3. Penolakan yang Mendamaikan
Sarekat Islam itu wajib kita dukung. Bukan hanya karena dia
menjadikan Islam sebagai ruh penggerak organisasi, tapi dia juga telah
menggariskan sikap yang tak mau bekerjasama dengan bangsa kafir Bolanda yang
telah mengangkangi dan menjadikan budak seluruh isi ke-Datu-an Mongondow ini.
Lha kita ini sudah punya Datu, bahkan sejak zaman dulu kita sudah punya Punu,
lah kok kita harus mendengarkan bangsa yang tak diketahui darimana asalnya itu.
Tanah Mongondow ini tanah yang diberkati, para leluhur kita telah mendoakannya
melalui itum-itum dan odi-odi. Kita akan berdosa pada leluhur jika kita hanya
diam dan memang selama ini kita diam. Sekaranglah waktunya kita bangkit untuk
mandiri dibawah naungan SI.
Pidato itu selalu Abah Ali tekankan pada setiap pengajian,
bahkan pada setiap khutbah Jumat. Tawakal sendiri, sesungguhnya tak begitu
paham apa yang disampaikan oleh Abah Ali. Namun dia tak bisa membenarkan
pernyataan Abah Ali bahwa selama ini orang Mongondow hanya diam. Aki Bonok
menceritakan padanya bahwa sejak zaman dahulu Punu' dan rakyat Mongondow telah
melawan orang asing yang coba-coba mengangkangi tanah 'kinotubuan', bahkan
orang asing yang mendirikan kerajaan Bobentehu di Manado telah Punu Damopolii
usir. Sayangnya Belanda punya taktik memecah belah sehingga wilayah Mongondow
tinggal kecil jadinya. Walau begitu baru masa paduka tuang Datu Cornelis
Manoppo, Belanda mampu datang ke tanah Mongondow. Itupun sampai memindahkan ibu
kota dari Bolaang ke Kotamobagu. Dan walau paduka tuang Datu
Cornelis Manoppo tak seperti paduka tuang Ridel Manoppo yang berani menempeleng
penagih pajak utusan Belanda sehingga terjatuh dari dari tangga komalig, namun
paduka tuang Datu Cornelis Manoppo hanya mendiamkan rakyatnya yang berontak.
Belanda memang selalu salah menilai takhta ke-Datu-an. Mereka Datu yang mereka
angkat akan membela penuh kedudukan Belanda namun tak terjadi yang mereka
harapkan. Lah, Jacobus Manoppo saja yang dididik Belanda dan dibantu agar bisa
menggantikan Loloda Mokoagow tetap saja melawan, begitupun Datu-Datu
setelahnya. Bahkan saat ibu kota sudah di
Kotamobagu pun terus ada perlawanan terhadap Belanda, orang tua Tawakal yang
pengikut Hatibi Dibo Mokoagow itu contohnya. Jadi ya tidak benar jika dikatakan
pemimpin dan orang Mongondow hanya diam. Namun diakui juga, perlawanan itu
sudah tidak begitu menggemparkan karena hanya dilakukan oleh golongan Paloko
sementara kinalang hanya diam.
Pengertian 'kafir' dari perkataan Abah Ali sesungguhnya
bukan hanya karena orang Belanda itu bukan beragama Islam melainkan karena
orang Belanda itu telah menyimpang dari jalan kebenaran. Toh tidak ada jalan
kebenaran yang membenarkan perbuatan semena-mena terhadap sesama manusia. Lah,
Punu Tadohe saja tidak membenarkan kakaknya Dodi Mokoagow yang telah berbuat
semena-mena terhadap Pingkan isteri Matindas, apalagi bangsa Belanda yang
negerinya jauh dari tanah Mongondow ini. Punu Tadohe sungguh malu karena
perbuatan kakaknya, dia tak hanya membiarkan begitu saja perbuatan Matindas
yang dengan tipu daya telah berhasil membunuh Dodi Mokoagow, lebih dari itu dia
bahkan menerapkan aturan yang keras bagi siapa yang berani mengganggu isteri
orang atau si isteri justeru meminta diganggu. Aturan ini disebut 'monualing'
atau 'mokitualing' yang merupakan bagian dari piagam Paloko-kinalang yang
terkenal itu. Bagi yang melanggar aturan akan dibuang ke laut. Lah, Punu Tadohe
saja yang merupakan penguasa tanah Mongondow toh masih berjalan di jalan
kebenaran, kenapa Belanda yang negerinya jauh diseberang laut justru mau
berbuat sewenang-wenang? Karena itu Belanda Abah Ali sebut bangsa kafir. Setahu
Tawakal, Abah Ali sering bertemu dengan Ama' Jacob yang 'sarani' itu untuk
merundingkan bagaimana baiknya tanah warisan dari para Bogani ini.
Tawakal juga membenarkan. Orang-orang Belanda itu memang
harus dilawan. Pengentengan keberadaannya oleh tuang sinyo Belanda seperti yang
diceritakan Aki Bonok telah menorehkan luka di hati Tawakal. Namun Tawakal tak
bisa lagi membenarkan model perlawanan dari Hatibi Dibo dan pengikutnya, pun
menurut hematnya tak boleh lagi perlawanan model paduka tuang Ridel Manoppo.
Perlawanan model begitu sangat mudah diberantas oleh Belanda. Jika perlawanan
hanya dilakukan oleh para pemimpin Paloko, pasti tak terhitung banyaknya
korban. Pun jika perlawanan hanya dilakukan oleh para Kinalang maka bisa saja
Belanda menghapus ke-Datu-an sehingga alam Mongondow akan kehilangan pengayom.
Karena itu, sekarang sangatlah penting untuk menyatukan kekuatan Paloko dan
Kinalang. Dan disinilah keberadaan Sarekat Islam diperhitungkan.
Karena berbagai faktor yang terkait dengan kondisi di tanah
Mongondow, kehadiran Sarekat Islam seperti wadah ketemu tutup, sangatlah cocok
dan saling menguatkan. Tanah Mongondow membutuhkan SI dan SI telah menemukan
tanah yang benar-benar cocok sehingga diapun berkembang laksana jamur di musim
penghujan. Terlebih abo Abraham Patra Mokoginta berdiri dan menyokong
organisasi ini. Maka jadilah Sarekat Islam itu tak hanya organisasinya umat Islam
tapi juga menjadi organisasi yang mempersatukan Paloko dan Kinalang.
Dukungan abo Abraham Patra Mokoginta memang sangatlah
penting. Gerakan awal Sarekat Islam yang membuka lahan perkebunan kopi di
Tanoyan dan kebun kelapa di Solog telah disokong dengan bibit oleh abo Abram
yang waktu itu menjabat mantri cultur. Gerakan awal kaum Sarekat memang sangat
sesuai dengan kedalaman ilmu abo Abram yang tamatan sekolah pertanian di Bogor. Maka langkah awal kaum Sarekat pun membawa hasil yang
baik.
Warga Lipu' Dotamonag juga ikut membantu, bahkan
murid-murid Abah Ali kecuali Goros yang sangat nampak ketidakpeduliannya
padahal usianya diatas jauh dibandingkan murid lainnya--bisa dikatakan dia
masih menjadi murid hanya untuk azan dan qomat saja karena dia tak ingin murid
lain yang mengambil tugas itu. Tawakal juga ikut membantu, Aki Bonok tak dikata
lagi bantuannya--Aki Bonok memang sudah benci setenga mati pada Belanda dai dia
siap membantu siapapun yang mau melawan Belanda.
***
Setelah 3 tahun membangun perkebunan kopi dan kelapa,
akhirnya Sarekat Islam mengambil langkah untuk memperbaiki taraf hidup
masyarakat melalui pendidikan. Menurut cerita Abah Ali, di tempat asalnya di
Jawa, Sarekat Islam tak begitu memperhatikan pendidikan karena perjuangan
melalui pendidikan sudah dilakukan oleh Muhammadiyah dan Taman Siswa. Dan tanah
Mongondow diberkahi karena Sarekat Islam hendak mendirikan sekolah. Tawakal
melaporkan kabar gembira tersebut pada Ba'ai Paya.
"Kalau Sarekat membuka sekolah, trus kau mau apa
Wakal? Ingat lho, kau ini anak pengikut Hatibi Dibo namun kau pernah
dipermalukan oleh sinyo Belanda hanya gara-gara Aki ingin kau sekolah. Jangan
sampai kau dipermalukan lagi," kata Ba'ai Paya.
Tawakal tertunduk namun semangatnya kembali muncul ketika
diingatkan soal perjuangan Aki Bonok. Tawakal tak sabar lagi menanti Aki Bonok
untuk melaporkan kabar gembira tersebut. Dia yakin Aki Bonok akan gembira dan
akan mengusahakan agar Tawakal bisa
sekolah, bukankan sebelumnya Aki Bonok telah mengusahakan sampai rela dipanggil
ata oleh sinyo Belanda?
Kami masihlah sore namun Aki Bonok telah berada di rumah,
ini tak seperti biasa.
"Saya ingin istirahat agak lama Paya. Kalau di kebun
ada-ada saja pekerjaan yang harus aku lakukan. Kalau di sini, aku benar-benar
bisa istirahat," kata Aki Bonok menjawab pertanyaan Ba'ai Paya soal
kepulangannya.
Tawakal segera mendekat dan seperti biasa langsung memijat.
"Kau sudah besar, Udul. Pijatanmu sudah berasa
sekali," kata Aki Bonok yang hanya disambut senyum oleh Tawakal.
"Lha, tingginya Tawakal sekarang sudah menyamaimu lho.
Kamu tak sadar-sadar bahwa Tawakal cepat besarnya," sambut Ba'ai Paya.
"Lha iya, wajar. Tawakal kan anak pengikut Hatibi Dibo," ujar Aki Bonok bangga.
"Ngomong-ngomong soal pengikut Hatibi Dibo, rasanya
Tawakal bisa kau daftarkan ke sekolah milik Sarekat, Bonok. Hatibi Dibo dan
Sarekat kan sama-sama melawan Belanda."
Tawakal agak terkejut, dia baru berpikir cara menyampaikan
pada Aki Bonok namun sudah didahului Ba'ai Paya. Aki Bonok pun nampaknya
terkejut juga. Dia pun langsung terduduk.
"Benar itu Wakal?"
Tawakal mengangguk dan menceritakan apa yang disampaikan
Abah Ali. Sarekat Islam telah membentuk Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam
yang berpusat di Molinow. Guru-gurunya berasal dari Jawa seperti ....
"Ya sudah, sekarang juga kita berdua menghadap pada
Abah Ali, memohon petunjuk siapa yang harus kita datangi di Molinow. Besok kita
akan sholat jumat di masjid Molinow sekaligus menghadap tuang yang dikasih
petunjuk dari Abah Ali..."
"Mandi dulu Bonok, badan masih bersimbah keringat
begitu kok ya langsung menghadap ke Abah Ali. Mandi dan sholat sekalian di
masjid," tukas Ba'ai Paya.
Walau sedikit menggerutu karena diperlakukan seperti anak
kecil namun Aki Bonok melakukan juga apa yang diperintahkan padanya. Bersama
Tawakal dia ke pancuran dan mandi sebersih-bersihnya.
"Sesungguhnya saya ingin memberitahukan pada Tawakal
secara khusus, Aki Bonok. Saya melihat Tawakal sangat tepat untuk sekolah
karena otaknya encer. Tapi saya tak tahu apa Tawakal memenuhi
ketentuan..."
"Kalau biaya saya akan berusaha sebisa saya, Abah.
Bahkan jika harus diri saya yang digadaikan ya tak masalah buat saya. Yang
penting Tawal bisa sekolah," potong Aki Bonok dengan semangat
menggebu-gebu.
"Lha, kalau diri Aki Bonok sudah digadaikan, lha trus
bagaimana dengan pembiayaan sekolahnya Tawakal, bahkan bagaimana dengan
kehidupan Aki sendiri. Orang yang sudah tergadai itu tak bisa berbuat apa-apa
lagi lho. Dia akan menjadi ata," kata Abah Ali dengan bibir tersenyum yang
membuat Aki Bonok tertunduk. "Masalahnya, persyaratan untuk diterima
sekolah di BPPI tak hanya mempunyai kemampuan untuk membiayai sekolah tapi
banyak syaratnlainnya. Dan agar lebih jelas, besok Aki Bonok datang saja ke
Molinow. Sholatlah di sana, sebelumnya ketemu dulu dengan pihak BPPI. Saya rasa
begitu saja," Abah Ali menjelaskan dengan pelan.
"Kalau kami bilang bahwa kami telah bertemu dengan
Abah, kira-kira bagaimana?" Aki Bonok memohon petunjuk.
Abah Ali berpikir-pikir cukup lama. "Saya tak tahu apa
gunanya menyebut nama saya. Tapi karena ini baik dan siapa tahu bermanfaat, ya
silahkan saja. Saya tidak keberatan."
***
Hari masih sangat pagi, embun belum berencana pergi. Bangun
sepagi itu dan bercengkerama dengan air sudah biasa bagi Tawakal karena dia
selalu menyempatkan diri sholat subuh berjamaah di masjid. Namun tidak demikian
bagi Aki Bonok. Tawakal hanya bisa memandangi Aki Bonok yang nampaknya masih
sangat lelap. Tawakal mencoba membandingkan yang dia kerjakan, ya hanya bermain
dan ke masjid atau membantu pekerjaan remeh yang disuruh Ba'ai Paya. Sementara
Aki Bonok, Tawakal bisa membayangkan Aki Bonok yang berjalan kaki dari Lopa'
Kobiagan sampai ke Lipu' Dotamonag sambil memikul obito yang demikian berat,
bukan pekerjaan mudah. Karena itu, Tawakal membiarkan Aki Bonok terus tidur. Di
masjid dia hanya sholat kemudian minta izin untuk segera pulang. Sesampainya di
rumah, dengan hati terpaksa, Aki Bonok dia bangunkan.
"Lha, sudah sholat subuh to, Wakal?" tanya Aki
Bonok.
Tawakal tersenyum dan mengangguk.
"Kamu itu kok tak membangunkanku," sesal Aki
Bonok. "Ya sudah, kita bersiap berangkat."
Aki Bonok sangat mempercayai apa yang disebut waktu berisi
dan waktu kosong. Dan menjelang fajar dia pandang waktu berisi untuk berangkat
saat itu, beruntung Tawakal ke masjid tidak dia larang. Aki Bonok sempat
memikirkan untuk membawa sesuatu, dia berpikir akan memenuhi lagi obitonya
seperti saat menghadap ke sinyo Belanda. Namun Tawakal mengingatkan lagi saran
Abah Ali agar tidak membawa apapun.
Sesampainya di Molinow, hari masih pagi, mentari baru belum
menampakan wujud aslinya tapi nampaknya Molinow sudah sibuk sepagi itu. Sangat
berbeda dengan Lipu' Dotamonag yang pasti masih sepi. Tawakal mengikuti Aki
Bonok yang seakan mengetahui tempat dan tujuan Aki Bonok memang tepat. Beberapa
orang telah duduk mengitari meja, berbincang sambil minum kopi, makan panganan
dan merokok. Mereka memakai topi berwarna hitam yang bukan topi haji, ternyata
itu kopia.
Mereka tersenyum ketika dan membalas salam Aki Bonok.
"Maaf mengganggu tuang..."
"Dia' bi' kona'a ki Tuang, Aki," kata
seorang anak muda dengan Mongondow yang lancar. "Mereka ini para guru di
BPPI, panggil Ustadz."
"Maaf tuang Ustadz..."
"De'eman bi' ki tuang Ustadz, tonga' bi' Ustadz. Ponikpa,"
kata anak muda itu.
Walau gugup namun ada keberanian dalam diri Tawakal dan Aki
Bonok, terutama karena keakraban yang ditunjukan oleh orang-orang yang
kebanyakan masih muda-muda itu. Aki Bonok dan Tawakal pun masuk.
Aki Bonok terkaget ketika orang muda itu mengulurkan tangan
yang kemudian menjelaskan bahwa itu untuk bersalaman yang dalam bahasa
Mongondow disebut modati. Ini sangat tak biasa bagi Aki Bonok, biasanya
dia bersalaman hanya jika hari raya maupun saat membayar zakat atau ada ijab
kabul untuk persoalan tertentu yang biasanya Abah Ali menyarankan agar berjabat
tangan sebagai pertanda kedua bela pihak telah saling memahami apa yang
diijabkan. Lagi pula tangannya yang kasar menurutnya tak layak dijabatkan pada
tangan anak-anak muda itu yang selain halus juga mulia. Namun menurut anak muda
yang kemudian diketahui bernama Anhar itu, salaman itu untuk lebih mengakrabkan
kedua pihak. Yang lain juga ikut-ikutan menyalami Aki Bonok dan Tawakal, mereka
menyebutkan nama yang aneh: Waluyo, Sumantri dan lainnya--karena aneh maka
cepat terlupakan oleh Tawakal.
"Jangan duduk di lantai, Aki. Eh, siapa namamu?"
tanya yang satunya.
"Tawakal, Tu...eh, maksudku Ustadz," sahut
Tawakal agak gugup, dia dan Aki Bonok masih tetap berdiri walau dua orang yang
duduk tadi telah berpindah ke tempat duduk lainnya.
"Duduklah di kursi itu," kata Anhar yang
nampaknya jadi jurubicara kelompok guru itu karena dia anak Mongondow.
Ragu-ragu Aki Bonok dan Tawakal duduk, seumur-umur belum pernah mereka duduk di
kursi. Di Dotamonag hanya rumah Sangadi yang berkursi namun bahkan Sangadi pun
jarang duduk di kursi tapi lebih sering duduk di gopot.
"Nah, apa yang hendak kalian bicarakan?" tanya
Anhar.
Aki Bonok pun menguraikan maksud kedatangannya, suasana
yang nyaman dan akrab membuat Aki Bonok lancar bicara.
"Bagus dan tepat Aki serta Tawakal ke sini," kata
Anhar yang kemudian terlibat dalam penjelasan panjang lebar tentang Sarekat
Islam dan Balai Pendidikan dan Pengajaran Islam yang akan segera dibuka. Aki
dan Tawakal terpesona dengan penjelasan Anhar.
"Tapi begini lho Aki dan Tawakal. Kami membatasi
penerimaan murid..."
"Saya akan berusaha membayar, Ustaz, bahkan jika harta
habis sekalipun yang penting Tawakal sekolah," Aki Bonok memotong.
Anhar tersenyum mendapatkan bicaranya dipotong. Aki Bonok
menunduk malu.
"Iya, Aki. Saya senang karena ada orang Mongondow yang
pynya semangat seperti Aki. Tapi kami tak bisa juga melanggar peraturan, ya
samalah dengan kita memandang dodandian Paloko-Kinalang yang juga seharusnya
tak boleh dilanggar."
Aki Bonok dan Tawakal benar-benar terpikat sehingga apa pun
keputusannya mereka bisa menerima. Dan memang Tawakal tak bisa diterima karena
usianya sudah tua.