Kamis, 01 Oktober 2009

Negeri Kodok


Aku pulang karena Nurani. Ah, luar biasa Nurani—dia memang provokator ulung. Walau hanya lewat angin namun dia telah meluluhkan hatiku. Perhatikanlah apa yang dibisikannya: “Hai Gina, mengapa kau masih di sini? Kau kan anak negeri, mengapa kau tak pernah bangun negerimu sendiri? Mengapa kau bersembunyi? Apa yang kau hindari?”
Sialan! Nurani memang sialan! Dia benar-benar provokator ulung. Dia membuatku berada di sini. Dan lebih sialan lagi, ternyata dia tak ada di negeriku. Entah ke mana dia, tak ada yang tahu. Orang-orang bilang, telah lama di negeriku tak ada Nurani.
Karena tak ada dia, aku harus menghadapi penerima tamu yang dari papan nama di dadanya bernama Dila’. Dila’ mencecerkan jutaan pertanyaan yang meragukan keberadaanku. Dia juga bilang bahwa dia telah mengalami ini-itu walau dia katakan hanya berada di negeriku. Luar biasa negeriku. Luar biasa Dila’. Aku saja yang sudah ke negeri orang tak punya pengalaman sebanyak dia. Kurasa dia hanya membual saja, ngomong kosong, berdusta, dan entah kata apa lagi. Yang pasti aku muak. Coba kalau ada Nurani di sini, pasti dia tak akan bicara banyak seperti dialah Superman.
“Jadi, Tuang bisa ditemui atau tidak?” tanyaku muak, memotong uraian panjang Dila’ tentang kehebatan dirinya .
Dila’ memandangku beberapa jenak. Sangat nampak dia tak senang pembicaraannya dipotong. “Tuang sedang tak ada. Nanti akan kujadwalkan. Namamu Gina, kan?” katanya tanpa ekspresi, tangannya sama sekali tak bergerak untuk mencatat sesuatu, malah hanya memainkan kuku diatas meja, mirip dengan tokoh botak di salah satu iklan, “TanyaKen apa?”. Tapi aku tak bertanya. Aku terlalu muak untuk berkata-kata. Akupun segera berlalu dari sana.
Ah, ini tantangan, kucoba menghibur diri. Namun, tantangan ini terlalu berat. Di negeri lain penerima juga tak begitu ramah, namun ini luar biasa. Sialan!
“Hai, kau,” teriakan itu menghentikan langkahku. Kukira si Dila’. Ternyata bukan. Ulu, sahabat karibku saat belajar di negeri lain memanggil. Dia pintar, egois, dan keras kepala. “Nah, seharusnya semua Pemilik Negeri kembali untuk membangun seperti U ini. Jangan negeri orang di bangun sementara negeri sendiri terlantar. Atau negeri sendiri dibiarkan dibangun oleh orang lain” katanya sambil mengguncang-guncangkan tanganku.
Aku tersenyum kecut. “Aku tak tahu apa yang kau maksud, Sobat,” kataku tanpa semangat. Kemudian kuceritakan apa yang kualami.
Dia diam sesaat. Mengangguk-angguk sambil memegang jenggot kambingnya yang tak seberapa. “Engkau pulang saja, tenangkan dirimu, biar aku yang urus” katanya.
Akupun pulang dengan mengangkat bahu. Aku tidak begitu yakin pada Ulu. Dan aku tetap pada rencanaku: besok aku kembali ke negeri yang membutuhkanku.
Namun, aku belum sempat istirahat, Ulu sudah datang. “Tuang akan menerimamu di rumahnya,” kata Ulu bersemangat. Dan semangat itu menular padaku.
Diperjalanan Ulu berkata banyak. Dia menguraikan lika-liku protokol padaku. Harus begini, harus begitu. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Aku hanya termangu mendengar aturan yang terlalu banyak begitu.
“Ah, lebih baik kau diam. Biar aku yang bicara,” katanya setelah melihat aku diam terus.
Akhirnya kami sampai juga.
Rupanya inilah istana sang pimpinan. Sebuah bangunan megah di atas bukit. Jika perang terjadi, mungkin bangunan ini yang paling aman. Mudah-mudahan saja tidak terjadi longsor. Tak enak juga ada berita di media: “Tuang mati karena longsor!”
Dan inilah rupanya Tuang. Cukup rupawan dengan senyum yang selalu dinampakan. Beliau menyalamiku seolah kawan lama. Aku hanya menyebutkan nama, selanjutnya Ulu yang bicara.
Ulu demikian fasih berbicara. Tuang mengangguk-anggukan kepala. Walau ulu bicara tentangku namun Tuang tak pernah melihat padaku. Matanya yang berbinar itu selalu tertuju pada Ulu. Kenapa? Aku penasaran luar biasa. Kualihkan pandangan pada Ulu—sesuatu yang katanya tak boleh kulakukan. Dan …
Ya Tuhan … Ulu ternyata tidak bicara. Hanya lidahanya yang bergerak, menjilat ke arah Tuang. Dan … ya Tuhan … Ulu telah menjadi kodok.
Aku benar-benar tak percaya. Kurasa menjadi anjing masih lebih mending. Anjing masih bisa menyalak. Tapi kodok? Dan ini terjadi pada Ulu! Luar biasa negeriku!
“Ya, selamat datang, Gina. Bangunlah negerimu ini. Aku sebagai Tuang Negeri akan membantu sepenuh hati,” akhirnya Tuang bicara dan ternyata hanya itu yang dikatakannya. Kami bersalaman kembali, seperti kawan lama.
Di jalan aku hanya diam. Aku masih belum mengerti apa yang mereka bicarakan. Dan apa yang terjadi pada Ulu.
“Selamat datang, Gina, beginilah kondisi negeri kita. Hanya itu yang bisa kukatakan dan kau tak usah bertanya. Bekerjalah!” kata Ulu.
Ya, bekerja!
Besoknya aku kembali. Dila’ tergopo-gopo datang padaku. “Ah, sebenarnya Anda sudah saya jadwalkan, lho. Tuang sudah bersedia menerima. Tapi Anda langsung pergi begitu saja.”
Aku tak tahu lagi apa yang dia katakan selanjutnya. Karena Dila’ tiba-tiba saja menjadi kodok. Lidahnya terjulur ke arahku. Hiiii… (Mocil di Subuh Hari, Kamis, 22 Juni 2006)

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB