Minggu, 01 Mei 2011

MENYOAL BURUH ANAK

(Seharusnya ini diposting sebelum atau tepat 1 Mei, tapi karena kesibukan sehingga baru sekarang diposting)
Jika menyimak iklah suatu perusahaan yang mencari pekerja dari smua tingkat pendidikan maka bisa jadi minimal sepuluh dari lima belas calon tenaga kerja yang tamatan SD-SMP merupakan anak. Mereka sebenarnya belum cukup umur tapi berusaha memanipulasi data usia agar dapat diterima sebagai tenaga kerja (naker). Dari sepuluh orang tersebut, tiga orang yang diterima. Bagi perusahaan sendiri, terutama perusahaan menengah dan kecil, hal ini tidak menjadi masalah karena yang dibutuhkan dari tamatan SD-SMP adalah tenaganya dan bukan pikirannya sehingga sepanjang seorang nake mampu secara pisik maka faktor lain sudah tidak dipermasalahkan.

Perusahaan sendiri sebenarnya diuntungkan dengan mempekerjakan anak-anak karena buruh anak mempunyai nilai dan daya tawar rendah karena ketidakmampuan pengetahuan dan ekonomi mereka. Buruh anak yang biasanya hanya tamatan SD-SMP serta benar-benar mengharapkan pekerjaan karena kebutuhan ekonomi biasanya akan lebih mudah dikendalikan dan lebih loyal pada perusahaan. Tuntutan mereka juga tidak banyak. Yang penting bisa memenuhi kebutuhan pokoknya mereka akan diam dan patuh pada perusahaan. Bahkan tak jarang perusahaan mendayagunakan mereka sebagai tameng ketika berhadapan dengan pihak luar yang mempermasalahkan keberadaan perusahaan.
Buruh anak yang bekerja disektor formal (jenis sahanya berbadan hukum) bisa dikatakan masih lebih beruntung jika dibandingkan dengan buruh anak yang bekerja disektor non formal (jenis usaha yang tidak berbadan hukum) seperti home industri dan lainnya atau mereka yang bekerja di sektor yang tidak tercantum dkedua sektor tersebut seperti pengemis, pengame, tukang semi, penjual koran, pembantu remah tangga, dan lainnya. Minimal kelompok yang pertama telah terdaftar diberbagai organisasi seperti SPST, SBSI, dan lainnya yang diakui negara dan dapat menampung serta menyalurkan keluhan mereka. Sedangkan kelompok kedua—apalagi yang ketiga—sama sekali tak punya akses dan kelompok yang akan membela hak mereka.
Menurut perkiraan International Labour Organisation (ILO=organisasi buruh sedunia) pada tahun 1995 ada sekitar sepuluh peresen anak yang berusia 10-14 tahun aktif secara ekonomi (Kompas 1/3/2000). Jumlah ini merupakan perpaduan anak yang bekerja disektor formal dan informal. Jumlah ini bisa dipastikan bertambah saat ini karena adanya krisis ekonomi.
Ketidakefektifan Piranti Hukum
Penentuan usia anak dalam setiap produk hukum yang terkait dengan anak sangat beragam. Di UU No.3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, anak berumur 8-18 tahun. Di UU No.4 tahun 1997 tentang Kesejahteraan Anak, yang termasuk anak adalah seorang yang belum berusia 21 tahun dan belum kawin. Di UU No.1 tahun 2000 yang merupakan ratifikasi terhadap Konvensi ILO No.182, anak berumur 18 tahun. Sedangkan di dalam UU No.25 tahun 1997, anak berumur kurang dari 15 tahun (pasal 1 ayat 20), yang berumur 15-18 tahun digolongkan sebagai orang muda (pasal 1 ayat 21) di mana posisi keduanya di dalam hak dan kewajiban berbeda. Seharusnya akan lebih baik jika produk hukum yang terkait dengan anak mempunyai kriteria umum yang sama karena produk hukum tersebut akan saling terkait.
Di dalam UU No.25 tahun 1997, pengusaha sebenarnya dilarang mempekerjakan anak (pasal 95 ayat 1) namun larangan ini tidak jadi berlaku bagi anak yang karena alasan tertentu terpaka bekerja (pasal 96 ayat 1). Di dalam penjelasan pasal 96 ayat 1 disebutkan bahwa keterpaksaan tersebut terkait dengan alasan ekonomi. Faktor keterpaksaan ekonomi memang merupakan faktor utama mengapa seorang anak bekerja. Namun anak yang bekerja harus dilindungi (pasal 96 ayat 2 dan 3), salah satunya dengan tidak mempekerjakan anak lebih dari 4 jam sehari agar anak punya kesempatan untuk tumbbuh dan berkembang, belajar dan mengembangkan kehidupan sosial. Apakah perlindungan ini efektif?
Sampai saat ini pelaksanaan UU No.25 tahun 1997, khususnya pasal-pasal yang terkait dengan perlindungan anak ternyata belum maksimal. Masih banyak perusahaan yang mempekerjakan anak sebagai mana mempekerjakan buruh dewasa.  Posisi perusahaan sendiri cukup kuat untuk melakukan tindakan ini. Setidaknya ada dua alasan penguat shingga perusahaan dapat bertindak seperti ini. Pertama, anak yang bekerja sudah sepengetahuan orang tuanya, bahkan orang tuanya sendiri yang meminta pihak perusahaan untuk mempekerjakan anaknya dan orang tua tidak keberatan dengan tindakan perusahaan seperti ini. Memang harus diakui bahwa peran orangtua dalam menentukan kehidupan anaknya dijamin secara hukum. Dalam pasal 298 KUHPerdata disebutkan bahwa tiap-tiap anak dalam umur berapapun juga berwajib menaruh hormat terhadap bapak ibunya. Ini berarti sang anak wajib patuh pada orang tuanya, termasuk kepatuhan untuk bekerja. Tentang kekuasaan orang tua atas anak ini lebih dipertegas dalam pasal 2999 yang bunyinya sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai dia dewasa tetap bernaung dibawa kekuasaan mereka sekadar (sepanjang) mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kedua, anak itu sendiri—karena kebutuhan akan hasil (upah) kerja—menerima semua perlakuan tersebut asal dia tetap bekerja dan tetap mendapatkan hasil dari kerja tersebut.
Nampaknya pengecualian dalam UU No.25 tahun 1997 tidak mungkin mensejahterakan anak karena ketika anak mengikatkan diri sebagai tenaga kerja maka dia sudah benar-benar dikejar oleh kebutuhan dan telah memutuskan ikatan dengan yang lain seperti sekolah, bermain, dan lainnya. Bahkan buruh anak akan kebingungan ketika ada waktu yang lowong tanpa bekerja karena berarti tidak ada penghasilan yang dia dapatkan.
Uraian diatas baru terkait dengan buruh anak yang bekerja pada sektor formal di mana perlindungan terhadap mereka tercantum jelas dalam UU No.25 tahun 1997. belum lagi jika kita membahas buruh anak yang bekerja di sektor informal di mana perlindungannya diatur dalam peraturan perundang-undangan lebih rendah atau buruh anak yang bekerja disektor yang tidak tercantum dalam sektor formal maupun informal di mana perlindungan hukum terhadap mereka hampir tidak ada. Khusus untuk terakhir ini, hukum yang melindungi mereka baru pada UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak dan UU No.1 tahun 2000 yang merupakan ratifikasi dari Konvensi ILO No.182 tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Padahal, perlakuan buruk terhadap buruh anak disektor ketiga ini yang paling banyak kasusnya dan apling tinggi kualitas perlakuan buruknya.
Penutup
Diakui atau tidak, produk hukum kita terasa masih belum pro aktif melindungi buruh anak. Begitu juga dengan pelaksanaannya ternyata masih jauh dari apa yang kita impikan selama ini. Karena itu perbaikan segera terhadap produk hukum yang ada disertai tekanan terhadap penegak hukum agar lebih tegas melindungi buruh anak. (Ans)

Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. Tulisan ini telah dipublikasikan juga di Website Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumater Utara. Insya Allah bermanfaat.

    Alamat web:

    http://www.pushakumsu.com/index.php?option=com_content&view=article&id=20:menyoal-buruh-anak-&catid=4:article&Itemid=7

    BalasHapus

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB