Kamis, 14 Oktober 2010

ADIPURA MENJAUH DARI KOTAMOBAGU?



Keinginan Walikota dan Wawali Kotamobagu, Drs. Hi. Djelantik Mokodompit dan Ir. Tatong Bara, untuk menjadikan Kota Kotamobagu sebagai kota Adipura nampaknya bakal terkendala mengingat belum siapnya perangkat untuk mewujudkan misi pemimpin daerah hasil pemekaran ini.
Kendala ini dapat kita lihat pada kenyataan yang ada. Saat ini, yang paling jadi tolak ukur pemberian adipura adalah kualitas udara dan air.

Untuk kualitas udara, jelas tak jadi persoalan bagi daerah yang termasuk pelosok dari Sulawesi Utara ini. Walau telah berstatus Kota namun jangan dibayangkan Kotamobagu seperti kota besar lain dengan segala kesemrautan alamnya.
Udara di kota di kaki gunung Ambang ini masih terbilang sejuk. Pengguna kendaraan bermotor kebanyakan masih roda dua dan roda tiga yang disebut bentor atau becak motor. Lahan terbuka yang bisa dikembangkan menjadi lahan terbuka hijau masih banyak. Bahkan lahan pertanian masih luar. Penduduknya menanam tanaman yang cukup bermanfaat tak hanya untuk penghijauan tapi juga buahnya lezat. Pohon ini adalah pohon matoa yang saat ini menjadi semacam tanaman wajib bagi masyarakat Kotamobagu.
Dari sudut kualitas udara tak masalah. Bahkan mungkin Kotamobagu bisa menjadi daerah percontohan. Walau demikian, tentu kita juga harus memperhatikan penataan lingkungan agar kualitas udara kita senantiasa terjaga dengan baik.
Dan dari sudut kualitas air, nampaknya pemerintah dan masyarakat perlu bekerja lebih keras.
Daerah aliran sungai (DAS) yang tersebar nyaris di semua wilayah Kotamobagu (bahkan penamaan desa/kelurahan di sini berdasarkan nama sungai yang keberadaannya sudah ratusan tahun) nampak sudah sangat kotor. DAS telah menjadi tempat pembuangan sampah, terutama DAS yang berada di tengah pemukiman penduduk. Akibatnya, aliran air tak begitu lancar dan banjir mengancam setiap saat.
Belum lagi ketika kita menilik factor lain seperti lingkungan pemukiman, sekolah, instansi/institusi, penataan wilayah, dan lainnya. Bahkan pengelolaan sampai di TPA “Kobidu” nampaknya belum ditangani maksimal.
Sesungguhnya Walikota dan Wawali telah berusaha keras. Kegiatan Jumat Pagi (Jumpa) Moposad yang dicanangkan Walikota bisa menggerakan masyarakat secara social dan budaya mengingat “moposad” berarti “bekerja bersama-sama” yang merupakan satu dari sekian banyak nilai yang ada di masyarakat.
Berbagai infrastruktur juga mulai dibangun. Jalan lingkar Kotamobagu mulai diperbaiki dan diperlebar. Sarana dan prasaran perkantoran mulai dilengkapi. Termasuk Kantor Lingkungan Hidup (KLH) yang merupakan satu lembaga yang perannya sangat besar dalam memboyong Adipura ke Kotamobagu.
KLH saat ini punya laboratorium yang telah terfasilitasi dengan berbagai peralatan modern untuk menguji kualitas lingkungan. Namun peralatan ini sangat sedikit dioperasionalkna. KLH juga belum punya program yang mengikutsertakan masyarakat sehingga masyarakat tergugah untuk ikut serta dalam melestarikan lingkungan. Nampaknya KLH kebingungan dalam membuat program yang akan mempermudah Kotamobagu meraih Adipura.
SKPD lain demikian juga, bahkan di dunia pendidikan. Belum lama ini Walikota sempat menegur proyek pembangunan kelas baru yang tak memperhatikan penataan taman sekolah.
Saat ini Kotamobagu berada di peringkat ke 5 untuk Sulawesi Utara dalam persoalan lingkungan hidup ini. Berarti Adipura masih jauh, atau bisa saya katakan menjauh. Hal ini menuntut kita semua untuk bekerja lebih keras lagi agar Adipura akan kita dapatkan.
Bagi saya pribadi, keseriusan kita menangani persoalan lingkungan hidup ini bukan sekadar untuk mendapatkan Adipura. Lebih dari itu, kita harus sadar bahwa kita hanya meminjam lingkungan ini dari anak-cucu kita. Karena itu harus kita jaga. (Anuar Syukur)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB