya aku!
Maka, kubiarkan dia istirahat. Dan dia pun langsung lelap.
Tiba-tiba, bumi bergoncang keras. Kupandangi sekeliling. Lukisan wanita setengah bugil, Julia judulnya, yang tergantung di dinding tengah kamar bergoyang ke kiri dan ke kanan seolah penari hippies yang hendak membangkitkan birahi. Bagai tersengat listrik aku melompat dan memeluk lukisan yang hampir jatuh itu. Tidak, aku bukan hendak bermesraan dengan lukisan, betapapun cantiknya dia. Aku pria normal yang tak mungkin dapat bercinta dengan bayang-bayang. Aku pria normal, yang mungkin kelewat normal!
Lukisan itu harganya, aku dapatkan dari lelang amal, katanya untuk korban banjir di Malang Selatan. Pemborosan! Tapi, demi gengsi semua itu tak ada artinya. Pemborosan? Aku rasa tidak! Amal baikku tetap terjaga berkat lukisan itu. Bahkan untung. Kemarin aku korupsi tiga ratus juta tanpa seorang pun yang curiga. Bagaimana mereka akan curiga? Bukankah aku pejabat mulia yang telah menyumbang untuk korban banjir?
Bumi diam kembali. Julia kuletakan kembali di tempatnya. Di ranjang aku melihat Satani masih pulas. Selengkung senyum menghias bibirnya. Aku heran. Tidakkah dia merasakan gempa tadi? Julia saja hampir jatuh, mengapa Satani tidak terusik? Dasar ular! Ah, bukan. Satani bukan ular. Dia hanya kebo bego yang menyelinap dalam hidupku. Yah, dia hanya kebo bego yang datang untuk mengabdi luar-dalam dengan pernikahan anehnya.
Aku menatapnya. Cantik sekali dia ketika tidur. Apalagi dengan lengkungan senyum itu. Kuulurkan tangan hendak meraba pipinya yang mulus. Aneh, tanganku tak sampai. Aku mendekatinya, mengulurkan tangan lagi. Sama saja. Aku coba beberapa kali tapi nihil.
Kemudian, bumi berguncang dahsyat. Lebih dahsyat dari yang pertama. Di luar kudengar angin menderu-deru, halilintar bersahutan. Aneh. Marni masih asyik dengan mimpi-mimpinya. Kucoba membangunkannya namun tanganku tak pernah sampai.
Praaang…
Julia jatuh tak tertolongkan. Kacanya berserakan, bingkainya berhamburan. Oh, hancur sudah amalku! Kupandangi Julia yang tak berbingkai lagi. Aneh. Julia memudar, memudar dan terus memudar sampai yang tersisa hanya sketsanay. Dan sketsa itu juga menghilang sehingga yang tertinggal hanya kanvas yang catnya juga mulai memudar sampai yang tersisa hanya sulaman benang.
Kualihkan pandangan. Apa? Semua jadi suram dan tak menggairahkan lagi. Ke mana cat-cat yang kubeli dengan harga mahal itu? Ke mana cat-cat yang anti bakar dan anti karat itu? Bunga plastik dalam jambangan warnanya juga memudar. Semua jambangan menghilang, entah ke mana.
Aku berlari ke brankas penyimpanan barang-barang dan beberapa ratus juta uang tunai. Uang tunai itu yang kugunakan untuk berfoya-foya dengan wanita lain. Untuk menggunakan uang di bank aku takut diketahui isteriku. Dalam urusan seperti ini, isteri penghalang!
Apa? Mataku terbealak tak percaya. Berlian dan emas simpananku tak ada bedanya dengan batu biasa dan besi rongsokan. Kemilaunya menghilang. Uang simpananpun tak lebih dari kertas bekas yang tak ada harganya.
Aku pernah mendengar bahwa manusia tak pernah mencipta. Manusia hanya berkarya. Ya, manusia hanya merajut dan menjalin bagian demi bagian ciptaan Tuhan kemudian mengklaim sebagai ciptaannya. Mungkinkah warna-warna dibarang ‘ciptaan’ manusia itu telah kembali ke penciptanya?
Syuuur…syuuur…
Angin di luar menggelora.
Buuuk…buuuk…
Nampaknya angin telah mencabut segala yang dilewatinya dan mencampakan di tembok kokoh rumahku. Ah, apalagi ini? Apakah tsunami akan memorak-morandakan daerah ini?
Praaang…
Kaca jendela kamar pecah. Angin menerobos membawa sekeping pecahan besar yang hampir mengenaiku. Untung aku pernah belajar silat waktu mahasiswa dulu. Bukan untuk menyerang atau mmpertahankan diri, tapi untuk memikat teman-teman mahasiswiku yang tergila-gila pada mahasiswa perkasa.
Angin terus mengamuk, menerbangkan sebagian kaca yang masih tertinggal dibingkainya. Sebagian kaca itu mengarah ke tubuh Satani namun berhamburan menjadi kepingan-kepingan halus sebelum mengenai tubuhnya, dan sebagian lagi masuk ke tubuhnya tanpa meninggalkan bekas. Ajaib! Tubuh Santani punya kekuatan menghancurkan dan menyerap pecahan kaca itu. Aku mencoba berbuat seperti dia. Sekeping pecahan kecil aku tantang. Aduh! Untung pecahan itu hanya mengenai paha kananku. Ah, aku tak bisa seperti Satani.
Angin terus menerobos, semakin kencang. Barang-barang di dalam kamar terlemparkan. Bumi bergoncang bertambah keras seakan mengimbangi angin. Semua benda di lemari sudut kamar jatuh berhamburan. Sebentar lagi langit-langit dari beton akan jatuh. Sejenak aku melihat Satani. Dia masih puas. Dasa ular, umpatku. Segera kuulurkan tangan lagi, kali ini sampai. Tubuhnya aku guncangkan.
“Ada apa, Tuan?” tanyanya tanpa ekspresi.
“Ayo keluar dari rumah keparat ini.” Aku lengsung menyeretnya.
Baru satu langkah dari pintu kamar…
Buuuk…
Langit-langit kamar runtuh. Aku terus menyeretnya ke luar. Aku tak dapat lagi mengemasi barang secuilpun. Yang ada di pikiranku hanya menyelematkan diri dari bencana ini.
Di luar, suasana lebih menyeramkan. Pohon-pohon beterbangan laksana kapas ditiup angin. Di angkasa, bintang jatuh ribuan banyaknya. Halilintar menyambar-nyamar. Hujan terus mengguyuri bumi.
“Banjir,” ujarku sambil memandangi air yang mengalir di depanku. Aliran itu bertambah, bertambah, dan terus bertambah. Bumi pun seakan mengeluarkan air.
“Ayo, Tuankita ke sana,” ajak Santani.
Aku memandaangi telunjuk Marni. Aneh. Mengapa di depan rumah ada vila padahal aku tak pernah membangunnya? Alangkah klasik dan mengerikan vila itu. Bentuknya seperti setan yang aku lihat di komik anakku. Beberapa detik kemudian, mulut bangunan itu terbuka dan keluarlah gadis-gadis seksi berwajah anjing. Aku muntah namun tak ada cairan yang keluar dari mulutku.
“Ayo,Tuan, mereka telah menunggu kita,” ajak Santani lagi.
“Tidak! Aku tidak mau!”
“Tidakkah Tuan melihat membawa nampan berisi bunga-bunga untuk menyambut kita? Lihatlah! Lihatlah, Tuan! Betapa mereka mengagungkan Tuan,” bujuk Marni.
“Tidak, Santani! Aku tidak akan bergabung dengan setan-setan itu!”
“Apa?” suara Santani menggelegar mengagetkanku. Sontak aku memandanginya. Aku kaget setengah mati. Yang ada di sampingku sekarang bukan lagi Satani yang cantik dan polos melainkan gadis seksi berkepala anjing, tak ubahnya dengan gadis-gadis di vila itu. Spontan aku lepaskan genggamannya.
“Pergi—pergi—menjaulah dariku,” teriakku ketakutan.
“Hai manusia,” katanya dengan suara yang lebih menyeramkan lagi, “kau telah menikahiku. Tak mungkin kau lupa itu. Sekarang, masuklah ke golonganku!”
“Tidak! Aku tak pernah menikahimu setan durjana, iblis laknatullah! Aku tak mengakui pernikahan itu.” Emosi telah mengalahkan ketakutanku. “Jadi kamu yang menyebarkan kerusakan ini? Dasar setan!”
“Tidak, hai manusia! Kau telah mengabdi padaku jauh sebelum mengenalku. Tidakkah kau sadari bahwa di setiap diri perempuan yang kau tiduri hanya untuk melmpiaskan nafsu di situ ada aku? Juga di setiap lembar rupiah yang kau korupsi di situ ada diriku! Dasar manusia bodoh!”
Aku menggigil. Baru sekarang aku menyadari betapa salah jalan yang telah aku tempuh.
“Tidak! Aku tak mau! Aku ingin brtobat!”
“Apa? Bertobat? Ha—ha—ha—ha.” Taringnya menyembul. “Tidakkah kau ketahui hai turunan Adam, ini Hari Penghabisan?!”
“Apa? Hari Penghabisan? Kiamat?”
“Ya, kiamat hai turunan Adam! Tidakkah kau melihat benda-benda langit saling bertabrakan? Tidakkah kau rasakan bumi bergoncang? Inilah kiamat hai turunan Adam! Waktumu sudah habis! Mau tak mau kau haru ikut denganku sekarang.”
Marni menjepit leherku dan menyeretku ke kelompoknya. Aku terus berontak namun tenagaku kalah. Dia terus menyeretku melewati banjir yang sekarang telah mejadi banjir bandang. Kepalaku timbul-tenggelam. Aku mulai sulit bernapas. Aku megap-megap. Apalagi ketiak Satani busuknya luar biasa.
Saat seperti ini aku ingat Tuhan. Aku terus berdzikir mengharapkan ampunan-Nya.
“Bangun, Pa, bangun!”
Mataku terbuka. Wajah isteriku pertama kali terlihat. Dia masih mengenakan mukena, mungkin baru selesai melaksanakan tahajud. Dan jua di sana aku dengan orang mengaji.
“Mimpi buruk, ya?” tanyanya.
Aku hanya diam. Memandangi sekeliling. Semua warna seakan telah kembali. Persyukuran terucap di bibirku. Ternyata kiamat hanya di mimpi, dan aku masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Tak lama kemudian adzan subuh dikumandangkan. Segera kulangkahkan kaki, bewudu dan mengimami sholat berjamaah dengan isteri dan anak-anakku.
***
Malang, 16 Juli 2004

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB