Selasa, 01 Juni 2010

DOW

Dia mendatangiku. Wajah keriput, bibir memerah karena sirih, rambung panjang bergerai. Dia sudah sangat renta. Tongkat kayu di tangan kanan menopang tubuhnya. Pakaiannya, sederhana dan lusuh.
Mak Lampirkah?
“Bukan!” bentaknya seakan mampu membaca pikiranku. “Aku bukanlah bayang-bayang setan yang sering kau tonton itu. Dan aku bukanlah setan!”
Aku dapat melihat ketersinggungan dari matanya. Tongkat berulang kali dia ketukan ke tanah namun entah mengapa aku merasa tidak takut.
“Aku bukanlah bayangan yang jauh, Ompu, aku selalu dekat denganmu. Bahkan, aku terlalu sering kau tuliskan di atas kertas bekasnya,” katanya kali ini dengan suara yang lembut.
Kupandangi lagi sosok ini. Renta, keriput. Bibir memerah karena menginang. Tongkat itu telah menjadi penopang.
Siapakah? Kupandangi lagi.
Dia rentah tapi kulihat berwibawa. Keriput mukanya seperti hanya topeng untuk menutupi kecantikannya. Dia sesungguhnya tidak bungkuk tapi dia perlukan kebungkukan agar ada alasan untuk tetap menggenggam tongkat kayu itu. Dan tongkat kayu itu—yang tak kutahu jenis kayunya—bukanlah tongkat kayu biasa. Kupandangi dengan teliti, tongkat itupun menghilang namun muncul di hatinya. Harum semerbak memenuhi ruangan yang tak bertepi yang kutempati.
Tuhankah?
“Bukan, bukan,” katanya lagi menebak tepat suara hatiku. “Aku bukanlah Tuhan, aku bukan sesembahan, aku bukan Ompu Duata.”
Rona ketakutan terlihat jelas dari wajahnya. Bibirnya bergetar, komat-kamit. Apakah yang terjadi pada perempuan rentah tapi anggun dan berwibawa ini?
“Dengar, kau dengar,” tongkatnya menunjuk padaku. Isi hatinya yang bening seakan bergejolak. “Jangankan sesemabahan, utusanpun aku buka. Jika ada teladan maka ini semua petunjuk dari Sesembahan di mana aku dan kau berasal.”
Dia lunglai. Dia terduduk, tongkat yang dia genggam erat tak membuatnya jatuh. Dia menggenggam erat tongkat itu. Dia tertunduk. Apalagi ini?
Terdengar suara sesenggukan. Dia menangis. Air matanya deras. Namun air mata itu berubah menjadi berlian yang berkilau.
“Dia mahal, akan membuatmu jadi milyuner. Tapi jangan kau ambil.”
Sekali lagi dia mampu menebak apa yang kupikirkan, dia telah mampu membaca kerakusanku. Dan tebakannya itu membuatku marah.
“Tidak kah kau lihat kesusahanku? Aku ini sedang susah, apa kulakukan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, aku ini terbelit hutang. Mengapa tak kau biarkan air matamu kujadikan kunci untuk melepaskan belenggu kesusahan ini,” kerakusan membuatku membentaknya.
“Belenggu yang ada padamu hanya ilusi, Ompu. Tangan kakimu sama sekali tak terikat. Yang terjadi padamu adalah kau terkurung di menara bawah tanah yang ujungnya berada di atas dunia. Kau harus menapaki tangga di menara itu satu persatu sampai ke tiba di puncak, di sana kau akan bebas merdeka.”
Dia masih terus terisak, berlian air mata menumpuk di depannya, memancarkan cahaya yang menyilaukan mata.
“Air mataku jangan kau ambil karena akan membuatmu tak matang, akan membuatmu seperti pisang yang digantang agar segera masak, akan membuatmu tak tahu seperti apa sebenarnya hidup. Air mata itu akan membuatmu jadi malas, malas menulis…”
“Apa kau taku aku tak akan menulis lagi tentang dirimu yang tua renta dan susah tapi sok mulia ini?” bentakku dengan senyum sinis di bibir.
Dia nampak sedih lebih dalam. “Aku tak pernah menyuruh kau menulis tentang diriku. Bahkan kupinta padamu agar jangan lagi menulis tentang diriku, jangan lagi kau menulis kan kemuliaan suatu ciptaan. Kupita padamu agar menuliskan kemuliaan Sang Pencipta karena kita serta segala kebijaksanaan yang kita lakukan yang kita pandang sebagai kemuliaan kita semua berasal dari yang Maha Kuasa, segala titah dari Ompu Duata. Dari Ompu Duata lah segala panduan kudapatkan.”
Aku terdiam mendengarnya. Siapakah dia? sekarang aku merasa dekat tapi aku belum mengenalnya.
“Air mata itu tak baik untukmu, Ompu. Air mata itu dari kesedihan dan akan membuatmu sedih sepanjang hayat jika itu kau pergunakan.”
Aku terkekeh dan mencibir. Inde’ ini dari dunia mana? Apa dia tak tahu bahwa terlalu banyak orang yang menjual kesedihan umat manusia untuk keuntungan dirinya. Penguasa, pengusaha, dan lainnya bahkan tak hanya menjual air mata tapi juga darah mereka yang terbelenggu oleh susah.
“Aku juga dari duniamu, Ompu. Tapi kita berbeda masa. Di masaku, kami tak mengenal kemunafikan, kecurangan, memakan bangkai teman, mencuri, dan perbuatan lain yang dilarang alam dan Ompu Duata. Kami tidak melakukannya bukan sekadar takut pada Ompu Duata tapi kami malu. Kau tahu kan malu tak ada tempatnya?”
Sekali lagi dia menebak tepat apa yang kupikirkan dan aku hanya mampu mengangguk.
“Kami tak tahu apa yang Ompu Duata harapkan karena kami tak pernah bicara langsung dengan-Nya Sang Penguasa Alama. Yang kami lakukan hanya berpegang pada motulid bo mobanar. Jika kau hidup pada masa kami maka kau akan bertemua dengan tempat berjual-beli tanpa penjaga, dan lainnya. Untuk menjadi Bogani sepertiku, kami dipilih. Aku tak pernah mengajukan diri agar menjadi Bogani, aku tak pernah menyogok siapapun. Namun mereka memilihku. Kami sesungguhnya sama tapi entah mengapa mereka memikulkan beban ini ke pundakku.”
Dia tertunduk. Berlian air mata yang bertambah menandakan dia menangis.
“Kita ini bagian dari alam walau Ompu Duata menempatkan kita untuk menjadi pimpinan. Ciptaan lain diharuskan untuk tunduk dan mereka memang diciptakan untuk kita manfaatkan. Tapi janganlah kita berbuat sewenang-wenang. Di masa kami, alam adalah sahabat.”
Dia mendongak dan tersenyum. Mulut penginang ini memerah menampakan gigi putih yang kuat.
Aneh! Aneh! Berlian-berlian itu menghilang, lenyap.
“Sudah kukatakan, dia dari kesedihan dan akan hilang begitu kita senang. Jika kau memiliki satu saja pasti kau akan sedih sepanjang hayat.”
Aku tersenyum malu.
“Dari tadi pasti kau heran karena aku tahu yang kau pikirkan. Semua ini adalah hikmah, mungkin karena kami berusaha untuk tetap motulid bo mobanar.”
Dengan berpegang pada tongkat dia berusaha berdiri. Aku ingin menolongnya namun dia tampik. Sekarang dia berdiri namun tetap membungkuk.
“Sudah cukup Ompu, semua yang kita bicarakan sungguh menguras tenagaku. Aku akan kembali ke alamku. Aku ingin istirahat dulu.”
“Tunggu dulu, Inde’,” kucegah dia yang sudah melangkahkan kaki.
Dia menoleh, tersenyum. “Dasar manusia masa kini, merasa kenal tapi tak mengenal. Aku ini akhir dari Mongondow yang sering kau tuliskan. Akulah Dow.”
Inde’ Dow? Aku terkejut, aku terperangah. Aku tak sempat berkata ketika dia menghilang meninggalkanku.
***
Motoboi Kecil, 3 Juni 2010
Catatan
Ompu : Cucu
Ompu Duata: Nama sesembahan rakyat Mongondow sebelum agama masuk, Ompu Duata itu tunggal yang menampakan bahwa orang Mongondow sejak awal telah percaya pada Tuhan Yang Maha Esa
Motulid bo mobanar : Lurus dan Benar
Inde’ : Ibu
Inde’ Dow mendapatkan tempat yang mulia di hati orang Mongondow. Dia adalah simbol kebijaksanaan.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB