Jumat, 24 September 2010

KONTROVERSI MMS



Sebuah Pandangan Pribadi
Saat tulisanku yang berjudul “Kepemimpinan Perempuan” muncul harian Radar Totabuan, rupa-rupa tanggapan teman-teman. Ada yang bilang saya menggadaikan idealisme, ada yang minta uang jatah baca, ada yang minta dihubungkan untuk suatu kepentingan. Kawan-kawan ini jelas pada sisi yang berlawanan dengan MMS (demikian sapaan lain Bupati Bolaang Mongondow dua periode, Ny. Hj. Marlina Moha Siahaan). Mereka menyindir, bahkan menyerang saya karena tulisan saya yang memang mengulas kelebihan MMS namun oleh mereka sudah dibaca sebagai MMS oriented. Dari tulisan itu, beberapa dari mereka menganggap saya sebagai pengkhianat.
Ada juga yang bilang salut, terimakasih, sampai menunjukan jalan bagaimana caranya agar tulisan ini dapat diapresiasi sehingga menghasilkan materi—yaitu dengan memberikan langsung Radar Totabuan halaman opini ke Ibu Bupati atau menulis beberapa kali lagi dengan bahasa yang sama agar aku punya bargaining sehingga dipanggil ke Ilongkow untuk merundingkan berbagai kendala yang saya hadapi dalam berkarya. Kawan-kawan ini pun jelas dimana berdirinya. Melalui tulisan itu, rupanya mereka mengidentifikasi saya suda ke pihak mereka, ada juga yang bilang saya sudah bertobat.
Jauh sebelum “Kepemimpinan Perempuan” muncul, ada tulisan saya berjudul “Dinasti” yang muncul di Manado Post dan cukup menuai kontroversi. “Dinasti”, walau tak menyebutkan nama namun dipandang bicara tentang Ilongkow (keluarga MMS). Kali ini pandangan kawan-kawan terbalik. Yang mengecam “Kepemimpinan Perempuan” memuji “Dinasti”, sementara yang salut dengan “Kepemimpinan Perempuan” justru menghujat “Dinasti”. Sayangnya pujian maupun hujatan terhadap tulisan saya tak disampaikan dalam bentuk tulisan yang dimuat media sehingga saya tak bisa mengurai lebih banyak.
Pada kedua pihak yang sesungguhnya sama-sama kawan, saya hanya dapat tersenyum. Dan dari sinilah sosok MMS bisa dipandang sebagai sosok yang controversial luar biasa. Setiap pihak yang menilai dirinya seolah hanya dapat memandang satu sisi, entah itu sisi positif maupun negative. Pandangan ini menghasilkan blok dengan jurang lebar dan dalama diantara mereka yang tak mungkin bisa dijembatani. Pandangan ini membuat kita seolah bukan menilai seorang manusia. Yang dipihak beliau memandang beliau tanpa cela, di pihak yang berlawanan akan mengatakan sebaliknya.
Bagi saya pribadi, bagaimanapun beliau tetap manusia yang pernah melakukan kesalahan entah disengaja atau tidak. Di sini lain, beliau juga tentu punya sisi positif yang harus kita akui dan kita banggakan. Atau, di dalam ada juga persoalan di mana akan terlihat sisi positif dan negative beliau.
Tulisan ini tidak dapat mencover seluruh sisi kehidupan beliau dan menganalisanya karena saya memang tak berinteraksi dengan beliau. Yang saya bisa kemukakan hanya apa yang saya lihat.
5 Menit Yang Selalu Kukenang
Saat awal di kampung halaman tahun 2005, saya hendak memperkenalkan novel pertama saya “Perjuangan Keluarga Tertindas” yang diterbitkan Balai Pustaka 2004. Saat itu, seorang kawan yang aktivis BKPRMI memperkenalkan saya pada beliau setelah beliau memberi kata sambutan dalam satu kegiatan BKPRMI di Gedung Wanita.
“Takinku na’a bagu nobui nongkon Malang bo mo’ibog mongonguman takini Ibu,” demikian bisikan kawan saya.
“Ka Ilongkowjo,” kata beliau.
Maka, dengan motor pinjaman kami mengikuti rombongan. Sesampainya di sana kami masih menunggu. Selepas magrib baru kami bisa ketemu. Aku bicara cukup cepat waktu itu, mungkin 3 menit aku memperkenalkan diri serta menjabarkan apa yang ingin dan hendak aku lakukan di kampung halaman.
“Mana Sespri?” tanya beliau, dan datanglah Sespri. “Ini anak bakarja, fasilitasine,” itu yang beliau katakan pada Sespri dan kamipun undur.
Luar biasa. Dalam 5 menit, aku merasa segala persoalan yang menjadi hambatanku rasanya lenyap, persis seperti sulap.
Sayangnya, sampai detik ini apa yang beliau katakan pada Sespri belum ada buktinya. Proposal-proposal yang kuajukan rata-rata kuajukan ke beliau dan keluar dalam bentuk acc dari ruang beliau juga hasilnya nihil.
Saya tak tahu dari sisi mana atau siapa yang salah sehingga hal ini bisa terjadi. Semoga saja tidak ada pencairan berdasarkan proposal yang telah di acc atas nama beliau karena jelas akan membahayakan beliau.
Bahasa dan Budaya
Di kema bakti Karang Taruna di Kopandakan menjelang Pilkada 2006 ada satu fenomena yang luar biasa. Bukan soal peserta yang pecah berdasarkan bakal kandidat yang mereka jagokan melainkan persoalan bahasa dan ini bersumber dari MMS sendiri.
Saat itu, beliau bilang ingin berdialog langsung dgn salah satu peserta. Dari sekian banyak peserta, terpilihlah seorang yang berasal dari Bolaang Mongondow Utara sekarang—saya sudah lupa dari mana asal tepatnya.
“Yo, kele’, oyu’onpa libo’oni Mama Didi o,” kata beliau dengan gayanya yang khas.
Orang dari Bolmut ini terdiam sesaat, dia bengong. “Maaf, Ibu, saya tidak tahu bahasa Mongondow,” katanya kemudian.
Namun beliau tetap berbahasa Mongondow yang membuat malam menjadi sumringah, penuh gelak tawa, terlebih orang yang dipanggil mulai berbahasa pakai bahasanya.
Dalam kesempatan lain yang sempat saya ikuti, beliau berbahasa Mongondow di atas panggung seperti sudah karakter. Aku tahu bahwa ini sesungguhnya ditujukan untuk menjawab isu bahwa beliau berasal dari luar Bolaang Mongondow. Namun sebagai orang Mongondow, saya melihat sisi positifnya saja. Saya memandang bahwa beliau memang ingin memberi contoh pada masyarakat, terutama anak muda, bahwa berbahasa Mongondow sesungguhnya tak akan membuat kita jadi orang kuno. Lha, Bupati saja pake bahasa Mongondow dan faseh, kenapa kita malu tumomongondow?
Dari segi budayapun sesungguhnya beliau punya cukup kepedulian. Buktinya beliau mau menerima gelar adat yang menimbulkan pro kontra sampai ke media massa, dalam bentuk artikel lagi. Saya pribadi menganggap beliau kebablasan dalam persoalan ini karena gelar beliau hanya disandangkan pada masyarakat biasa, toh yang diberi gelar adalah orang luar Mongondow dan bukan Sugeha yang memang secara garis keturunan memang berhak mendapatkan gelar itu.
Dari sisi kedua hal ini, sesungguhnya dunia saya, dunia penulisan, belum mendapatkan manfaatnya. Setahun lalu ada pengadaan buku berbandrol 5,3 Miliar tapi untuk buku karangan seorang Anuar Syukur tak ada dananya.
Walau belum mendapat manfaat namun saya tetap menilai beliau plus dari kedua sisi ini. Dan mungkin kata “belum” itu akan menjadi “tidak” mengingat masa jabatan beliau akan segera berakhir.
Kebijakan Pembangunan dan Hasilnya
Beliau berkuasa selama dua periode, selam 10 tahun, dan sekarang merupakan penghujung kekuasaan beliau. Kebijakan dan hasilnya tentu kita semua sudah melihat. Dari sudut pembangunan pisik, saya wajib katakan bahwa beliau tidak sukses. Sangat sedikit pembangunan pisik yang berasal dari kebijakan beliau. Bahkan mengurus diri sendiri setelah memandirikan empat daerah lain dalam wilayah Bolaang Mongondow pun beliau tak sanggup.
Saya sangat bersyukur mendengar beliau memerintahkan seluruh PNS Bolaang Mongondow agar bersiap pindah ke Lolak. Sejak Kotamobagu ditetapkan sebagai daerah otonom berbentuk Kota memang Lolak telah disiapkan sebagai ibu kota Bolaang Mongondow. Motif politik tentu berada dibelakang kepindahan ini, kita tak perlu berdebat tentang motif ini karena memang sangat jelas dan terang benderang. Walau demikian, saya sendiri sangat bersyukur. Saya pernah berdebat di media dengan Pak Jainudin Damopolii dan Pak Irwan Thalib tentang persoalan ini tahun 2008 lalu. Alhamdulillah sekarang tak perlu berdebat lagi.
Pembangunan SDM pun sangat kurang. Coba hitung berapa S1, S2 dan S3 yang telah dihasilkan Pemkab. Jari tangan kita masih dapat menghitung. Perhatian pada kreatifitas sangat kurang, bahkan mungkin tak ada—saya bisa merujuk pada diri saya sendiri terkait persoalan ini.
Pemanfaatan SDA juga bisa dikatakan kurang. Selain tambang di mana banyak Kuasa Pertambangan yang dikeluarkan sehingga membuat pengusaha local, bahkan asing seperti China dan Filiphina, bisa membuka pertambahan di Bolaang Mongondow, selebihnya kurang pemanfaatan. Keberadaan Dumoga sebagai lumbung beras hanya Sulawesi Utara yang tahu, begitu juga kawasan Pasi Timur dan Modayag yang penghasil utama hortikultura juga hanya regional Sulawesi Utara yang tahu. Pengembangan Labuang Uki sangat lamban padahal bisa sangat bermanfaat untuk lalulintas perdagangan terutama hasil pertanian. Dan banyak lagi potensi sumber daya alam lain yang kurang dimanfaatkan.
Namun percepatan pembangunan dengan mendekatkan pelayanan pada masyarakat dengan jalan pemekaran Bolaang Mongondow harus kita akui sebagai hasil beliau yang gemilang. Ini prestasi yang tak berwujud pisik. Saya harus mengakui bahwa memandirikan tiga Kabupaten dan satu Kota dalam waktu yang tidak terlalu lama bukanlah pekerjaan yang gampang. Di sisi ini saya mewajibkan diri untuk mengangkat jempol pada beliau. Dalam hal loby memang beliau cukup punya charisma. Beberapa orang bilang bahwa di Depdagri dan DPR RI, tak ada Bolaang Mongondow kalau tidak karena Marlina Moha Siahaan. Mungkin kata-kata ini terlalu berlebihan namun saya harus mengakui kenyataan bahwa berkat beliau di sisi ini Bolaang Mongondow mendapat kemajuan.
Penutup
Harus saya akui masih banyak sisi minus maupun plus saat beliau memerintah yang bisa diungkap namun saya tak tahu. Juga harus saya akui bahwa ada kontroversi beliau yang sengaja tidak saya bahas yaitu persoalan korupsi. Saya sengaja tak membahas hal ini karena saya tak melihat hasilnya. Dalam persoalan korupsi ini, belum ada kasus di mana beliau menjadi tersangka ataupun ada putusan yang menyatakan bahwa beliau bersih. Yang diurai media baru berkisar laporan tentang penyalahgunaan dana oleh beliau yang sampai sekarang saya belum mendengar atau melihat sendiri bahwa laporan ini ditindaklanjuti. Juga belum ada pernyataan yang terkait dengan laporan ini bahwa beliau bersih.
Saya menyerahkan sepenuhnya pada pembaca dalam menilai tulisan ini. Saya juga tak bisa memutuskan apakah lebih berat sisi plus atau minusnya saat beliau memerintah. Saya bahkan menilai bahwa plus dan minus masing-masing berdiri sendiri, keduanya tak bisa ditempatkan ditimbangan untuk melihat mana yang lebih berat. Bagaimanapun beliau adalah manusia, seorang tokoh politik, yang tak luput dari salah dan benar—yang mungkin saja dipandangan politik semuanya benar.
Ada pendapat yang membela penilaian negative tentang beliau. Terutama beberapa sisi pembangunan yang dipandang tidak menampakan hasil. Menurut pendapat ini, beberapa sisi pembangunan tidak menampakan hasil yang nyata karena wilayah Bolaang Mongondow saat pemerintahan MMS demikian luas, juga penduduknya banyak.
Kalau kita membenarkan pendapat ini, berarti tantangan berat berada di depan mata siapapun yang menggantikan beliau. Dengan dimandirikannya 4 wilayah sehingga Bolaang Mongondow Bersatu sekarang mempunyai 4 Kabupaten dan 1 Kota, secara kewilayahan Bolaang Mongondow tak terlalu luas lagi, juga penduduk sudah tidak banyak, sehingga Bupati baru akan lebih punya peluang untuk melakukan apa yang belum MMS lakukan.
Akhirnya, pandangan ini hanyalah pandangan pribadi, silahkan dikritisi. (Anuar Syukur)

Artikel Terkait:

3 komentar:

  1. Anda terlalu menyanjung MMS padahal ndak ada bukti bahwa dia sudah melakukan pembangunan. Andai mau menjual diri rupanya? So ndak guna kasiang, so ndak lama kua' dia p masa jabatan

    BalasHapus
  2. Tulisan ini telah mendiskreditkan Bunda padahal penulis tidak tahu siapa Bunda.

    BalasHapus
  3. yang jelas masa jabatanya sudah berakhir kita perlu bertrima kasih kepada beliu namun dilain pihak selama 2 periode masih sangat banyak PR tidak bisa dikerjakan

    BalasHapus

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB