Senin, 04 Juni 2012

Penolakan Mendamaikan, Ganigir Tanpa Mendung 3


3. Penolakan yang Mendamaikan

Sarekat Islam itu wajib kita dukung. Bukan hanya karena dia menjadikan Islam sebagai ruh penggerak organisasi, tapi dia juga telah menggariskan sikap yang tak mau bekerjasama dengan bangsa kafir Bolanda yang telah mengangkangi dan menjadikan budak seluruh isi ke-Datu-an Mongondow ini. Lha kita ini sudah punya Datu, bahkan sejak zaman dulu kita sudah punya Punu, lah kok kita harus mendengarkan bangsa yang tak diketahui darimana asalnya itu. Tanah Mongondow ini tanah yang diberkati, para leluhur kita telah mendoakannya melalui itum-itum dan odi-odi. Kita akan berdosa pada leluhur jika kita hanya diam dan memang selama ini kita diam. Sekaranglah waktunya kita bangkit untuk mandiri dibawah naungan SI.
Pidato itu selalu Abah Ali tekankan pada setiap pengajian, bahkan pada setiap khutbah Jumat. Tawakal sendiri, sesungguhnya tak begitu paham apa yang disampaikan oleh Abah Ali. Namun dia tak bisa membenarkan pernyataan Abah Ali bahwa selama ini orang Mongondow hanya diam. Aki Bonok menceritakan padanya bahwa sejak zaman dahulu Punu' dan rakyat Mongondow telah melawan orang asing yang coba-coba mengangkangi tanah 'kinotubuan', bahkan orang asing yang mendirikan kerajaan Bobentehu di Manado telah Punu Damopolii usir. Sayangnya Belanda punya taktik memecah belah sehingga wilayah Mongondow tinggal kecil jadinya. Walau begitu baru masa paduka tuang Datu Cornelis Manoppo, Belanda mampu datang ke tanah Mongondow. Itupun sampai memindahkan ibu kota dari Bolaang ke Kotamobagu. Dan walau paduka tuang Datu Cornelis Manoppo tak seperti paduka tuang Ridel Manoppo yang berani menempeleng penagih pajak utusan Belanda sehingga terjatuh dari dari tangga komalig, namun paduka tuang Datu Cornelis Manoppo hanya mendiamkan rakyatnya yang berontak. Belanda memang selalu salah menilai takhta ke-Datu-an. Mereka Datu yang mereka angkat akan membela penuh kedudukan Belanda namun tak terjadi yang mereka harapkan. Lah, Jacobus Manoppo saja yang dididik Belanda dan dibantu agar bisa menggantikan Loloda Mokoagow tetap saja melawan, begitupun Datu-Datu setelahnya. Bahkan saat ibu kota sudah di Kotamobagu pun terus ada perlawanan terhadap Belanda, orang tua Tawakal yang pengikut Hatibi Dibo Mokoagow itu contohnya. Jadi ya tidak benar jika dikatakan pemimpin dan orang Mongondow hanya diam. Namun diakui juga, perlawanan itu sudah tidak begitu menggemparkan karena hanya dilakukan oleh golongan Paloko sementara kinalang hanya diam.
Pengertian 'kafir' dari perkataan Abah Ali sesungguhnya bukan hanya karena orang Belanda itu bukan beragama Islam melainkan karena orang Belanda itu telah menyimpang dari jalan kebenaran. Toh tidak ada jalan kebenaran yang membenarkan perbuatan semena-mena terhadap sesama manusia. Lah, Punu Tadohe saja tidak membenarkan kakaknya Dodi Mokoagow yang telah berbuat semena-mena terhadap Pingkan isteri Matindas, apalagi bangsa Belanda yang negerinya jauh dari tanah Mongondow ini. Punu Tadohe sungguh malu karena perbuatan kakaknya, dia tak hanya membiarkan begitu saja perbuatan Matindas yang dengan tipu daya telah berhasil membunuh Dodi Mokoagow, lebih dari itu dia bahkan menerapkan aturan yang keras bagi siapa yang berani mengganggu isteri orang atau si isteri justeru meminta diganggu. Aturan ini disebut 'monualing' atau 'mokitualing' yang merupakan bagian dari piagam Paloko-kinalang yang terkenal itu. Bagi yang melanggar aturan akan dibuang ke laut. Lah, Punu Tadohe saja yang merupakan penguasa tanah Mongondow toh masih berjalan di jalan kebenaran, kenapa Belanda yang negerinya jauh diseberang laut justru mau berbuat sewenang-wenang? Karena itu Belanda Abah Ali sebut bangsa kafir. Setahu Tawakal, Abah Ali sering bertemu dengan Ama' Jacob yang 'sarani' itu untuk merundingkan bagaimana baiknya tanah warisan dari para Bogani ini.
Tawakal juga membenarkan. Orang-orang Belanda itu memang harus dilawan. Pengentengan keberadaannya oleh tuang sinyo Belanda seperti yang diceritakan Aki Bonok telah menorehkan luka di hati Tawakal. Namun Tawakal tak bisa lagi membenarkan model perlawanan dari Hatibi Dibo dan pengikutnya, pun menurut hematnya tak boleh lagi perlawanan model paduka tuang Ridel Manoppo. Perlawanan model begitu sangat mudah diberantas oleh Belanda. Jika perlawanan hanya dilakukan oleh para pemimpin Paloko, pasti tak terhitung banyaknya korban. Pun jika perlawanan hanya dilakukan oleh para Kinalang maka bisa saja Belanda menghapus ke-Datu-an sehingga alam Mongondow akan kehilangan pengayom. Karena itu, sekarang sangatlah penting untuk menyatukan kekuatan Paloko dan Kinalang. Dan disinilah keberadaan Sarekat Islam diperhitungkan.
Karena berbagai faktor yang terkait dengan kondisi di tanah Mongondow, kehadiran Sarekat Islam seperti wadah ketemu tutup, sangatlah cocok dan saling menguatkan. Tanah Mongondow membutuhkan SI dan SI telah menemukan tanah yang benar-benar cocok sehingga diapun berkembang laksana jamur di musim penghujan. Terlebih abo Abraham Patra Mokoginta berdiri dan menyokong organisasi ini. Maka jadilah Sarekat Islam itu tak hanya organisasinya umat Islam tapi juga menjadi organisasi yang mempersatukan Paloko dan Kinalang.
Dukungan abo Abraham Patra Mokoginta memang sangatlah penting. Gerakan awal Sarekat Islam yang membuka lahan perkebunan kopi di Tanoyan dan kebun kelapa di Solog telah disokong dengan bibit oleh abo Abram yang waktu itu menjabat mantri cultur. Gerakan awal kaum Sarekat memang sangat sesuai dengan kedalaman ilmu abo Abram yang tamatan sekolah pertanian di Bogor. Maka langkah awal kaum Sarekat pun membawa hasil yang baik.
Warga Lipu' Dotamonag juga ikut membantu, bahkan murid-murid Abah Ali kecuali Goros yang sangat nampak ketidakpeduliannya padahal usianya diatas jauh dibandingkan murid lainnya--bisa dikatakan dia masih menjadi murid hanya untuk azan dan qomat saja karena dia tak ingin murid lain yang mengambil tugas itu. Tawakal juga ikut membantu, Aki Bonok tak dikata lagi bantuannya--Aki Bonok memang sudah benci setenga mati pada Belanda dai dia siap membantu siapapun yang mau melawan Belanda.
***
Setelah 3 tahun membangun perkebunan kopi dan kelapa, akhirnya Sarekat Islam mengambil langkah untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat melalui pendidikan. Menurut cerita Abah Ali, di tempat asalnya di Jawa, Sarekat Islam tak begitu memperhatikan pendidikan karena perjuangan melalui pendidikan sudah dilakukan oleh Muhammadiyah dan Taman Siswa. Dan tanah Mongondow diberkahi karena Sarekat Islam hendak mendirikan sekolah. Tawakal melaporkan kabar gembira tersebut pada Ba'ai Paya.
"Kalau Sarekat membuka sekolah, trus kau mau apa Wakal? Ingat lho, kau ini anak pengikut Hatibi Dibo namun kau pernah dipermalukan oleh sinyo Belanda hanya gara-gara Aki ingin kau sekolah. Jangan sampai kau dipermalukan lagi," kata Ba'ai Paya.
Tawakal tertunduk namun semangatnya kembali muncul ketika diingatkan soal perjuangan Aki Bonok. Tawakal tak sabar lagi menanti Aki Bonok untuk melaporkan kabar gembira tersebut. Dia yakin Aki Bonok akan gembira dan akan  mengusahakan agar Tawakal bisa sekolah, bukankan sebelumnya Aki Bonok telah mengusahakan sampai rela dipanggil ata oleh sinyo Belanda?
Kami masihlah sore namun Aki Bonok telah berada di rumah, ini tak seperti biasa.
"Saya ingin istirahat agak lama Paya. Kalau di kebun ada-ada saja pekerjaan yang harus aku lakukan. Kalau di sini, aku benar-benar bisa istirahat," kata Aki Bonok menjawab pertanyaan Ba'ai Paya soal kepulangannya.
Tawakal segera mendekat dan seperti biasa langsung memijat.
"Kau sudah besar, Udul. Pijatanmu sudah berasa sekali," kata Aki Bonok yang hanya disambut senyum oleh Tawakal.
"Lha, tingginya Tawakal sekarang sudah menyamaimu lho. Kamu tak sadar-sadar bahwa Tawakal cepat besarnya," sambut Ba'ai Paya.
"Lha iya, wajar. Tawakal kan anak pengikut Hatibi Dibo," ujar Aki Bonok bangga.
"Ngomong-ngomong soal pengikut Hatibi Dibo, rasanya Tawakal bisa kau daftarkan ke sekolah milik Sarekat, Bonok. Hatibi Dibo dan Sarekat kan sama-sama melawan Belanda."
Tawakal agak terkejut, dia baru berpikir cara menyampaikan pada Aki Bonok namun sudah didahului Ba'ai Paya. Aki Bonok pun nampaknya terkejut juga. Dia pun langsung terduduk.
"Benar itu Wakal?"
Tawakal mengangguk dan menceritakan apa yang disampaikan Abah Ali. Sarekat Islam telah membentuk Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam yang berpusat di Molinow. Guru-gurunya berasal dari Jawa seperti ....
"Ya sudah, sekarang juga kita berdua menghadap pada Abah Ali, memohon petunjuk siapa yang harus kita datangi di Molinow. Besok kita akan sholat jumat di masjid Molinow sekaligus menghadap tuang yang dikasih petunjuk dari Abah Ali..."
"Mandi dulu Bonok, badan masih bersimbah keringat begitu kok ya langsung menghadap ke Abah Ali. Mandi dan sholat sekalian di masjid," tukas Ba'ai Paya.
Walau sedikit menggerutu karena diperlakukan seperti anak kecil namun Aki Bonok melakukan juga apa yang diperintahkan padanya. Bersama Tawakal dia ke pancuran dan mandi sebersih-bersihnya.
"Sesungguhnya saya ingin memberitahukan pada Tawakal secara khusus, Aki Bonok. Saya melihat Tawakal sangat tepat untuk sekolah karena otaknya encer. Tapi saya tak tahu apa Tawakal memenuhi ketentuan..."
"Kalau biaya saya akan berusaha sebisa saya, Abah. Bahkan jika harus diri saya yang digadaikan ya tak masalah buat saya. Yang penting Tawal bisa sekolah," potong Aki Bonok dengan semangat menggebu-gebu.
"Lha, kalau diri Aki Bonok sudah digadaikan, lha trus bagaimana dengan pembiayaan sekolahnya Tawakal, bahkan bagaimana dengan kehidupan Aki sendiri. Orang yang sudah tergadai itu tak bisa berbuat apa-apa lagi lho. Dia akan menjadi ata," kata Abah Ali dengan bibir tersenyum yang membuat Aki Bonok tertunduk. "Masalahnya, persyaratan untuk diterima sekolah di BPPI tak hanya mempunyai kemampuan untuk membiayai sekolah tapi banyak syaratnlainnya. Dan agar lebih jelas, besok Aki Bonok datang saja ke Molinow. Sholatlah di sana, sebelumnya ketemu dulu dengan pihak BPPI. Saya rasa begitu saja," Abah Ali menjelaskan dengan pelan.
"Kalau kami bilang bahwa kami telah bertemu dengan Abah, kira-kira bagaimana?" Aki Bonok memohon petunjuk.
Abah Ali berpikir-pikir cukup lama. "Saya tak tahu apa gunanya menyebut nama saya. Tapi karena ini baik dan siapa tahu bermanfaat, ya silahkan saja. Saya tidak keberatan."
***
Hari masih sangat pagi, embun belum berencana pergi. Bangun sepagi itu dan bercengkerama dengan air sudah biasa bagi Tawakal karena dia selalu menyempatkan diri sholat subuh berjamaah di masjid. Namun tidak demikian bagi Aki Bonok. Tawakal hanya bisa memandangi Aki Bonok yang nampaknya masih sangat lelap. Tawakal mencoba membandingkan yang dia kerjakan, ya hanya bermain dan ke masjid atau membantu pekerjaan remeh yang disuruh Ba'ai Paya. Sementara Aki Bonok, Tawakal bisa membayangkan Aki Bonok yang berjalan kaki dari Lopa' Kobiagan sampai ke Lipu' Dotamonag sambil memikul obito yang demikian berat, bukan pekerjaan mudah. Karena itu, Tawakal membiarkan Aki Bonok terus tidur. Di masjid dia hanya sholat kemudian minta izin untuk segera pulang. Sesampainya di rumah, dengan hati terpaksa, Aki Bonok dia bangunkan.
"Lha, sudah sholat subuh to, Wakal?" tanya Aki Bonok.
Tawakal tersenyum dan mengangguk.
"Kamu itu kok tak membangunkanku," sesal Aki Bonok. "Ya sudah, kita bersiap berangkat."
Aki Bonok sangat mempercayai apa yang disebut waktu berisi dan waktu kosong. Dan menjelang fajar dia pandang waktu berisi untuk berangkat saat itu, beruntung Tawakal ke masjid tidak dia larang. Aki Bonok sempat memikirkan untuk membawa sesuatu, dia berpikir akan memenuhi lagi obitonya seperti saat menghadap ke sinyo Belanda. Namun Tawakal mengingatkan lagi saran Abah Ali agar tidak membawa apapun.
Sesampainya di Molinow, hari masih pagi, mentari baru belum menampakan wujud aslinya tapi nampaknya Molinow sudah sibuk sepagi itu. Sangat berbeda dengan Lipu' Dotamonag yang pasti masih sepi. Tawakal mengikuti Aki Bonok yang seakan mengetahui tempat dan tujuan Aki Bonok memang tepat. Beberapa orang telah duduk mengitari meja, berbincang sambil minum kopi, makan panganan dan merokok. Mereka memakai topi berwarna hitam yang bukan topi haji, ternyata itu kopia.
Mereka tersenyum ketika dan membalas salam  Aki Bonok.
"Maaf mengganggu tuang..."
"Dia' bi' kona'a ki Tuang, Aki," kata seorang anak muda dengan Mongondow yang lancar. "Mereka ini para guru di BPPI, panggil Ustadz."
"Maaf tuang Ustadz..."
"De'eman bi' ki tuang Ustadz, tonga' bi' Ustadz. Ponikpa," kata anak muda itu.
Walau gugup namun ada keberanian dalam diri Tawakal dan Aki Bonok, terutama karena keakraban yang ditunjukan oleh orang-orang yang kebanyakan masih muda-muda itu. Aki Bonok dan Tawakal pun masuk.
Aki Bonok terkaget ketika orang muda itu mengulurkan tangan yang kemudian menjelaskan bahwa itu untuk bersalaman yang dalam bahasa Mongondow disebut modati. Ini sangat tak biasa bagi Aki Bonok, biasanya dia bersalaman hanya jika hari raya maupun saat membayar zakat atau ada ijab kabul untuk persoalan tertentu yang biasanya Abah Ali menyarankan agar berjabat tangan sebagai pertanda kedua bela pihak telah saling memahami apa yang diijabkan. Lagi pula tangannya yang kasar menurutnya tak layak dijabatkan pada tangan anak-anak muda itu yang selain halus juga mulia. Namun menurut anak muda yang kemudian diketahui bernama Anhar itu, salaman itu untuk lebih mengakrabkan kedua pihak. Yang lain juga ikut-ikutan menyalami Aki Bonok dan Tawakal, mereka menyebutkan nama yang aneh: Waluyo, Sumantri dan lainnya--karena aneh maka cepat terlupakan oleh Tawakal.
"Jangan duduk di lantai, Aki. Eh, siapa namamu?" tanya yang satunya.
"Tawakal, Tu...eh, maksudku Ustadz," sahut Tawakal agak gugup, dia dan Aki Bonok masih tetap berdiri walau dua orang yang duduk tadi telah berpindah ke tempat duduk lainnya.
"Duduklah di kursi itu," kata Anhar yang nampaknya jadi jurubicara kelompok guru itu karena dia anak Mongondow. Ragu-ragu Aki Bonok dan Tawakal duduk, seumur-umur belum pernah mereka duduk di kursi. Di Dotamonag hanya rumah Sangadi yang berkursi namun bahkan Sangadi pun jarang duduk di kursi tapi lebih sering duduk di gopot.
"Nah, apa yang hendak kalian bicarakan?" tanya Anhar.
Aki Bonok pun menguraikan maksud kedatangannya, suasana yang nyaman dan akrab membuat Aki Bonok lancar bicara.
"Bagus dan tepat Aki serta Tawakal ke sini," kata Anhar yang kemudian terlibat dalam penjelasan panjang lebar tentang Sarekat Islam dan Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam yang akan segera dibuka. Aki dan Tawakal terpesona dengan penjelasan Anhar.
"Tapi begini lho Aki dan Tawakal. Kami membatasi penerimaan murid..."
"Saya akan berusaha membayar, Ustaz, bahkan jika harta habis sekalipun yang penting Tawakal sekolah," Aki Bonok memotong.
Anhar tersenyum mendapatkan bicaranya dipotong. Aki Bonok menunduk malu.
"Iya, Aki. Saya senang karena ada orang Mongondow yang pynya semangat seperti Aki. Tapi kami tak bisa juga melanggar peraturan, ya samalah dengan kita memandang dodandian Paloko-Kinalang yang juga seharusnya tak boleh dilanggar."
Aki Bonok dan Tawakal benar-benar terpikat sehingga apa pun keputusannya mereka bisa menerima. Dan memang Tawakal tak bisa diterima karena usianya sudah tua.
»»  LANJUTKAN???...

Minggu, 03 Juni 2012

Tertolak, Ganigir Tanpa Mendung 2


2. Tertolak

Bagi orang banyak, keberadaan Tawakal sebagai anak haram dari Aki Bonok jelas akan tertolak. Tawakal kecil itu ganteng, hidungnya mancung, kulitnya sawo cenderung ke putih, perawakannya bisa dipastikan akan tinggi--lha baru kecil saja begitu sudah tinggi bagaimana setelah dia besar nanti. Ini sangat kontras dengan Aki Bonok yang pendek, hitam serta berhidung sedang, terlebih tubuhnya yang sudah membongkok karena terlalu sering menyandang obito telah membuat Aki Bonok benar-benar seperti manusia kalangan bawa di masyarakat Mongondow waktu itu. Tak ada satupun ciri yang ada pada Aki Bonok yang menurun pada Tawakal, andai benar dengungan beberapa orang bahwa Tawakal itu anak dari Aki Bonok. Aki Bonok sesungguhnya sudah menolak Tawakal anak kandungnya, tapi ya namanya saja dengungan ya tetap saja muncul. Namun dengungan itu menghilang begitu saja seiring kenyataan yang ada.
Ada dengungan lain yang mengatakan Tawakal itu sesungguhnya anak hasil Turney yang dibuang orang tuanya karena malu. Soalnya kulit dan wajahnya memang seperti pejabat pada umumnya. Namun ini terbantahkan mengingat tak akan ada yang membuang anak pejabat meskipun itu anak hasil turney, bahkan ada kebanggaan. Lihat saja Goros yang mengumumkan bahwa bapaknya itu Abo Langag walau dia hanya anak hasil turney. Maka inipun menghilang begitu saja, terlebih keluarga Goros keberatan dengan dengungan ini.
Maka yang bertahan hanyalah Tawakal anak pengikut Hatibi Dibo Mokoagow. Sesungguhnya pernyataan ini cukup memberatkan Tawakal. Menjadi anak pengikut Hatibi Dibo Mokoagow berarti anak pemberontak. Pintu untuk mengabdi di luar jadi petani langsung terkunci. Padahal Tawakal anak yang cerdas. Pengetahuan keagamaan yang diajarkan Abah Ali sangat cepat dia tangkap. Walau dia tak begitu menonjol karena memang tidak ditonjolkan. Goros yang sesungguhnya jauh lebih tua darinya dan sudah saatnya mengalihkan adzan dan qamat pada yang lebih muda tak pernah memberikan kesempatan itu, terlebih pada Tawakal yang dia pandang sebagai pesaing.
Namun nampaknya Aki Bonok punya tekad untuk membuat Tawakal menonjol, tak hanya di kampung Lipu' Dotamonag melainkan di Mongondow. Tawakal sempat mendengar pembicaraan antara Aki Bonok dan adiknya pada malam Jumat. Aki Bonok nampak tidak kelelahan walau isi obito yang dia bawa lebih banyak dari biasanya.
"Jadi Paya, kau simpanlah baik-baik yang aku bawa dari kebun itu. Cobalah bagaimana caranya agar tidak busuk sampai di hari ahad karena pagi-pagi akan saya bawa pada tuang Belanda," terdengar suara Aki Bonok.
"Lho, kalau mau dibawa ke Belanda, sebaiknya diantar saja sekarang, Bonok. Biar masih segar," sambut Paya.
"Tidak. Akan aku bawa hari ahad saja sebelum mereka ke gereja..."
"Kamu mau apa to, Bonok? Apa kamu mau dimandikan Belandaa? Apa kamu mau kafir?" potong Paya.
"Mulutmu itu, kalau bicara ya dipikir-pikir. Tak ada yang mau dimandikan Belanda," bentak Aki Bonok. Sesaat suasana sunyi. "Maksudku begini, Paya. Tawakal ini cerdas, pisiknyapun pantas. Ya anaknya pengikut Hatibi Dibo. Nah karena dia cerdas dan pantas maka saya hendak meminta tolong pada Belanda agar Tawakal bisa diterima di sekolah Belanda. Siapa tahu nanti dia bisa jadi pejabat walau tentu pejabat kecil saja dahulu."
Terdiam beberapa jenak, kemudian menggelegar tawa dari Ba'ai Paya. Suara tawa itu seperti tawa yang disimpan-simpan kemudian bobol, mirip bendungan bobol.
"Jangan marah Bonok, jangan tersinggung ya, hahahaha..."
Ba'ai Paya terus saja tertawa. "Kamu itu ... kamu itu ... kalau capek ya sana tidur, jangan ngomong ngelantur. Mimpi kok ya mata masih terbuka begitu, hahaha..."
"Ini susahnya kalian, kalian ini tak pernah punya mimpi," bentak Aki Bonok yang disambut tawa Ba'ai Paya.
Setelah itu, Tawakal mendengar dengkuran dari Aki Bonok. Ba'ai Paya walau terus menertawakan kakaknya namun tetap juga melaksanakan apa yang diperintahkan Aki Bonok padanya.
Besoknya, di masjid, diumumkan berita yang menggembirakan. Sarekat Islam yang baru saja menggelar kongres di Manado akan juga meluaskan organisasinya di Mongondow. Organisasi ini sangat cepat jadi bahan pembicaraan karena Abo' Abraham Patra Mokoginta mendukung penuh organisasi ini dengan mengangkat Adampe Dolot dari Molinow sebagai ketuanya. Jika ada kalender maka masyarakat Lipu' Dotamonag akan tahu bahwa pada saat itu tahun 1923 dan Tawakal telah berusia 6 tahun.
Tawakal sudah diberitahu oleh Abah Ali tentang Sarekat Islam ini. Awalnya Sarekat Islam hanya perkumpulan para pedagang di Jawa sehingga disebut Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam agar bisa merangkap seluruh kalangan. Dan karena sekarang Sarekat Islam perlu menegaskan sikap politiknya yang tak mau bekerjasama dengan Belanda maka ditambahkanlah kata "partai" sehingga menjadi Partai Sarekat Islam. Abah Ali menjelaskan itu dengan berapi-api dihadapan Tawakal.
"Engkau harus mendukung gerakan ini, Wakal. Toh orang tuamu telah menolak bekerjasama dengan Belanda," kata Abah Ali.
Tawakal hanya mengangguk namun baginya kehadiran gerakan Sarekat Islam tak begitu menarik. Sarekat Islam itu tidak dia ketahui seperti apa, Jawa itu di mana dan seperti apa orang-orangnya, Tawakal sungguh tak tahu. Dalam lingkup pergaulannya yang hanya di Lipu' Dotamonag, dia sungguh buta tentang hal itu. Terlebih dikaitkan dengan tidak ingin bekerjasaama dengan Belanda. Pikiran dangkal Tawakal menolak pernyataan pihak yang tak ingin bekerjasama dengan Belanda karena baginya itu tak mungkin. Lha, Datu saja yang kekuasaannya melingkupi bulud bo lopa' takin balangon, gunung lembah serta lautan, tapi tetap bekerjasama dengan Belanda walau tetap enggan, apalagi hanya rakyat jelata. Mata masih terbuka lebar kok ya sudah bicara mimpi--Tawakal ingat kata-kata Ba'ai Paya.
Yang menjadi buah pikirnya yang sering terbawa dalam mimpi adalah pembicaraan Aki Bonok. Dia harus bersiap memakai pakaian rapi serta belajar tentang ilmu di sekolah. Tapi, apakah sekolah yang menurut cerita telah didirikan oleh tuang Danubeir sejak awal-awal pemerintahan paduka tuang Datu Cornelis Manoppo itu mau menerimanya? Bagaimana pula jika dia dapat diterima tapi harus berganti agama?
Walau orang yang selama ini dia dan orang kampung pandang sebagai orang tuanya adalah pengikut Hatibi Dibo Mokoagow yang berontak terhadap Belanda namun Tawakal tetap ingin bersekolah di sekolah Belanda. Buat dia, tak ada gunanya melawan Belanda sekarang. Justeru akan lebih baik jika dia bisa menjadi pintar dengan bersekola di sekolah Belanda kemudian merubah keadaan. Tapi kalau syaratnya dia harua berganti agama, jelas Tawakal akan menolak.
Tawakal tak tahan menanti hari ahad.
***
Hari ahad sudah memasuki siang, Aki Bonok yang telah ke rumah orang Belanda sejak subuh terlihat berjalan gontai. Tawakal yang sedang bermain dengan kawan-kawannya segera meninggalkan permainan.
"Belanda keparat. Memangnya mereka itu siapa? Lha orang yang tak diketahui asalnya begitu kok petantang petenteng di bumi para Bogani ini lho," kata Aki Bonok benar-benae gusar.
"Sudah, Bonok. Jangan diperturutkan hati yang marah, nanti mengundang celaka," kata Ba'ai Paya yang segera ke dapur membalik air. "Minum dulu, atur napas dan ceritakanlah dengan perlahan."
Tawakal ingin betul mendengarkan cerita Aki Bonok. Karena itu dia duduk disudut dapur dan memasang kuping. Tak lama setelah minum, Aki Bonokpun bercerita.
Sesungguhnya kedatangan Aki Bonok kekediaman Belanda sudahlah tepat. Sinyo dan Nyonya sedang diberanda menikmati kopi dan makanan lokal.
"Stop," teriak sinyo dari beranda. Aki Bonokpun berhenti walau sesungguhnya jarak dengan Sinyo dan Nyonya masih jauh. "Kamu orang mau apa?" tanya Sinyo.
"Hamba mau mengantar ini tuang Sinyo," kata Aki Bonok sambil memukul-mukul obito yang masih bergelantungan dibahunya.
"Ataaaa," teriak Sinyo Belanda. Tanpa mempedulikan beban dipunggung, Aki Bonok melangkah cepat. "Kamu orang berhenti," teriak Sinyo yang langsung membuat Aki Bonok seperti direm menghentikan langkah.
Aki Bonok memandang ke depan, dia baru tahu bahwa yang disebut ATA bukanlah dia. Dari pintu terlihat seorang yang berpakaian lebih baik darinya berjalan tergopo-gopo dan membungkuk-bungkuk. Rupanya orang itulah yang disebut ATA oleh Sinyo.
"Kamu orang periksa barang yang ata itu bawa!" teriak si Sinyo Belanda pada ATa yang membungkuk dihadapannya sambil menunjuk pada Aki Bonok.
Aki Bonok tercekat. Ternyata dia pun disebut juga ATA alias budak. Terselip gundah dihatinya. Bisa jadi semua rakyat Belanda sebut ATA. Jiwanya ingin berontak, dia memang hanya orang kampung namun dia bukan ATA. Dia tuangi lipu' yang merdeka. Darah Aki Bonok bergolak namun secepatnya dia redam. Sepanjang sinyo Belanda ini tak menyebut ATA pada  paduka tuang Datu maupun para Abo maka tak apalah, lagi pula secepatnya dia sadar bahwa dia datang untuk meminta sesuatu sehingga harus merunduk.
"Hanya bahan makanan, tuang Sinyo," kata orang yang disebut Ata tadi, dia agak mencibir pada Aki Bonok. Aki Bonok membelalak padanya, lha sesama ATA kok ya pakai mencibir segala.
"Ya kamu orang bawa ke dapur saja itu bahan makanan," kata si Sinyo Belanda dan kembali pada posisi santainya.
Orang yang disebut ATA itu segera mengangkuti barang yang Aki Bonok bawa. Aki Bonok terus saja berdiri. "Apa lagi yang kamu orang tunggu?" tanya Sinyo Belanda yang sekarang terdengar lebih santai.
Aki Bonok segera jongkok dan berjalan jinjit untuk menunjukan niat baik. Setelah dekat, diapun menghaturkan apa yang dia inginkan.
"Hahahaha, jadi kamu orang ingin memintaku untuk menyekolahkan anak kucing? hahahaha..."
"Bukan anak kucing tuang Sinyo..."
"Kamu orang gila, kamu orang pigi, jangan sampai aku panggil marsose. Hahaha, dasar ATA. Hayo nyonya kita masuk, hahaha..."
Aki Bonok terpukul, dia pulang sambil mengumpat. Langkahnya gontai. Tiba-tiba saja timbul marahnya pada Belanda, kemarahan luar biasa yang membuatnya hanya bisa menggerutu.
Mendengar cerita Aki Bonok, Tawakal bisa membenarkan perlawanan yang dilakukan orang tuanya--itu jika benar apa yang dikatakan orang bahwa orang tuanya pengikut Hatibi Dibo.
»»  LANJUTKAN???...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB