Jumat, 03 September 2010

Djelantik Mokodompit Dalam Duniaku


Sejujur saya tak begitu mengenal beliau secara pribadi, bahkan tak pernah berinteraksi dengan beliau. Perjalanannya hanya saya baca di media, baik media cetak maupun internet. Banyak pandangan tentang beliau, baik yang pro maupun yang kontra (sesuatu yang biasa bagi politisi) namun saya tak ingin mempergunakan pandangan karena tulisan ini bukanlah reportase melainkan pandangan pribadi.
Perkenalan saya dengan beliau tergolong unik dan membekas bagi saya karena bermula dari profesi yang saya ingin tekuni saat ini, yaitu dunia penulisan.
Pada tahun 2005, karena dipaksa pulang oleh orang tua, saya pulang kampung. Saya datang tidak dengan tangan kosong melainkan membawa sesuatu yang saya pandang sebagai ole-ole bagi tanah kelahiran. Ole-ole ini berbentuk cerita yang setingannya menurutku (ini harus kuakui) Mongondow oriented namun menurut kawanku rasialis. Ole-ole itu novel yang berjudul “Perjuangan Keluarga Tertindas” terbitan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 2003. Aku sudah berencana akan memperkenalkan novel ini pada masyarakat, terutama para tokoh Bolaang Mongondow.
Cukup lama juga aku dan teman-teman di remaja masjid Motoboi Kecil mempersiapkan kegiatan ini, terutama terkait dengan dana. Dan Alhamdulillah enam bulan kemudian, kegiatan ini berhasil dilaksanakan. Cukup banyak yang hadir, termasuk beberapa tokoh seperti Drs H J A Damopolii, B Ginupit, Z A Lantong, Hamri Manoppo.
Saya agak kaget ketika seorang di belakangku menepuk punggungku dan berkata: “Ada Pak Djelantik, tolong disalami dulu.” Kami bersalaman. Sampai detik ini, itu kali pertama kami bersalaman.
Dalam sambutannya, beliau sempat mengeluhkan kurangnya tulisan yang terkait dengan Bolaang Mongondow atau ditulan oleh orang Bolaang Mongondow dipentas nasional sehingga berdampak pada kurang terbacanya Bolaang Mongondow secara nasional.
Sebagai orang politik, aku meyakini bukan menghadiri acaraku yang penting bagi beliau melainkan Pemilihan Bupati (Pilbup) Bolaang Mongondow sodekat. Namun saya setuju dengan sambutannya, referensi tentang Bolaang Mongondow di perpustakaan nasional memang sangat kurang. Sangat berbeda dengan daerah lain (tulisan tentang Sangihe Talaud pun ada yang ditemukan di toko-toko buku dan perpustakaan nasional). Kekurangan referensi ini membenarkan slogan Bolaang Mongondow untuk Bolaang Mongondow walau tentu di sisi yang menurut saya salah.
Waktu itu, saya berpikir bahwa beliaulah yang bisa menjadi jalan bagi dunia penulisan di tanah Totabuan. Karena itu saya memilih berpihak ke beliau saat Pilbup Bolaang Mongondow walau hanya jadi sporter. Ya, saya benar-benar sporter, hanya mengikuti ke mana rombongan kampanye pergi. Saat deklarasi Dewa di lapangan Motoboi Kecil, puisi saya yang berjudul “KEKESALAN SEORANG UYO’” memang sempat dibacakan oleh orang lain. Sebenarnya hanya sebuah puisi curhat yang telah lama aku buat karena miris melihat Bolaang Mongondow dari luar. Namun puisi yang dibacakan sebelum lagu “Uyo’” diperdengarkan untuk pertama kali ini sempat menimbulkan masalah pada saya karena banyak yang bilang aku yang membuat lagu itu. Suatu fitnah besar, batuk saja fals apalagi buat lagu J. Untunglah aku bukan orang yang popular, juga puisi itu dibacakan orang lain sehingga fitnah itu tenggelam dengan sendirinya.
Saat Pemilihan Walikota (Pilwako) Kotamobagu, saya berdiri pada sisi yang berlawanan dan walau berpikir bagaimana membantu Bogani melalui tulisan namun saya akui saya aktif secara politik. Kali ini bukan sekadar sporter tapi sudah ikut berpikir dan sesekali menendang agar bola bisa masuk dan kandidat yang saya bela bisa menang. Waktu itu, banyak yang menyayangkan perang antara Bogani vs Uyo’. Saya, dengan nama dan alamat yang jelas, mencoba memberanikan diri untuk meng-sms beliau agar bisa mendiskusikan dengan Bogani soal Kotamobagu. Memang buntu yang terbukti dari keduanya tetap bertarung. Yang saya salutkan, sms saya dibalas.
Tak lama setelah beliau memenangkan Pilwako, teman-teman mendesak saya untuk memperkenalkan tulisan-tulisan saya yang baru rampung. Dan sekali lagi, atas desakan kawan-kawan panitia, saya mengundang beliau untuk memberi kata sambutan dalam kegiatan tersebut. Namun beliau hanya diwakili Sekot Kotamobagu.
Wajar. Saya berdiri disisi yang berlawanan saat beliau membutuhkan bantuan secara politis, wajar jika sekarang beliau mengabaikan. Lagi pula, apa gunanya buku secara politis?
Dunia pun berputar, waktu berganti. Aku yang bermodal zero, mencoba mencetakan tulisan-tulisan saya di Jawa. Puyeng juga ternyata jadi bonek. Di tanah orang, saya harus menadahkan tangan pada teman-teman namun itu ternyata belum juga cukup.
Suatu hari, saat sedang istirahat karena cukup banyak teman yang saya kunjungi untung silaturahmi sekaligus minta belas kasih, hpku berdering dan tertera nomor tanpa nama. Karena berharap kemunculan dewa penolong, hp kuangkat, mungkin dari teman yang telah sukses dan ingin membantu.
Ternyata bukan dari teman tapi memang dewa penolong. Setelah memperkenalkan diri, aku tahu bahwa itu dari asisten II Pemkot Kotamobagu.
“Ngana pe proposal so lama disetujui tapi ngana nyanda’ datang ambe. Datang ambejo,” kata beliau setelah memperkenalkan nama.
Saya terdiam sesaat. Saya baru ingat bahwa saya ternyata mengajukan proposal percetakan novel ke Pemkot Kotamobagu namun karena tak begitu berharap, saya tinggalkan begitu saja.
“Nimbole di wakilkan, Pak?” tanyaku kemudian.
“Nimbole! inta kon onda iko?” tanya beliau dalam bahasa Mongondow.
“Kon Malang!” jawabku.
“Pobui don, bo angoi gama’, Insya Allah mokotulung bi’ koninimu,” saran beliau
Saya belum langsung pulang karena selain aku tak tahu pasti itu benar Asisten II, jangan-jangan hanya kawan yang iseng saja. Persoalan lainnya, apakah besarnya bantuan bisa memecahkan persoalan atau justru memunculkan persoalan baru. Untuk pulang secepat itu, kantongku menjerit padahal tiket promo agak sulit—jangan-jangan kepulanganku malah menambah hutang.
Dari seorang teman yang memang dekat dengan Pemkot, aku dapat kepastian bahwa aku bisa terbantu kalau pulang. Aku dan teman ini memang berseberangan saat Pilwako, namun kami berdua tetap menjaga tali pertemanan.
“Pak Wali sandiri yang batanya apa bantuan for ngana so ambe,” katanya pasti.
Wah, hebat juga. Namun terlalu hebat diriku kalau Pak Wali sampai nanya begitu. Yang jelas dan pasti, bantuan untukku sepengetahuan beliau. Dengan jaminan dari teman ini, akupun pulang.
Ternyata benar. Bantuan dari Pemkot memang tidak langsung menyelesaikan persoalan, tapi sangat mengurangi beban. Berkat bantuan ini saya tinggal mencari tambahan sedikit dan semua hasil cetakan telah sampai di tempat tinggalku. Berkat bantuan Pemkot, hasil cetakan ini tinggal menunggu persetujuan Kadis Diknas untuk dapat masuk ke sekolah-sekolah se Bolaang Mongondow Bersatu.
Dari perjalanan ini, kucoba goreskan harapan pada Djelantik Mokodompit. Dengan berbagai kesibukan, beliau mungkin bisa melupakan seseorang dan memang pantas karena saya memang tak kenal dekat dengan beliau. Namun dari sisi profesi, ternyata beliau tak menutup mata dunia saya. Bantuan beliau sebenarnya bukan pada saya, bukan pada seorang Anuar Syukur, melainkan pada dunia penulis yang oleh banyak orang dipandang tak punya nilai politis. Dan ini pantas diapresiasi positif. (Anuar Syukur)

Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. Wah, ngambil hita ni, Pak? Setahu saya ente kan diposisis sebrang?

    BalasHapus

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB