Selasa, 13 Juli 2010

Laporan Perjalanan ke Tutuyan*




MENITI JALAN EMAS

Semalam mata belum terpejam. Setelah memposting tulisan di blog saya (anuarsyukur.blogspot.com), mata yang belum mengantuk dan pikiran yang terus berkelana membuat saya betah didepan computer. Selanjutnya, nonton final bola Spanyol-Belanda. Ngantuk berat tapi saya sudah berjanji pada Sekda Boltim, Rudi Mokoginta MTP untuk ke ibu kota Boltim, Tutuyan. Walau menurut orang tua, keluarga besar saya ada juga di kecamatan Kotabunan—sebutan untuk wilayah ini saat masih satu dengan Bolaang Mongondow—namun aku belum pernah ke sana. Juga, saya penasaran dengan daerah yang baru dimekarkan dua tahun lalu ini. Maka aku mengharuskan diriku untuk jalan.
Saya orang Kota tapi saya merasa itu hanya sebutan karena sejujurnya tingkah laku dan pola pikir saya masih khas kampung. Namun selepas Modayag, saya sadar bahwa saya orang Kota. Jalan menanjak yang sangat curam menampakan kolam dari air pegunungan, tanaman palawija, kopi dan hutan—ini wilayah perkebunan. Setelah waktu yang lama karena motor butut saya terbatuk-batuk, barulah saya masuk kampung Tobongon. Saya berusaha melihat kiri-kanan bekas pertambangan rakyat yang sudah ada sejak zaman Belanda namun saya tak melihat. Saya penasaran tapi harus saya simpan karena kali ini yang penting adalah sampai segera di Tutuyan.
Setelah kampung Tobongon, saya kembali masuk hutan, dengan jalan yang menanjak dan menurun yang cukup curam, kali ini ditambah jurang disebelah kanan. Posneling motor butut saya hanya bergerak di 2 dan 1, baik saat menanjak maupun menurun karena jalan berkelok seperti ular membuat saya harus berhati-hati sekali.
Walau motor bututku ngos-ngosan namun jalan cukup bagus. Tapi, selepas Badaro aku dikejutkan dengan jalan rusak. Untung tak ada tanjakan yang curam. Jalan kembali bagus ketika memasuki Lanut. Aku bisa santai memandangi kampung yang dikenal sebagai gudang emas Bolaang Mongondow ini. Mata saya menangkap bagian belakang kampung yang tanahnya digali, mungkin bagian dari tambang rakyat atau bekasnya. Saya juga melihat pembangunan masjid tanpa membongkar masjid lama—suatu penghargaan terhadap sejarah.
Di penghujung Lanut, dipertigaan jalan yang salah satu simpangannya ke arah perusahaan tambang internasional PT Avocet, saya disapa lagi dengan jalan yang rusak parah. Menurut cerita orang-orang, jalan rusak ini sangat panjang sehingga saya memilih mengistirahatkan diri dan motor butut saya di sini.
Jalan yang rusak parah ini sering diributkan oleh masyarakat namun belum kunjung diperbaiki. Ada yang mengatakan perbaikan jalan nyaris tak mungkin karena jalan ini sering dilalui alat berat milik PT Avocet sehingga diperbaikipun akan tetap rusak. Juga, perbaikan jalan menjadi pimpong dari pemerintah dan PT Avocet sejak Boltim belum mandiri. Pemerintah bilang PT Avocet yang harus memperbaiki, begitu juga PT Avocet bilang bahwa itu tanggung jawab pemerintah. Sampai detik ini, belum ada yang kalah dalam pimpong ini sehingga rakyat dan pengguna jalan yang menderita.
Ngantuk kembali menerpa yang membuat saya menghilangkannya dengan melanjutkan perjalanan. Ternyata benar, jalan yang rusak cukup panjang—saya tahu kemudian jalan yang rusak ini mulai dari Lanut sampai pertigaan Jiko-Nuangan-Tutuyan.
Di kampung Bai’, aku dibuat kagum dengan hamparan pohon cengkeh. Luar biasa. Sepanjang mata memandang, di kiri dan kanan, hanya pohon cengkeh yang terlihat. Sebenarnya deretan pohon cengkeh sudah kulihat mulai dari Badaro, namun di sini jumlahnya lebih. Pengaruh hujan sangat nampak pada tidak seragamnya buah cengkeh sehingga ada yang belum memanen walau sudah ada yang buahnya memerah—mungkin mereka menunggu sampai bisa dipanen semua. Yang sudah mulai panen, menjemurnya dihalaman rumah.
Emas cokelat, begitu orang luar menyebutnya ketika booming cengkeh di tahun 1980-an. Emas ini sempat menjadi lumpur tak berharga ketika BPPC (Badan Penyanggah Pembelian Cengkeh) berkuasa. Banyak yang menebangnya dan mengganti dengan tanaman lain, namun nampaknya tidak di Bai’ ini. Terlebih saat ini harga cengkeh mulai membaik kembali. Kemakmuran para petani cengkeh akan terlihat dari gubug yang berada di tengah kebun yang rata-rata dindingnya dari kayu dan atau dari seng. Namun aku miris ketika memandangi kampung Bai’. Kebanyakan rumah warga sama dengan gubug di tengah kebun itu, perbedaannya mungkin hanya dari segi pemeliharaannya di mana rumah yang di kampung lebih terawat. Mengapa ini terjadi? Kulihat Bai’ seperti kehausan padahal dia mandi ditengah danau jernih yang melegakan.
Jalan panjang yang rusak itu akhirnya usai juga. Di pertigaan, kami belok kiri untuk ke Tutuyan karena jalan lurus ke Jiko dan kanan ke Nuangan. Aku pun bertemu dengan kampung yang sering aku baca dalam tulisan yang terkait dengan budaya, yang terkait dengan cerita tentang Tadohe dan Inde’ Dow, mulai dari Motongkad, Togid, Tutuyan. Aku seperti menapaktilasi perjalanan itu. Danau Togid yang tenang kulihat dari jalan membuatku terbayang pada ketenangan seorang Bogani wanita dalam membijaksanai kehidupan rakyatnya. Di Tutuyan aku menemukan masyarakat yang sangat Mongondow.
Ketika menuliskan laporan perjalanan ini, aku seperti telah meniti jalan emas. Bagi pemburu emas, jalan ini biasa disebut “rep” yang tinggal diambil dan diolah. Alam yang indah, cengkeh, budaya, sejarah, semua itu merupakan sumberdaya yang dapat dikelola untuk mensejahterakan daerah. Dan yang saya lihat hanya dari pandangan sepintas disepanjang jalan yang saya lalui. Saya meyakini masih banyak sumberdaya lain ataupun sama tapi tak terletak di jalan utama ke Tutuyan.
Program Bupati Bolaang Mongondow Timur, Kandoli Mokodongan SH, untuk memperbaiki serta membuka jalan baru sangat baik. Program ini akan menarik siapapun untuk ke Boltim, juga akan menjadi jalan emas baru di wilayah Boltim. (Anuar Syukur)
***
* Laporan ini untuk tabloid Suara Totabuan
- Foto masjid di Lanut, masjid lama dan baru berdampingan

Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. menarik sekali lukisan anda tentang Boltim
    yang tahun 2010 sempat duakali saya juga kesana
    ibarat mutiara Boltim belum digosok oleh ahlinya
    tapi menyimpan potensi luar biasa
    disamping yang anda tuliskan masih ada harta berharga lainnya
    sebuah pulau depan Kotabunan
    jika pulau ini di desain jadi obyek wisata
    apalah artinya lakban yang hanya sebuah teluk didepan ratatotok
    Boltim memiliki luas 897,98km2 dengan penduduk 68.315 memiliki kekayaan SDA luar biasa yang jika dikelola secara baik akan bisa mengangkat derajat hidup rakyatnya,namun sayang terlalu banyak keluhan terdengar dari sana..........terutama infra struktur sbgmn anda tulis itu sdh keluhan klasik.........Boltim masih perawan,aneka kekayaan dimiliki mulai dari emas,hutan hujan tropis,danau,pantai pasir putih,pulau,teluk yang damai,kekayaan fauna flora,tanaman padi,kelapa,cengkeh,pasir besi,lautan teluk tomini yg menyimpan aneka ikan pelagis dan demersal,semua menjanjikan dan menyanyikan lagu merdu kesejahteraan buat rakyatnya..........tapi entah mengapa burung enggang bersuara parau itu sudah tak terdengar?Semoga sang khalifah baru Boltim mampu menjaga amanah yg diembannya dan menahkodai Boltim ke visi impian..........

    BalasHapus

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB