Selasa, 26 April 2011

Dunia Penulisan Kita


Pada Sabtu, 8 Agustus lalu, dua tahun lalu, karena desakan kawan-kawan di Angkatan Muda Muhammadiyah yang ada di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Kota Kotamobagu dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Bolmong serta bantuan dari beberapa donatur yang ikut prihatin, saya dipaksa menerbitkan tulisan saya berbentuk novel walau dalam terbitannya sederhana yang kemudian diluncurkan.

Ada banyak komentar tentang kegiatan ini. Bisa dikatakan rata-rata menilai kegiatan ini tidak sukses karena hanya dihadiri sedikit orang. Dari sini mereka menilai bahwa dunia penulisan memang tak punya tempat di tanah Totabuan karena di sini penulisnya sangat sedikit, begitu juga pembacanya.
Saya sendiri justru optimis. Alasannya, kegiatan ini merupakan inisiatif dari sekelompok anak muda yang sadar bahwa dunia penulisan memang penting diperhatikan. Merekalah kader penulis di masa yang akan datang. Meminjam Pramudya Ananta Toer, semangat dan kemudaan mereka yang akan membangun dunia penulisan di daerah kita. Kita tak perlu banyak penulis, orientasi kita juga jangan hanya untuk dibaca oleh masyarakat di daerah. Karena itu, kuantitas yang hadir di kegiatan tersebut tidak menjadi ukuran. Bagi saya kegiatan ini sukses.

Mengapa menulis?
Dengan berbagai argumen, mulai dari rakyat butuh makan bukan tulisan, butuh pekerjaan bukan kertas bertinta, butuh bangunan pisik bukan omong kosong di atas kertas, dan lainnya, dan sebagainya. Semua pandangan ini mengarah ke satu pertanyaan, mengapa menulis?
Awalnya saya punya pertanyaan yang sama. Sejujurnya, awalnya saya hanya melihat para senior yang kelihatan dihargai karena mereka menulis. Dan ketika kaki saya mulai menapaki dunia penulisan, kebanggaan bercampur kepongahan yang pertama muncul. Betapa tidak. Para senior, sambil menepuk pundak saya mengatakan bahwa saya akan menjadi penerus si ini atau si itu. Itu ketika saya berada di kampung besar bernama Jawa di mana persaingan dalam segala hal sangat ketat. Bangga jugalah, anak pelosok bisa bersaing di Jawa.
Tapi, seiring waktu, orientasi pada kebanggaan rasanya tak punya nilai. Bangga, emangnya mau dijadikan apa dan akan membawa kita ke mana? Orientasi harus dirubah, tapi apa?
Satu hal yang membuat saya bertahan di dunia penulisan ketika berada di rantau adalah kebutuhan. Alhamdulillah menulis bisa sedikit mengurangi beban orang tua karena di rantau profesi penulis “dihargai”. Kemudian, ketika bersama kawan-kawan mendiskusikan persoalan daerah, muncullah ide untuk mengangkat citra melalui tulisan. Sutasoma, kalau tak salah, telah mengangkat citra Jawa melalui Negara Kertagama. Seorang Andrea Herata telah menghidupkan kampung halamannya yang nyaris mati melalui “Laskar Pelangi” sampai akhirnya kampungnya menjadi salah satu daerah wisata. Dan masih banyak lagi contoh lain.
Daerah kita, dalam diskusi kami waktu itu, mungkin benar merupakan daerah yang besar, kuat dan berkuasa. Kita bisa meng-iya-kan pandangan ini karena di Sulawesi Utara kerajaan besar di masa lalu memang hanya Bolaang Mongondow. Namun semua itu hanya dituturkan sehingga tidak cukup mengangkat daerah kita, bahkan bisa dikatakan saat ini kita tenggelam.
Melihat kondisi ini, orientasi penulisan dirubah. Tulisan di media di Jawa selalu saja dikaitkan dengan daerah. Saking getolnya saya menulis tentang daerah ketika di Jawa sampai-sampai di anggap terlalu sukuisme. Tapi, orientasi telah dipancangkan, pantang untuk undur. Pulang kampung, walau oleh banyak pihak dipandang sebagai langkah mundur namun bagi saya ini langkah maju untuk membangun daerah. Think globaly action localy, kata Jhon Naisbith di Megatrend 2000. Berpikir mendunia tapi bertindak di lokal. Dalam bahasa kawan-kawan aktivis, memulai saat ini dan di sini!

Penulis perlu Mengemis?
Walau pahit harus diakui bahwa impian ternyata tak sesuai dengan kenyataan. Dari gegap gempita Bogor ke pelosok Malang, hanya butuh tak sampai satu semester untuk menyesuaikan diri. Padahal waktu itu terlalu banyak orientasi yang dilakoni. Ketika pulkam, dengan satu tujuan, yaitu menghidupkan dunia penulisan di daerah, ternyata sangat susah. Nyanda’ gampang sayang, kata seorang teman.
Saya sendiri hanya sanggup bergurau melihat kondisi ini. “Wajar, kita dari Bogor ke Malang, sampai di sini nasib yang malang,” itu yang sering kuguraukan. Atau: “Ini risiko klan Syukur, segalanya disyukuri sehingga tak ada yang bersimpati.”
Terlepas dari gurauan, sesungguhnya ini keluhan. Keluhan yang serius. Terlebih ketika tahu bahwa ada milyaran rupiah untuk pengadaan buku (dari media, di Bolaang Mongondow dana pengadaan buku jumlahnya 5,1 M, belum lagi di wilayah Bolaang Mongondow Raya yang lain). Tapi ketika kita bicara tentang dunia penulisan ternyata tak ada dana.
Ada yang bilang, karena saya tak minta sehingga muncul alasan tak ada dana. Ini membingungkan. Mengajukan proposal dengan rincian pembiayaan apakah bukan pertanda meminta? Apa di daerah kita ada cara lain meminta dana untuk suatu keperluan?
Ada lagi alasannya, katanya karena saya tidak mengejar. Mendengar ini, saya teringat pada pengemis di salah satu filmnya Warkop DKI, ketika yang diminta bilang tak ada uang kecil maka dia bilang: “Berapa Bapak mau memberi? Ada kembaliannya, kok!”
Luar biasa kalau begini. Berarti penulis memang perlu mengemis!
Tapi, oke lah, tak jadi persoalan. Seorang penulis harus konsisten pada tulisannya, bukan pada yang lainnay. Mengemis merupakan bagian dari yang lainnya itu. Jadi tak soal jika memang diharuskan untuk mengemis. Tapi, bagaimana caranya? Seumur-umur saya tak tahu bagaimana cara mengemis yang baik. Jadi, tolong ajarkan saya.

Komitmen Bersama
Saya memang sangat siap melakukan apa pun untuk pengembangan dunia penulisan di daerah kita, bahkan mengemis sekalipun. Tapi kita harus sadar dulu bahwa dunia penulisan memang perlu dikembangkan. Tanpa kesadaran ini, mengemis sekalipun rasanya tetap akan membuat dunia penulisan terpuruk karena tak akan menghasilkan sebuah komitmen bersama. Komitmen bersama ini akan mengarahkan kita untuk membuat program aksi demi kemajuan daerah.
Banyak hal yang bisa kita lakukan di dunia penulisan. Mulai dari memperkenalkan budaya daerah, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, berbagai kebijakan, dan lainnya. Kita bisa menjadikan Bolaang Mongondow Raya seperti kampung Laskar Pelangi yang sekarang ramai karena dinovelkan dan difilmkan. Kita tak hanya mengatakan kebesaran Bolaang Mongondow Raya di lisan tapi benar-benar diperhitungkan di luar.
Tapi komitmen semua pihak harus ada sehingga masing-masing bisa menyumbangkan sesuai kemampuannya untuk memajukan dunia penulisan. Alangkah baik jika kita bisa bergandengan tangan tanpa melihat pada siapa seseorang berpihak (secara politis) maupun melihat dari sudut SARA. Alangkah cepat kita maju jika pengambil kebijakan membuat kebijakan yang membuat dunia penulisan dapat berkembang, masyarakat memberikan masukan apa yang perlu dunia penulisan lakukan, mereka yang berada di luar daerah ikut mempromosikan dunia penulisan di daerahnya, dan lainnya, dan sebagainya.
Jika ini yang terjadi, Insya Allah dunia penulisan akan ramai. Bibit-bibit penulis akan muncul laksana jamur di musim penghujan karena mereka mendapatkan kepastian bahwa dunia mereka diperhatikan. Bibit-bibit penulis ini tak akan merecoki panggung politik, panggung PNS, dan lainnya. Dengan sadar dan ikhlas mereka akan memberikan peluang pada yang lain untuk menjadi politisi maupun PNS. Kalau tidak, mereka akan menjadi jamur yang mematikan untuk yang lain.
Lebih dari itu, mereka akan menjadi kolaborator pihak luar yang memberi mereka peluang. Atau lebih memilih memikirkan nasib sendiri dan tak mempedulikan daerah yang sesungguhnya dia cintai. Jangan salahkan mereka kalau berbuat begini.
Kita dilarang untuk bilang bahwa mereka tak cinta daerahnya, mereka lebih memilih membesarkan orang atau daerah lain. Wajar. Ketika pintu rumah sendiri diketuk tapi tetap tertutup maka wajar jika mereka mengetuk pintu rumah yang lain. Rasa terimakasih mereka tentu pada pihak yang telah membukakan pintu.

Epilog
Kita diminta untuk lebih banyak merenung, semoga tulisan ini bisa menjadi bagian dari perenungan kita. Semoga hasil perenungan itu akan berbuah komitmen untuk memajukan dunia penulisan. Semoga!
***
Tulisan lama

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB