Minggu, 11 Juli 2010

DATU BINANGKANG 3




3
Dinui’
Hari itu, Tudu in Bakid terlihat seperti biasa. Tak ada yang istimewa dengan tampilannya. Dia masih tetap dengan kesederhanaannya. Pohon-pohon tinggi menjulang yang mengelilinginya meliuk-liuk lembut mengiringi kehendak angina yang seperti diperintahkan untuk sekadar mendesah oleh Maha Kuasa. Langit cerah, awan putih yang bertebaran diangkta telah memberi tempat persembunyian bagi sang surya. Hawa disekitar Tudu in Bakid demikian sejuk.
Padahal hari itu dia akan kembali menjadi saksi peristiwa besar di alam ke-Punu’-an Bolaang dan Mongondow. Kesederhanaan memang telah menjadi bagian dari alam ke-punu’-an. Walau telah berkenalan dengan orang pucat berambut api serta orang-orang bermata kecil yang memperkenalkan beragam barang namun tak ada yang diambil dalam upacara diperistiwa besar semacam itu selain kain sikayu yang telah menjadi baju pengganti kulit kayu.
Tak jauh dari Tudu in Bakid, kesibukan luar biasa terjadi di Komalig. Kesibukan itu telah masuk hari ketujuh. Tolibag, totampit dondong, silat, dan lainnya ramai dimainkan dari pagi sampai pagi lagi. Masyarakat, terlebih pemuda dan gadis, tumpah dihalaman Komalig.
Dari atas Komalig, para pembesar dari berbagai tempat datang. Penguasa di wilayah ke-Punu’-an, para Ukung dan Bogani nampak hadir dengan pakaian kebesaran. Juga penguasa dari negeri sahabat seperti Siau, Hulantalo, Gowa, Ternate, dan lainnya. Bahkan ada perwakilan dari orang pucat berambut api yang datang dengan pakaian aneh mereka. Para Bogani dan Ukung sadar bahwa kehadiran orang pucat berambut api ini untuk mengamati apa ada peluang bagi mereka untuk menguasai ke-Punu’-an. Namun Punu’ Tadohe menitahkan agar dibiarkan saja, bahkan ini peluang bagi ke-Punu’-an untuk memperlihatkan bahwa mereka bersatu padu sehingga musuh gentar. Walau demikian, para Bogani dan Ukung tetap menyiapkan diri untuk berperang jika memang itu yang orang pucat berambut api itu inginkan.
Tadohe sesekali menampakan diri diatas Komalig yang disambut teriakan membahana dari rakyat. Dia tampil dalam pakaian yang berbeda-beda. Sekali dia tampil dengan pakaian seorang Punu’ yang menggenggam tongkat bersaput emas, sekali dia dengan pakaian perang dan mengacungkan parang mengkilap, sekali dia tampil dengan pakaian pengembara yang sangat sederhana lengkap dengan tongkat kayunya. Semua itu menampakan sosoknya saat itu. Bahwa saat itu dia masih pemimpin tertinggi ke-Punu’-an yang siap berperang dengan siapapun yang mengganggu wilayah ke-Punu’-an namun tak lama lagi dia akan menjadi pengembara untuk mencari hidup yang lebih bermakna sambil menunggu takdir dari Ompu Duata setelah mengalihkan tongkat kepemimpinannya. Sebelum Ompu Duata memisahkan nyawa dari raga, dia akan tetap membantu ke-Punu’-an tapi tidak akan berstatus dalam terlebih wayang. Dia akan menjadi penolong yang tak dikenal seperti Inde’ Dow. Tadohe sudah berpikir akan mencari di mana ibu angkatnya itu berada dan dia akan bersatu lagi dengan Inde’ Dow, Bantong serta Oyotang tapi berstatus sama. Di dalam angannya dia sudah membayangkan mereka berempat akan menjadi pahlawan tak dikenal bagi ke-Punu’-an.
Selama keramaian yang sudah memasuki hari ketujuh itu, Loloda belum pernah tampil dihadapan rakyat serta para penguasa dari bermacam Negara. Dia sedang dipingit di dalam ruangan, menjalankan beragam ritual. Setelah mengarungi pelatihan sampai mendampingi ayahnya menjalankan pemerintahan di ke-Punu’-an, para Bogani pun menilai dan sepakat memilihnya untuk menggantikan Tadohe menjadi Punu’ Bolaang Mongondow yang menguasai Bolaang dan Mongondow sampai Manarow.
Sekarang waktunya Loloda dilantik. Ayahnya menjemput ke dalam ruangan tempatnya menjalankan ritual. Loloda kaget melihat sang ayah, Punu’ Tadohe, berkuasa penuh didalam wilayah ke-Punu’-an, yang wilayahnya terbentang sepanjang keberadaan bantong[1], dimuliakan kawan dan disegani lawan—bahkan orang pucat berkepala api, namun sekarang dia hanya memakai pakaian pengembara yang lengkap dengan tongkat kayunya. Alangkah kecilnya semua itu bagi seorang yang sadar bahwa semua kemuliaan dunia pasti akan ditinggalkan.
Bagi Loloda, pakaian itu juga pertanda dia akan ditinggalkan. Sudah bertahun-tahun perpisahannya dengan Inde’ Dow beserta Bantong dan Oyotang, namun begitu ayahnya sendiri memakai pakaian begitu, rasanya perpisahan dengan orang tua bijak itu baru terjadi kemarin. Dan sekarang, ayahnya yang akan meninggalkannya.
Entah perubahan drastis ayahnya atau kenyataan dia akan ditinggalkan, yang jelas Loloda menangis.
“Kau boleh menitikan air mata, Abo’, tapi jangan terisak, apalagi meraung. Dan hanya di sini. Kasihan rakyat jika melihat. Musuh-musuhmu akan kegirangan kalau tahu kau menangis,” kata Tadohe, dia melangkah dan memeluk anaknya, matanya berkaca-kaca. “Inilah takdir dari Ompu Kitogi Mia wahai, Punu’. Yang kau dapatkan hanyalah mainan yang diberikan-Nya dan pasti akan diambilnya dan diberikan pada yang lainnya. Engkau harus sabar dan ikhlas menerima semua ini.”
Mereka berpelukan erat. Loloda belum bisa menerima kenyataan itu.
“Hapuslah air matamu, Punu’, dan keluarlah. Rakyatmu sudah menunggu. Jangan kau buat mereka berpikir bahwa kau lemah, begitu juga musuh-musuhmu. Kau harus tegak dihadapan mereka yang hadir hari ini. Engkau punya kewajiban terhadap tanah yang telah menghidupimu,” kata Tadohe.
Loloda pun melepaskan rangkulannya dan menyeka air matanya. Keduanya berdiam diri sejenak sampai air mata itu tak berbekas. Kemudian keduanya ke luar.
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
Sorak sorai rakyat dan undangan menyambut mereka, membela angkasa.
Dengan ditandu, Loloda diarak ke Tudu in Bakid, disampingnya Punu’ Tadohe berjalan dengan pakaian pengembara yang sederhana. Di barisan depan, para Bogani dan Waraney menarikan tari perang. Parang mereka sesekali terlihat gemerlapan tertimpa cahaya sang surya yang selalu berlindung dibalik awan.
***
Lelaki itu sudah sangat tua, sudah lebih seratus umurnya. Namun dialah monument dan masih hidup. Padanya dinisbatkan perjanjian yang dibuat 20 tahun lalu itu. Dialah Paloko sang mononikop[2]. Dialah yang mula-mula menyatakan ketundukan penuh pada Tadohe sebelum Tadohe menjadi Punu’. Dan atas namanya Tadohe menyatakan kewajibannya sebagai Punu’ untuk mensejahterakan rakyat. Itulah perjanjian Paloko-Kinalang, perjanjian antara rakyat dan penguasa yang menyatakan : tonoi aku’oi ba bibittonku mo’iko[3].
Karena dia monument dan masih hidup maka dialah yang diminta untuk mengucapkan ikrar rakyat dalam pelantikan penguasa mereka itu. Dan dia pun maju perlahan, tertatih, menyeret kaki. Tongkatnya perlahan berpindah dari bongkahan tanah satu ke bongkahan tanah berikutnya.
“Ya, Punu’, kami ini hanyalah tuangi lipu’[4], keberadaan kami sangat tergantung padamu, Duhai Punu’. Engkau Besar maka kami akan ternaungi, engkau kuat maka kami akan selamat. Karena itu wahai Punu’, katakanlah pada kami apa yang akan memperbesar dan memperkuat dirimu. Inilah diri kami, darah dan tulang kami yang telah dicipta oleh Ompu Kitogi Mia, inilah nyawa kami siap dipertaruhkan untuk memperbesar dan memperkuat dirimu.”
Keheningan yang syahdu melingkupi semua yang hadir. Suara serak Paloko menelusup ke kalbu.
“Duhai Punu’, Engkau memang bukanlah sesembahan karena hanya Ompu Duatalah pemilik kehidupan. Andai Ompu Duata Kitogi Mia belum memisahkan nyawa dari badan maka semua yang ada padaku ini adalah untuk membesarkan dan memperkuat dirimu. Sayang semua milik Ompu Duata, padanya kita semua berserah.”
Paloko terdiam, dia mengambil napas sejenak. Udara di Tudu in Bakid segar namun meniupkan kesedihan. Loloda menyadari sepenuhnya arti kata-kata Paloko. Ompu Duata memang telah menakdirkan orang-orang terbaik yang telah membesarkan dan memperkuat ayahnya kebanyakan telah meninggalkan keramaian untuk menyambut jemputan Ompu Duata yang akan membawa mereka ke alam lainnya.
“Tapi jangan cemas wahai Punu’, anak-cucu di wilayah ke-Punu’-an, orang Bolaang dan Mongondow, Tontemboan sampai Manarow, siap membesarkan dan memperkuat dirimu.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
Teriakan menggema bersahut-sahutan. Para Bogani dan Waraney mengacungkan parang ke udara, memberi tanda kepada siapapun yang akan macam-macam dengan Punu’ baru, mereka siap melawan.
“Duhai Punu’, harta bukanlah pertukaran yang mahal untuk kehormatanmu karena kehormatanmu melebihi harta kami. Pertukaran yang imbang hanyalah nyawa yang melekat diraga. Tapi itu pun masih lah kurang. Karena itu, walau hancur lebut alam ke-Punu’-an namun kehormatanmu harus kami utamakan.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
“Wehuhui.”
Teriakan menggema di atas Tudu in Bakid.

[1] Bantong : Anoa
[2] Mononikop : Orang yang mencari ikan disungai dengan mempergunakan tangan
[3] tonoi aku’oi ba bibittonku mo’iko: Bantu saya maka saya akan mensejahterakan kalian
[4] Tuangi Lipu’ : Rakyat jelata

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB