Sabtu, 28 Agustus 2010

LEBARAN SUSAH



Sebuah Kenangan tentang Papa

Dulu, ketika saya masih berumur 11 tahun, orang tua lelaki saya yang biasa saya panggil “Papa” yang guru agama di sekolah dasar membeli sepeda motor secara kredit. Waktu itu gaji guru masih sangat kecil, proyek swakelola dan proyek lainnya yang memungkinkan penghasilan tambahan halal di luar gaji belum ada. Walhasil, gaji kecil itu terpotong tandas di kredit motor. Kebutuhan kami sehari-hari sepenuhnya tergantung pada hasil kebun. Papa yang sebenarnya tak ingin jadi PNS namun dipaksa kakaknya sempat bergurau bahwa dari segi pendapatan sesungguhnya profesinya yang sebenarnya adalah petani, guru hanya sampingan.

Walau bergurau begitu, bukan berarti Papa melalaikan kewajibannya pada Negara. Beliau tak pernah bolos walau tetap berkebun. Beliau selalu ke kebun setelah pulang sekolah, bahkan tak jarang beliau tidur di kebun agar bisa olahraga seperti menyangkul atau memaras sebelum ke sekolah.
Kisah Umar Bakri seperti yang dilantunkan Iwan Fals benar-benar kami rasakan saat itu. Saat ini, kisa semacam ini mungkin ada pada mereka yang honorer.
Saat puasapun, pemenuhan kebutuhan kami tergantung pada kebun. Untuk kebutuahan puasa sih sebenarnya tidak susah-susah amat. Beras ada walau beras jatah dari Dolog, sayur dikebun melimpah, ayam cukup banyak karena penyakit belum ayam seperti sekarang sehingga tanpa dimacam-macamin ayam tetap berkembang biak. Namun bicara lebaran, lain lagi.
Ko’ dan Ci’, demikian kami memanggil saudara kita bermata kelinci yang biasanya punya toko—termasuk toko busana, tak mungkin mau menukar sayur dengan baju. Begitu juga yang punya toko kue. Sayur dan ayam masih murah karena hampir semua penuduk punya. Kopi sudah dipetik untuk membiayai sekolah saya dan adik saya. Jagung baru berbunga. Cengkeh belum berbuah. Satu-satunya yang bisa kami andalkan hanya kelapa. Maka mendekati lebaran, sekitar H-5 mulailah kami mengerjakan kelapa yang tak seberapa jumlahnya.
Kamipun tinggal di kebun, termasuk adikku yang masih kelas 1 SD. Menurut Papa, inilah enaknya jadi guru, ada liburnya.
Karena tak punya pedati, kami mengangkuti buah kelapa yang dipetik oleh pemetik kelapa sesuai kemampuan masing-masing. Setelah buah kelapa terkumpul di tempat pengasapan yang di daerah saya disebut “totaboyan”, kamipun membagi tugas. Papa mengupas kelapa, Mama membelanya, adikku main, dan aku menyusun belahan kelapa di totaboyan. Agar cepat masak dan masaknya merata , belahan kelapa harus disusun sedimikian rupa dan disitulah keahlian saya.
H-3, daging kelapa sudah dipisah semua dari tempurungnya. Kami menyebutnya monisi. Karena perhitungannya tinggal sehari kelapa menjadi kopra maka Papa memberanikan diri berutang dulu ke toko langganan kami menjual kopra. Dengan hutangan itu aku dan adikku mendapat baju baru masing-masing dua pasang, juga ibu membeli bahan-bahan kue. Berikutnya, tinggal Papa yang mengerjakan kelapa sampai menjadi kopra karena ibu sudah sibuk membuat kue dan aku serta adikku sibuk bersosialisasi dengan teman-teman sepermainan.
Setelah daging kelapa menjadi kopra semua, Papa pulang kampung untuk memberitahukan ke toko langganan bahwa besoknya kopra sudah bisa diambil.
Besoknya, aku dan Papa berangkat ke kebun pagi sekali karena kami harus mengangkut kopra ke jalan. Maklumlah, kebun agak jauh dari jalan. Untuk mengangkut ini, Papa sudah memberitahukan pada orang yang punya pedati.
Kami sungguh gembira. Walau kami tak punya tabungan untuk hari esok, minimal tak ada hutang. Juga kebutuhan lebaran sudah terpenuhi, tentu yang terutama baju baru untukku dan adikku serta kue lebaran.
Namun…
Kami terpanah. Tempat pengasapan sudah tak ada. Setengah berlari, aku dan Papa melihat apa yang terjadi. Asap kecil masih membumbung dari sisa kayu yang terbakar. Di sudut bekas totaboyan masih tersisa karung dan sedikit kopra yang belum terbakar.
Papa punya kebiasaan tak memadamkan api ketika tinggal bara kecil yang tertinggal karena menurut beliau api itu akan mati sendiri. Tapi rupanya kali ini lain. Bara itu menjalar di tempat pengasapan yang terbuat dari bambu dan kayu yang akhirnya menghanguskan semua, termasuk kopra yang ditinggalkan di sana.
Aku terpukul. Kami benar-benar capek saat mengolah kelapa menjadi kopra. Mana lagi, setahuku kredit motor baru saja dimulai dan sekarang kami punya hutang. Aku bisa membayangkan sekolahku bakal tak ada biaya, aku bisa putus di tengah jalan. Dan tak terasa air mataku pun mengalir.
Papa tenang saja, beliau malah tersenyum ketika mengetahui aku menangis.
“Jangan menangis, nanti puasanya batal,” Papa masih sempat menggoda. Aku segera menyeka air mata dengan lengan baju. “Ini ujian pada kita, kita harus menjalaninya dengan ikhlas karena Insya Allah akan ada hikmahnya,” lanjut beliau.
Beliau mengajak saya duduk sebentar. Padaku, beliau mengajak mensyukuri apa yang sudah kami dapatkan, juga apa yang menghilang dari kami.
“Bukan hanya karena pam kita Syukur sehingga kita harus bersyukur. Tapi kita harus sadar bahwa yang Tuhan berikan pada kita melebihi dari apa yang Dia berikan pada yang lain. Lihatlah, walau masih hutang tapi kita punya motor, punya rumah sendiri, Papa masih guru. Kamu dan adikmu masing-masing punya dua baju yang sudah kamu banggakan ke sana-kemari, juga Mamamu sedang membuat kue untuk lebaran nanti. Coba kamu bandingkan dengan yang lain,” petuah Papa.
Aku yang masih kecil kurang paham dengan kata-kata itu tapi aku diam saja.
“Lagi pula, kalau kita membuat kopra memang seperti ini resikonya. Kalau tak mau menanggung resiko begini, lebih baik tak usah membuat kopra. Lihat saja mereka yang tak punya kelapa, mereka tak membuat kopra sehingga totaboyannya tak mungkin terbakar karena memang mereka tak punya,” lanjut Papa.
Kali ini aku agak mengerti walau samara.
Setelah kami puas melihat tempat pengasapan yang terbakar, kamipun pulang. Papa ingin segera menginformasikan hal itu pada toko langganan kami sehingga mereka tak perlu repot-repot menjemput kopra kami yang memang sudah terbakar.
Ternyata hari itu kami masih terus diuji. Di tengah jalan, tiba-tiba ban kempis. Rupanya ban bocornya terlalu besar sehingga tak mungkin lagi untuk dipompa. Papa pun menuntun motor yang berat karena ban kempis itu. Sesekali, ketika beliau capek, aku disuruh memompa ban agar tak terlalu menarik perhatian orang.
Tempat tambal ban masih jauh. Peluh sudah membasahi badan kami. Kerongkongan mendadak kering.
“Kenapa Pak Guru?”
Aku yang sedang pura-pura memompa ban bocor itu kaget. Rupanya truk yang akan menjemput kopra kami, sopirnya kebetulan mengenal Papa. Motor pun dinaikan ke truk, aku dan Papa ikut. Alhamdulillah!
Di toko langganan…
“O, tidak apa-apa, Pak Guru. Itu kecelakaan. Toh tak terbakar dengan pohon kelapanya dan pasti pohon kelapanya masih akan berbuah,” kata Ko’ yang punya toko langganan.
***
Kenangan itu sudah 24 tahun berlalu namun seolah baru kemarin kejadiannya. Terlebih ketika aku mendapatkan kebenaran dari yang Papa katakan pada setiap perjalanan yang kulakukan.
Dalam diam, kisah ini selalu kuceritakan lagi pada Papa setiap lebaran. Setelah aku selesai membaca ayat-ayat, kubersimpuh dikepalanya dan menceritakan kembali kisah itu dengan air mata berlinang.
Papa tak bicara apa-apa, dalam ketenangan kuburnya dia memang diam. Namun sesungguhnya kisah itu bicara banyak tentang persoalan.
***
Motoboi Kecil, malam ke 19 Ramadhan, 29 Agustus 2010
Email: anuar.syukur2@gmail.com, Hp: 081252622425

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB