Di ketinggian, di kemiringan yang curam, kuatur tangga yang tinggi menjulang. Angin menerpa dengan kencang membuat pucuk cengkeh meliuk seperti penari jaipongan.
Kuhirup napas dalam-dalam, takut dan cemas berusaha kusingkirkan. Kupanjatkan doa pada Tuhan. Aku tak memohon hidup seribu tahun lagi, tapi tak bisa kubayangkan kesakitan yang luar biasa seandainya jatuh, hasilku makan gaji pasti tak dapat mengobati.
Tuhan, kugugat Kau. Kau tidak adil. Aku mengadu nyawa hanya untuk selembar rupiah sementara yang lain yang lain mendapat beratus juta hanya dengan tanda tangannya.
Sekarang aku di pucuk cengkeh, menjadi penari jaipongan menuruti kehendak angin.
Dari ketinggian ini kupandangi luasnya kebun cengkeh milik sang Bos. Ah, sesungguhnya tidaklah sepenuhnya demikian. Aku salah satu yang menjadikan kebun ini. Kakiku putus kena parang ketika memangkas semak dibawah pohon, untung Bos Lama yang sudah meninggal membawaku ke rumah sakit sehingga bisa disambung kembali. Dalam kesakitan aku masih ikut menebang pohon-pohon yang tingginya menyentuh lagi, juga aku masih ikut membakari sehingga menjadi kebun yang ditanami cengkeh. Sekarang suaminya Nona Kecil yang menjadi Bos saya sepeninggal Bos Lama. Dia tak pernah menjenguk kebun ini dan nampaknya tidak peduli. Yang mengurusi kebun dan kami hanya jawarah yang jagoan memotong upah.
Tuhan, andai kebun ini milikku…
“Hei, kau. Kalau kebun ini milikmu, siapa yang akan jadi buruh? Apa aku? Cepat kerja, pekerjaanmu seperti keong saja.”
Tuhan, alangkah takutnya aku padanya sehingga mengalahkan takutku pada-Mu.
Takut hilang, cemas hilang. Angin adalah teman, Badanku meliuk seperti penari jaipongan yang kuimbangi dengan gerak tangan, memetiki buah-buah cengkeh. (Anuar Syukur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan Komentar...
Tapi maaf komentar Anda perlu dimoderasi, bukan untuk menghilangkan hak Anda berkomentar tapi untuk menghindari penggunaan "kalimat2 yang tidak perlu"