Sabtu, 10 Oktober 2009

PERLUNYA PENDAMPING DEWAN

Ambang Post 3/1/09




Dinangoi, Khas Mongondow
Murah, Meriah, Bersahaja
Bisa didapatkan di
RUMAH DINANGOI
Motoboi Kecil, depan SD
Menjadi anggota dewan (baik DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi maupun DPR RI) sangatlah terhormat posisinya. Kalau ada keluarga yang menggelar hajat maka akan diminta dengan hormat untuk jadi turut mengundang, duduknya di depan, diminta untuk menyampaikan sambutan, dan seterusnya. Di masyarakat dia akan menjadi patron, menjadi tempat masyarakat yang menjadi klient mengadukan berbagai persoalan.

»»  LANJUTKAN???...

Kepemimpinan Perempuan

dimuat di Tribun Totabuan 17 Juni 2009


Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra
Dalam berbagai diskusi tentang gender dalam persprktif kepemimpinan, yang akan ramai ketika bicara tentang kepemimpinan perempuan. Pendapat seakan terpilah dalam dua mazhab pemikiran. Ada yang menomorduakan perempuan dan ada juga yang berusaha mengutamakan perempuan. Referensi mulai dari kitab kuno sampai kitab suci dijadikan rujukan, berbagai peristiwa dijadikan alasan. Saya sendiri tak sependapat dengan kedua mazhab tersebut karena bagi saya perempuan memang utama yang setara dengan pria sehingga tak perlu diutamakan. Dari sudut pandang ini saya tak sependapat dengan keberadaan 30 persen perempuan dalam pencalegan di Pemilu beberapa waktu lalu serta pengutamaan perempuan lainnya. Namun saya juga tak sependapat jika perempuan yang ingin berkiprah seperti Manohara kemudian hanya dikurung di rumah. Kalau mau berkiprah, kalau mau bersaing, bukalah pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja. Ini inti demokrasi yang selama ini selalu disuarakan oleh banyak pihak.
Lagi pula, di dunia Timur sesungguhnya tak ada dikotomi gender dalam kepemimpinan. Sejak masa lalu cukup banyak perempuan yang memegang pucuk pimpinan. Di kita suci, kita dipereknalkan dengan Ratu Balqis yang berkuasa penuh atas negeri Sabah. Kesejahteraan dan ketenteraman negeri Sabah menarik perhatian Nabi Sulaiman yang juga berstatus sebagai raja sampai dia memerintahkan seluruh mahluk dibawa kekuasaannya untuk mendatangkan singgasana Ratu Balqis agar Sang Ratus tertarik padanya. Di negara kita terdapat Ratu Shima yang memerintah negerinya dengan adil sampai-sampai anaknya yang menyelamatkan barang yang berserakan di jalan diperintahkannya untuk dibunuh, andai tak dinasehati para pandita niscaya perintahnya itu akan terlaksana. Bahkan di negeri kita tercinta, Bolaang Mongondow, juga muncul kepemimpinan perempuan di masa lalu. Inde’ Dow, demikian masyarakat biasa menyebut. Beliau adalah Bogani (penguasa wilayah) perempuan yang kekuasaannya meliputi Kotabunan. Selain setara dengan Bogani lain, Inde’ Dow juga punya kewenangan dalam menentukan kebijakan yang ditunjukan dengan diangkatnya Tadohe’ sebagai Punu’ Molantud yang berkuasa atas bulud bo lopa’ in Bolaang Mongondow.
Yang disebutkan di atas merupakan pemimpin perempuan yang menentukan langsung kebijakan. Banyak juga pemimpin perempuan di masa lampau yang dapat mempengaruhi kebijakan karena status mereka sebagai permaisuri raja.
Di Timur memang demikian adanya. Berbagai prasasti sampai kitab suci menceritakan tentang eksistensi pemimpin perempuan. Hal ini aga berbeda dengan di Barat yang sejak zaman Romawi Kuno memang menempatkan perempuan hanya sebagai bagaian dari alat kesenangan lelaki. Pandangan ini termuat dalam buku kuno seperti Republic karyat Plato, Politik karya Aristoteles, dan lainnya. Dan perkembangan kepemimpinan perempuan di Barat memang sangat lambat. Walau di Barat gencar diteriakan tentang kesetaraan gender yang ditiru oleh aktivis perempuan di Timur namun di Barat baru Margaret Teacher yang bisa dicatat sebagai tokoh pemimpin perempuan yang menonjol. Sementara di Timur, di zaman modern ini bertebaran pemimpin perempuan. Para pemimpin perempuan modern di Timur bukan lahir karena perjuangan gender karena di sini memang tak ada perbedaan gender. Mereka lahir karena mereka memang tersaring, mereka mampu dan punya talenta dalam kepemimpinan.
Di Bolmong, pasca Inde’ Dow, kepemimpinan perempuan baru muncul di saat Ny Hj Marlina Moha Siahaan menjadi Bupati. Kemunculan ini bisa dikatkan luar biasa mengingat beliau bukanlah putri penguasa walau memang masih punya garis keturunan dengan penguasa Bolmong di masa lalu. Bisa dikatakan beliau merupakan tokoh perempuan yang meretas dari bawa. Walau memulai dari bawah namun jalannya pemerintahan yang dipimpinnya bisa dikatakan cukup baik dan mulus. Memang ada beberapa hal yang ditentang beberapa pihak, termasuk saya sempat menentang beberapa kebijakan beliau. Namun penentangan ini merupakan riak yang biasa. Jangankan seorang Bupati, nabi sekalipun banyak juga yang ditentang kaumnya. Dan saya meyakini penentangan itu tak terkait dengan keberadaan MMS, demikian namanya disingkat, sebagai seorang pemimpin perempuan.
Di luar berbagai hal yang ditentang, kita juga harus mengakui usaha-usaha beliau sebagai kinalang (pemerintah) dalam memecahkan berbagai persoalan yang menimpa paloko (rakyat). Dan usahanya yang paling spektakuler adalah mendekatkan pelayanan kepada rakyat dengan memperkecil wilayah pemerintahan melalui pemandirian beberapa daerah didalam tubuh Bolmong. Melalui kebijakannya, saat ini Bolmong telah mempunya empat Kabupaten dan satu Kota. Dengan memekarkan Bolmong ini, MMS telah mengukir prasasti di hati rakyat. Terlebih beliau bertekad untuk memandirikan Bolmong Raya menjadi Provinsi.
Dengan uraian ini, dengan memperhatikan berbagai fakta di seluruh pelosok dunia, dengan tidak mempersoalkan gender, saya rasa kita perlu bersepakat bahwa kepemimpinan perempuan tak perlu dipersoalkan. Bahkan harus diberi apresiasi positif. Karena itu pula saya sangat memahami keingin berbagai kalangan dalam masyarakat untuk mengajukan tokoh perempuan dan Bupati Bolmong, Ny. Marlina Moha Siahaan di Pemilihan Gubernur Sulut 2010 nanti. (Anuar Syukur, owner RUMAH DINANGOI, Motoboi Kecil)
»»  LANJUTKAN???...

Dunia Penulisan Kita

Pada Sabtu, 8 Agustus lalu, karena desakan kawan-kawan di Angkatan Muda Muhammadiyah yang ada di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Kota Kotamobagu dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Bolmong serta bantuan dari beberapa donatur yang ikut prihatin, saya dipaksa menerbitkan tulisan saya berbentuk novel walau dalam terbitannya sederhana yang kemudian diluncurkan.
Ada banyak komentar tentang kegiatan ini. Bisa dikatakan rata-rata menilai kegiatan ini tidak sukses karena hanya dihadiri sedikit orang. Dari sini mereka menilai bahwa dunia penulisan memang tak punya tempat di tanah Totabuan karena di sini penulisnya sangat sedikit, begitu juga pembacanya.
Saya sendiri justru optimis. Alasannya, kegiatan ini merupakan inisiatif dari sekelompok anak muda yang sadar bahwa dunia penulisan memang penting diperhatikan. Merekalah kader penulis di masa yang akan datang. Meminjam Pramudya Ananta Toer, semangat dan kemudaan mereka yang akan membangun dunia penulisan di daerah kita. Kita tak perlu banyak penulis, orientasi kita juga jangan hanya untuk dibaca oleh masyarakat di daerah. Karena itu, kuantitas yang hadir di kegiatan tersebut tidak menjadi ukuran. Bagi saya kegiatan ini sukses.
Mengapa menulis?
Dengan berbagai argumen, mulai dari rakyat butuh makan bukan tulisan, butuh pekerjaan bukan kertas bertinta, butuh bangunan pisik bukan omong kosong di atas kertas, dan lainnya, dan sebagainya. Semua pandangan ini mengarah ke satu pertanyaan, mengapa menulis?
Awalnya saya punya pertanyaan yang sama. Sejujurnya, awalnya saya hanya melihat para senior yang kelihatan dihargai karena mereka menulis. Dan ketika kaki saya mulai menapaki dunia penulisan, kebanggaan bercampur kepongahan yang pertama muncul. Betapa tidak. Para senior, sambil menepuk pundak saya mengatakan bahwa saya akan menjadi penerus si ini atau si itu. Itu ketika saya berada di kampung besar bernama Jawa di mana persaingan dalam segala hal sangat ketat. Bangga jugalah, anak pelosok bisa bersaing di Jawa.
Tapi, seiring waktu, orientasi pada kebanggaan rasanya tak punya nilai. Bangga, emangnya mau dijadikan apa dan akan membawa kita ke mana? Orientasi harus dirubah, tapi apa?
Satu hal yang membuat saya bertahan di dunia penulisan ketika berada di rantau adalah kebutuhan. Alhamdulillah menulis bisa sedikit mengurangi beban orang tua karena di rantau profesi penulis “dihargai”. Kemudian, ketika bersama kawan-kawan mendiskusikan persoalan daerah, muncullah ide untuk mengangkat citra melalui tulisan. Sutasoma, kalau tak salah, telah mengangkat citra Jawa melalui Negara Kertagama. Seorang Andrea Herata telah menghidupkan kampung halamannya yang nyaris mati melalui “Laskar Pelangi” sampai akhirnya kampungnya menjadi salah satu daerah wisata. Dan masih banyak lagi contoh lain.
Daerah kita, dalam diskusi kami waktu itu, mungkin benar merupakan daerah yang besar, kuat dan berkuasa. Kita bisa meng-iya-kan pandangan ini karena di Sulawesi Utara kerajaan besar di masa lalu memang hanya Bolaang Mongondow. Namun semua itu hanya dituturkan sehingga tidak cukup mengangkat daerah kita, bahkan bisa dikatakan saat ini kita tenggelam.
Melihat kondisi ini, orientasi penulisan dirubah. Tulisan di media di Jawa selalu saja dikaitkan dengan daerah. Saking getolnya saya menulis tentang daerah ketika di Jawa sampai-sampai di anggap terlalu sukuisme. Tapi, orientasi telah dipancangkan, pantang untuk undur. Pulang kampung, walau oleh banyak pihak dipandang sebagai langkah mundur namun bagi saya ini langkah maju untuk membangun daerah. Think globaly action localy, kata Jhon Naisbith di Megatrend 2000. Berpikir mendunia tapi bertindak di lokal. Dalam bahasa kawan-kawan aktivis, memulai saat ini dan di sini!
Penulis perlu Mengemis?
Walau pahit harus diakui bahwa impian ternyata tak sesuai dengan kenyataan. Dari gegap gempita Bogor ke pelosok Malang, hanya butuh tak sampai satu semester untuk menyesuaikan diri. Padahal waktu itu terlalu banyak orientasi yang dilakoni. Ketika pulkam, dengan satu tujuan, yaitu menghidupkan dunia penulisan di daerah, ternyata sangat susah. Nyanda’ gampang sayang, kata seorang teman.
Saya sendiri hanya sanggup bergurau melihat kondisi ini. “Wajar, kita dari Bogor ke Malang, sampai di sini nasib yang malang,” itu yang sering kuguraukan. Atau: “Ini risiko klan Syukur, segalanya disyukuri sehingga tak ada yang bersimpati.”
Terlepas dari gurauan, sesungguhnya ini keluhan. Keluhan yang serius. Terlebih ketika tahu bahwa ada milyaran rupiah untuk pengadaan buku (dari media, di Bolaang Mongondow dana pengadaan buku jumlahnya 5,1 M, belum lagi di wilayah Bolaang Mongondow Raya yang lain). Tapi ketika kita bicara tentang dunia penulisan ternyata tak ada dana.
Ada yang bilang, karena saya tak minta sehingga muncul alasan tak ada dana. Ini membingungkan. Mengajukan proposal dengan rincian pembiayaan apakah bukan pertanda meminta? Apa di daerah kita ada cara lain meminta dana untuk suatu keperluan?
Ada lagi alasannya, katanya karena saya tidak mengejar. Mendengar ini, saya teringat pada pengemis di salah satu filmnya Warkop DKI, ketika yang diminta bilang tak ada uang kecil maka dia bilang: “Berapa Bapak mau memberi? Ada kembaliannya, kok!”
Luar biasa kalau begini. Berarti penulis memang perlu mengemis!
Tapi, oke lah, tak jadi persoalan. Seorang penulis harus konsisten pada tulisannya, bukan pada yang lainnay. Mengemis merupakan bagian dari yang lainnya itu. Jadi tak soal jika memang diharuskan untuk mengemis. Tapi, bagaimana caranya? Seumur-umur saya tak tahu bagaimana cara mengemis yang baik. Jadi, tolong ajarkan saya.
Komitmen Bersama
Saya memang sangat siap melakukan apa pun untuk pengembangan dunia penulisan di daerah kita, bahkan mengemis sekalipun. Tapi kita harus sadar dulu bahwa dunia penulisan memang perlu dikembangkan. Tanpa kesadaran ini, mengemis sekalipun rasanya tetap akan membuat dunia penulisan terpuruk karena tak akan menghasilkan sebuah komitmen bersama. Komitmen bersama ini akan mengarahkan kita untuk membuat program aksi demi kemajuan daerah.
Banyak hal yang bisa kita lakukan di dunia penulisan. Mulai dari memperkenalkan budaya daerah, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, berbagai kebijakan, dan lainnya. Kita bisa menjadikan Bolaang Mongondow Raya seperti kampung Laskar Pelangi yang sekarang ramai karena dinovelkan dan difilmkan. Kita tak hanya mengatakan kebesaran Bolaang Mongondow Raya di lisan tapi benar-benar diperhitungkan di luar.
Tapi komitmen semua pihak harus ada sehingga masing-masing bisa menyumbangkan sesuai kemampuannya untuk memajukan dunia penulisan. Alangkah baik jika kita bisa bergandengan tangan tanpa melihat pada siapa seseorang berpihak (secara politis) maupun melihat dari sudut SARA. Alangkah cepat kita maju jika pengambil kebijakan membuat kebijakan yang membuat dunia penulisan dapat berkembang, masyarakat memberikan masukan apa yang perlu dunia penulisan lakukan, mereka yang berada di luar daerah ikut mempromosikan dunia penulisan di daerahnya, dan lainnya, dan sebagainya.
Jika ini yang terjadi, Insya Allah dunia penulisan akan ramai. Bibit-bibit penulis akan muncul laksana jamur di musim penghujan karena mereka mendapatkan kepastian bahwa dunia mereka diperhatikan. Bibit-bibit penulis ini tak akan merecoki panggung politik, panggung PNS, dan lainnya. Dengan sadar dan ikhlas mereka akan memberikan peluang pada yang lain untuk menjadi politisi maupun PNS. Kalau tidak, mereka akan menjadi jamur yang mematikan untuk yang lain.
Lebih dari itu, mereka akan menjadi kolaborator pihak luar yang memberi mereka peluang. Atau lebih memilih memikirkan nasib sendiri dan tak mempedulikan daerah yang sesungguhnya dia cintai. Jangan salahkan mereka kalau berbuat begini.
Kita dilarang untuk bilang bahwa mereka tak cinta daerahnya, mereka lebih memilih membesarkan orang atau daerah lain. Wajar. Ketika pintu rumah sendiri diketuk tapi tetap tertutup maka wajar jika mereka mengetuk pintu rumah yang lain. Rasa terimakasih mereka tentu pada pihak yang telah membukakan pintu.
Epilog
Ini bulan Ramadhan. Kita diminta untuk lebih banyak merenung, semoga tulisan ini bisa menjadi bagian dari perenungan kita. Semoga hasil perenungan itu akan berbuah komitmen untuk memajukan dunia penulisan. Semoga!
***
(Anuar Syukur, owner RUMAH DINANGOI, Motoboi Kecil)
»»  LANJUTKAN???...

The Big Dream of Provinsi Totabuan

Anuar Syukur SH*

Pada tahun 1996, seorang teman sesama kader HMI Bogor yang juga aktif di Himpunan Pelajar dan Mahasisa Indonesia Gorontalo (HPMIG), Sri Mulyani Lalijo, bertanya pada saya apakah Bolaang Mongondow akan terus bersama Sulawesi Utara atau akan bergabung dengan Gorontalo?
Saya tak kaget karena keinginan Gorontalo untuk menjadi Provinsi sudah lama didengungkan. Yang mengejutkanku adalah pertanyaanya yang begitu pasti seakan Provinsi Gorontalo jadi besok padahal menurutku sangat imposible. Soeharto tak membuka peluang waktu itu, juga opini di Sulawesi Utara memandang pemisahan Gorontalo tidak visible. Karena itu, pertanyaannya kujawab juga dengan sesuatu yang (kurasa) imposible: Bolaang Mongondow juga akan mandiri menjadi sebuah Provinsi!
Jawabanku yang sedikit didorong ego memang mengisyaratkan pada teman saya itu bahwa kalau cuma mimpi akupun bisa. Namun alangkah kaget dan malunya saya ketika Provinsi Gorontalo terbukti tak lama setelah reformasi. Untunglah waktu itu saya sudah di timur Jawa dan sudah tak pernah bertemu dengannya.
Jujur saja sampai detik ini saya masih berpikir jawaban yang tepat kalau kami bertemu. Mungkin akan kukatakan bahwa daerahnya diuntungkan oleh reformasi. Tapi jawaban ini riskan. Bisa jadi dia akan balik nanya: kenapa kalian tak memanfaatkan reformasi? Akhirnya kuputuskan untuk mengatakan bahwa tekad rakyat Gorontalo telah mengguncang singgasana Tuhan sehingga Tuhan memberikan apa yang mereka harapkan. Jawaban yang fatalis dan terkesan goblog namun hanya aku yang kena.
Pembentukan Provinsi Gorontalo, selain telah lama juga berjalan secara sistematis. Pemerataan opini tentang pentingnya kemandirian Gorontalo dilakukan serta panitia dibentuk. Kerja panitia tak hanya melobi Provinsi maupun pusat tapi juga melobi orang-orang kuat di kedua wilayah agar dapat berjuang bersama-sama, bahkan panitia serta rakyat dapat memperkuat posisi orang-orang kuat tersebut atau memunculkan orang kuat lain yang benar-benar konsern untuk mewujudkan cita-cita rakyat. Individu atau organisasi yang dapat membentuk opini juga dibantu. Saat di Malang, Forum Mahasiswa Peduli Daerah (FMPD) Bolaang Mongondow sempat menghadiri seminar yang diadakan HPMIG Malang di mana yang dihadiri tokoh-tokoh Gorontalo di Jawa serta mendatangkan beberapa pejabat berkompeten dari pusat.
Tekanan dari seluruh elemen masyarakat Gorontalo ini telah menempatkan Gorontalo dalam gerbong pertama pemekaran.
Sekarang, bagaimana dengan Bolaang Mongondow yang saat ini sedang getol mengopinikan pembentukan Provinsi? Siapa-siapa orang kuat yang telah ditempatkan di daerah, Provinsi maupun pusat entah di eksekutif maupun legislatif? Siapa atau mana-mana kelompok—baik di daerah, Provinsi, maupun pusat—yang mampu menggalang opini sehingga cita-cita rakyat Bolmong akan tercapai? Jika kita telisik, harus kita akui Bolmong belum punya semua perangkat itu.
Di pusat sebenarnya ada beberapa orang yang selama ini telah membangun kekuatan di sana. Mereka punya jaringan yang baik tapi belum punya kedudukan walau beberapa sudah bisa mempengaruhi kebijakan. Mereka bisa diperjuangkan untuk menjadi orang kuat di pusat. Di Provinsi kita telah kehilangan seorang Drs Syachrial Damopolii yang telah dua periode memimpin Dewan Provinsi. Semoga hasil Pemilu ini akan mendapat pengganti yang tepat. Di daerah orang-orang kuat kita saling tikam hanya karena ingin memperjuangkan kepentingan. Walhasil, kita nyaris tak punya orang kuat yang bisa mempengaruhi kebijakan dalam mewujudkan cita-cita masyarakat Totabuan di semua tingkatan.
Dari segi penggalangan opini, nyaris semua individu maupun kelompok justru menumpukan opininya ke daerah di manapun dia berada. Walhasil, semua menjadi hebat ketika di daerah sementara di luar Bolaang Mongondow tak ada apa-apanya. Jika tak mengundang tersinggung, saya ingin katakan kita bagai katak dalam tempurung.
Memang sungguh berat mengopinikan Bolaang Mongondow di luar. Saya dan teman-teman sempat mencoba. Di mulai dari Forum Mahasiswa Peduli Daerah (FMPD), kemudian berlanjut ke Perhimpunan Putra Totabuan (Pinotaba). Kedua organisasi ini (kalau bisa dikatakan begitu) merupakan organsiasi yang benar-benar mandiri, sekali kami mendapatkan data dari daerah tapi tak pernah dalam bentuk rupiah. Dengan modal patungan kami mencoba mengurai tentang Totabuan pada orang luar. Dua kali kami menerbitkan buletin “Putra Totabuan” dan membuat website yang beralamat www.geocities.com/putratotabuanonline, sebuah website gratis karena kami tak punya uang. Namun sampai kami pulang, kami belum sampai pada memperkenalkan potensi di tanah kelahiran karena kami diharuskan menjawab pertanyaan di mana dan apa itu tanah Totabuan. Karya kami ini, terutama website masih bisa Anda akses namun tentu tak update lagi. Saat ini Pinotaba sama dengan lainnya yang hanya bisa bersuara di dalam rumah. Ya, mirip kodoklah!
Karena kondisi ini, kita harus menerima dengan lapang dada jika para Uyo’ dan Nanu’ yang seharusnya menjadi duta daerah tak banyak bersuara di luar sana. Kita juga harus maklum jika banyak putra Totabuan yang mengaku dari Manado jika di luar seakan Totabuan hanya tempat persinggahan.
Dalam kondisi ini, Provinsi Totabuan—atau apapun namanya—hendak dilahirkan. Kita baru melahirkan saja sudah susah, apalagi ketika akan membesarkan.
Melihat kondisi sekarang, Provinsi Totabuan nyaris seperti mimpi besar. Namun, bagaimanapun mimpi ini harus diwujudkan. Seperti bangsa Indonesia yang meredeka berbekal sebuah mesin ketik, Bolaang Mongondow-pun harus berani melakukan ini. Tapi ketika mimpi ini terwujud, kita harus segera bangkit. Jangan lagi seperti binombulow yang bekerja dengan mata tertutup. Kita harus bangun dengan sebenar-benar bangun dalam memperbaiki semuanya.
Kita harus memikirkan penempatan orang-orang kuat di tiap tempat, orang-orang kuat yang benar-benar memperhatikan rakyat. Kita harus bisa membentuk individu maupun kelompok yang mampu mengopinikan tanah Totabuan.
Kata orang, Gorontalo besar karena mereka mampu mengopinikan. Kenapa kita tidak bisa seperti mereka? Mungkin juga kita takut karena setitik karyapun kita belum punya!
***
* Penulis adalah Putra Totabuan, tinggal di Motoboi Kecil-Kotamobagu Selatan
»»  LANJUTKAN???...

Kamis, 01 Oktober 2009

Satani

Satani
Oleh Anuar Syukur


Wanita cantik itu datang padaku bersama buntalan pakaian. Masih muda. Pipi padat memerah, juga bibirnya merekah. Manis, polos, lugu—khas gadis desa. Dia duduk di hadapanku, bersimpuh. Bagian tubuhnya mengintip di balik pakaiannya. Kepolosan yang menggairahkan!
Mau apa dia ke sini? Mau jadi pembantu?
“Hamba bukan ingin jadi pembantu, Tuan. Tapi hamba ingin mengabdikan hidup hamba pada Tuan,” katanya masih dengan bersimpuh.
“Mengabdi? Tanpa imbalan?” tanyaku tak percaya.
“Ya, Tuan, tanpa imbalan! Hamba akan melayani Tuan lahir batin.”
Aku semakin terperangah. “Lahir batin? Tanpa imbalan?”
“Ya, Tuan, itu keinginan hamba!”
Aku tersenyum. Berulang kali aku memandanginya, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sempurna, desisku dalam hati. Cantik, sensual, menggairahkan. Pikiran kotor mulai merayapi pikiranku. Aku ingin segera menyeretnya!
“Ampuni hamba, Tuan, hamba punya satu permintaan!” sambungnya menghentikan pikiran kotorku.
“Apa itu? Uang? Mobil? Ruma? Bicara saja, jangan sungkan!”
Aku tak berpikir panjang lagi. Untuk wanita secantik dan sepolos ini memang tak perlu pemikiran panjang. Gadis ini bukan hanya polos dalam ucapannya tapi juga polos dalam penampilannya, penampilan khas pelosok yang alami. Selama ini telah banyak wanita yang kukenal luar-dalam, namun belum pernah dengan wanita seperti ini. Gairah menyelimutiku. Aku tak sabar lagi menunggu.
“Apa permintaanmu? Katakanlah, jangan ragu!” desakku.
“Hamba tidak minta yang Tuan sebutkan tadi. Hamba hanya melayani, bukan memiliki!” Bibir merah tanpa gincu itu berhenti, “tapi hamba berharap pelayanan hamba direstui oleh sesembahan hamba.”
“Langsung saja, tak usah bertele-tela,” ujarku mulai kalap. Hasrat sudah menyelimuti ubun-ubunku.
“Mohon jangan marah, Tuan. Hamba hanya minta Tuan menikahi hamba terlebih dahulu.”
“Apa? Menikah? Jangan ngaur, to!” ujarku terbelalak.
“Tidak, Tuan, hamba tidak ngaur. Itu hamba minta agar pelayanan hamba direstui sesembahan hamba. Itu keharusan bagi hamba, Tuan. Jika Tuan mengabulkan, hamba akan ssegera melayani apa pun permintaan Tuan.”
Hasrat sudah menguasaiku sepenuhnya. Sepengetahuanku, ada kiyai yang membantu menikahkan pasangan-pasangan yang menginginkan pernikahan of the record. Ah, pasti dia akan membantuku! Apalagi kalau ditimbuni uang!
“Baiklah, kita berangkat sekarang,” kataku tidak sabar.
“Ke mana, Tuan?”
“Ya, menikah! Kamu ini bagaimana?” tukasku kesal dan bingung.
“Hamba hanya mengabdi, Tuan, tidak layak menikah di depan orang,” dia berhenti, mungkin menungguku memotong namun aku tak melakukannya, “Tuan mengatakan bahwa Tuan menikahi hamba itu sudah cukup. Hamba tak punya pilihan karena mengabdi sudah pilihan hamba!”
“Ha—ha—ha—“ Aku terbahak mendengar permintaan ganjil itu. Ganjil tapi sangat mudah. Aku mengira dia akan menyeretku ke depan pengadilan agama yang akan menjadi gosip terhebat di awal abad 211 ini. Ternyata tidak. Menimbuninya dengan segunung uang saja aku rela, apalagi hanya memenuhi permintaannya yang ganjil ini. Bicara “aku menikahimu!” saja, mana susahnya?
“Baiklah, baiklah,” ujarku setelah tawaku reda, “siapa namamu?”
“Marni, Tuan!”
“Satani, Tuan!”
“Satani? Ha—ha—ha—“ Kembali aku terbahak. Perempuan secantik ini kok bernama Satani?! Tapi pikiranku telah dipenuhi hawa lain, “nah, baiklah, Satani. Aku menikahimu dengan setulus jiwa dan perasananku,” lanjutku formal tapi dengan bibir tersenyum.
Tiba-tiba terdengar bunyi bergemuruh dan halilintar menyambar, kemudian . Aku tak bgitu mempedulikannya. Bagiku, itu hanya fenomena alam. Apalagi aku akan segera menikmati bulan madu, entah untuk ke berapa kalinya. Semua yang ada di dalam maupun di luar diri terlupakan sudah.
Aku segera menyeretnya. Dia pasrah.
Luar biasa perempuan ini. Tapi menikmati yang luar biasa harus sedikit-sedikit. Aku mempelajari ini dari sekian banyak pengalaman. Lagi pula, kulihat dia lelah. Ah, perempuan kampung. Betapa beruntungnya aku!
Maka, kubiarkan dia istirahat. Dan dia pun langsung lelap.
Tiba-tiba, bumi bergoncang keras. Kupandangi sekeliling. Lukisan wanita setengah bugil, Julia judulnya, yang tergantung di dinding tengah kamar bergoyang ke kiri dan ke kanan seolah penari hippies yang hendak membangkitkan birahi. Bagai tersengat listrik aku melompat dan memeluk lukisan yang hampir jatuh itu. Tidak, aku bukan hendak bermesraan dengan lukisan, betapapun cantiknya dia. Aku pria normal yang tak mungkin dapat bercinta dengan bayang-bayang. Aku pria normal, yang mungkin kelewat normal!
Lukisan itu harganya, aku dapatkan dari lelang amal, katanya untuk korban banjir di Malang Selatan. Pemborosan! Tapi, demi gengsi semua itu tak ada artinya. Pemborosan? Aku rasa tidak! Amal baikku tetap terjaga berkat lukisan itu. Bahkan untung. Kemarin aku korupsi tiga ratus juta tanpa seorang pun yang curiga. Bagaimana mereka akan curiga? Bukankah aku pejabat mulia yang telah menyumbang untuk korban banjir?
Bumi diam kembali. Julia kuletakan kembali di tempatnya. Di ranjang aku melihat Satani masih pulas. Selengkung senyum menghias bibirnya. Aku heran. Tidakkah dia merasakan gempa tadi? Julia saja hampir jatuh, mengapa Satani tidak terusik? Dasar ular! Ah, bukan. Satani bukan ular. Dia hanya kebo bego yang menyelinap dalam hidupku. Yah, dia hanya kebo bego yang datang untuk mengabdi luar-dalam dengan pernikahan anehnya.
Aku menatapnya. Cantik sekali dia ketika tidur. Apalagi dengan lengkungan senyum itu. Kuulurkan tangan hendak meraba pipinya yang mulus. Aneh, tanganku tak sampai. Aku mendekatinya, mengulurkan tangan lagi. Sama saja. Aku coba beberapa kali tapi nihil.
Kemudian, bumi berguncang dahsyat. Lebih dahsyat dari yang pertama. Di luar kudengar angin menderu-deru, halilintar bersahutan. Aneh. Marni masih asyik dengan mimpi-mimpinya. Kucoba membangunkannya namun tanganku tak pernah sampai.
Praaang…
Julia jatuh tak tertolongkan. Kacanya berserakan, bingkainya berhamburan. Oh, hancur sudah amalku! Kupandangi Julia yang tak berbingkai lagi. Aneh. Julia memudar, memudar dan terus memudar sampai yang tersisa hanya sketsanay. Dan sketsa itu juga menghilang sehingga yang tertinggal hanya kanvas yang catnya juga mulai memudar sampai yang tersisa hanya sulaman benang.
Kualihkan pandangan. Apa? Semua jadi suram dan tak menggairahkan lagi. Ke mana cat-cat yang kubeli dengan harga mahal itu? Ke mana cat-cat yang anti bakar dan anti karat itu? Bunga plastik dalam jambangan warnanya juga memudar. Semua jambangan menghilang, entah ke mana.
Aku berlari ke brankas penyimpanan barang-barang dan beberapa ratus juta uang tunai. Uang tunai itu yang kugunakan untuk berfoya-foya dengan wanita lain. Untuk menggunakan uang di bank aku takut diketahui isteriku. Dalam urusan seperti ini, isteri penghalang!
Apa? Mataku terbealak tak percaya. Berlian dan emas simpananku tak ada bedanya dengan batu biasa dan besi rongsokan. Kemilaunya menghilang. Uang simpananpun tak lebih dari kertas bekas yang tak ada harganya.
Aku pernah mendengar bahwa manusia tak pernah mencipta. Manusia hanya berkarya. Ya, manusia hanya merajut dan menjalin bagian demi bagian ciptaan Tuhan kemudian mengklaim sebagai ciptaannya. Mungkinkah warna-warna dibarang ‘ciptaan’ manusia itu telah kembali ke penciptanya?
Syuuur…syuuur…
Angin di luar menggelora.
Buuuk…buuuk…
Nampaknya angin telah mencabut segala yang dilewatinya dan mencampakan di tembok kokoh rumahku. Ah, apalagi ini? Apakah tsunami akan memorak-morandakan daerah ini?
Praaang…
Kaca jendela kamar pecah. Angin menerobos membawa sekeping pecahan besar yang hampir mengenaiku. Untung aku pernah belajar silat waktu mahasiswa dulu. Bukan untuk menyerang atau mmpertahankan diri, tapi untuk memikat teman-teman mahasiswiku yang tergila-gila pada mahasiswa perkasa.
Angin terus mengamuk, menerbangkan sebagian kaca yang masih tertinggal dibingkainya. Sebagian kaca itu mengarah ke tubuh Satani namun berhamburan menjadi kepingan-kepingan halus sebelum mengenai tubuhnya, dan sebagian lagi masuk ke tubuhnya tanpa meninggalkan bekas. Ajaib! Tubuh Santani punya kekuatan menghancurkan dan menyerap pecahan kaca itu. Aku mencoba berbuat seperti dia. Sekeping pecahan kecil aku tantang. Aduh! Untung pecahan itu hanya mengenai paha kananku. Ah, aku tak bisa seperti Satani.
Angin terus menerobos, semakin kencang. Barang-barang di dalam kamar terlemparkan. Bumi bergoncang bertambah keras seakan mengimbangi angin. Semua benda di lemari sudut kamar jatuh berhamburan. Sebentar lagi langit-langit dari beton akan jatuh. Sejenak aku melihat Satani. Dia masih puas. Dasa ular, umpatku. Segera kuulurkan tangan lagi, kali ini sampai. Tubuhnya aku guncangkan.
“Ada apa, Tuan?” tanyanya tanpa ekspresi.
“Ayo keluar dari rumah keparat ini.” Aku lengsung menyeretnya.
Baru satu langkah dari pintu kamar…
Buuuk…
Langit-langit kamar runtuh. Aku terus menyeretnya ke luar. Aku tak dapat lagi mengemasi barang secuilpun. Yang ada di pikiranku hanya menyelematkan diri dari bencana ini.
Di luar, suasana lebih menyeramkan. Pohon-pohon beterbangan laksana kapas ditiup angin. Di angkasa, bintang jatuh ribuan banyaknya. Halilintar menyambar-nyamar. Hujan terus mengguyuri bumi.
“Banjir,” ujarku sambil memandangi air yang mengalir di depanku. Aliran itu bertambah, bertambah, dan terus bertambah. Bumi pun seakan mengeluarkan air.
“Ayo, Tuankita ke sana,” ajak Santani.
Aku memandaangi telunjuk Marni. Aneh. Mengapa di depan rumah ada vila padahal aku tak pernah membangunnya? Alangkah klasik dan mengerikan vila itu. Bentuknya seperti setan yang aku lihat di komik anakku. Beberapa detik kemudian, mulut bangunan itu terbuka dan keluarlah gadis-gadis seksi berwajah anjing. Aku muntah namun tak ada cairan yang keluar dari mulutku.
“Ayo,Tuan, mereka telah menunggu kita,” ajak Santani lagi.
“Tidak! Aku tidak mau!”
“Tidakkah Tuan melihat membawa nampan berisi bunga-bunga untuk menyambut kita? Lihatlah! Lihatlah, Tuan! Betapa mereka mengagungkan Tuan,” bujuk Marni.
“Tidak, Santani! Aku tidak akan bergabung dengan setan-setan itu!”
“Apa?” suara Santani menggelegar mengagetkanku. Sontak aku memandanginya. Aku kaget setengah mati. Yang ada di sampingku sekarang bukan lagi Satani yang cantik dan polos melainkan gadis seksi berkepala anjing, tak ubahnya dengan gadis-gadis di vila itu. Spontan aku lepaskan genggamannya.
“Pergi—pergi—menjaulah dariku,” teriakku ketakutan.
“Hai manusia,” katanya dengan suara yang lebih menyeramkan lagi, “kau telah menikahiku. Tak mungkin kau lupa itu. Sekarang, masuklah ke golonganku!”
“Tidak! Aku tak pernah menikahimu setan durjana, iblis laknatullah! Aku tak mengakui pernikahan itu.” Emosi telah mengalahkan ketakutanku. “Jadi kamu yang menyebarkan kerusakan ini? Dasar setan!”
“Tidak, hai manusia! Kau telah mengabdi padaku jauh sebelum mengenalku. Tidakkah kau sadari bahwa di setiap diri perempuan yang kau tiduri hanya untuk melmpiaskan nafsu di situ ada aku? Juga di setiap lembar rupiah yang kau korupsi di situ ada diriku! Dasar manusia bodoh!”
Aku menggigil. Baru sekarang aku menyadari betapa salah jalan yang telah aku tempuh.
“Tidak! Aku tak mau! Aku ingin brtobat!”
“Apa? Bertobat? Ha—ha—ha—ha.” Taringnya menyembul. “Tidakkah kau ketahui hai turunan Adam, ini Hari Penghabisan?!”
“Apa? Hari Penghabisan? Kiamat?”
“Ya, kiamat hai turunan Adam! Tidakkah kau melihat benda-benda langit saling bertabrakan? Tidakkah kau rasakan bumi bergoncang? Inilah kiamat hai turunan Adam! Waktumu sudah habis! Mau tak mau kau haru ikut denganku sekarang.”
Marni menjepit leherku dan menyeretku ke kelompoknya. Aku terus berontak namun tenagaku kalah. Dia terus menyeretku melewati banjir yang sekarang telah mejadi banjir bandang. Kepalaku timbul-tenggelam. Aku mulai sulit bernapas. Aku megap-megap. Apalagi ketiak Satani busuknya luar biasa.
Saat seperti ini aku ingat Tuhan. Aku terus berdzikir mengharapkan ampunan-Nya.
“Bangun, Pa, bangun!”
Mataku terbuka. Wajah isteriku pertama kali terlihat. Dia masih mengenakan mukena, mungkin baru selesai melaksanakan tahajud. Dan jua di sana aku dengan orang mengaji.
“Mimpi buruk, ya?” tanyanya.
Aku hanya diam. Memandangi sekeliling. Semua warna seakan telah kembali. Persyukuran terucap di bibirku. Ternyata kiamat hanya di mimpi, dan aku masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Tak lama kemudian adzan subuh dikumandangkan. Segera kulangkahkan kaki, bewudu dan mengimami sholat berjamaah dengan isteri dan anak-anakku.
***
Malang, 16 Juli 2004
»»  LANJUTKAN???...

Seribu Lima Ratus

A. Totabuan Syukur
Yang namanya mahasiswa mungkin harus seperti ini. Ke mana-mana, kalau masih dekat ya jalan kaki, kalau sudah agak jauh dan kebetulan punya uang ya naik angkutan, dan jika sudah jauh sekali maka naik kereta. Lumayan, praktis dan ekonomis! Memang mahasiswa harus belajar brhemat, apalagi bagi anak rantau miskin seperti aku yang tidak tentu kirimannya.
Dan siang ini, aku naik kereta ke Bangil untuk keperluan yang tidak dapat ditunda lagi. Seperti biasanya, kereta yang aku tumpangi penuh dan terpaksa aku duduk di pintu. Kereta mulai berjalan, di setiap stasiun penumpang terus bertambah. Nampaknya sebagian besar penumpang hendak ke Surabaya, kota metropolitannya Jawa Timur.
Di stasiun Lawang, di antara penumpang yang naik, ikut juga seorang lelaki dengan pakaian kumal dan compang-camping, brewoknya tebal dan kelihatan menyeramkan. Nampaknya kaki kanannya putung, dia bergerak merangkak dengan menopang pada tangan kirinya, sedang tangan kanannya mengepal terus. Ya Tuhan, ternyata tangan kanannya bukan mengepal tapi jarinya memang sudah tidak ada.
Orang ini benar-benar menyeramkan sekaligus memilukan! Aku ingin membantunya ketika naik tapi aku takut juga.
Akhirnya dia berhasil naik, dan dengan acuh duduk di sampingku. Bau tubuhnya langsung menyengat namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Di kereta kelas ekonomi seperti ini kita harus memaklumi sikap maupun penumpang yang ada di dalamnya.
Pikiranku menerawang, mengira-ngira apa yang terjadi pada orang yang duduk cuek di sampingku ini. Dari penampilannya yang sangar, aku menduga dia mantan jawara yang kena sial. Mungkin dia kalah dalam pertarungan memperebutkan wilayah operasi—entah di pasar, terminal, atau tempat lain di mana para preman berkeliaran menarik “uang keamanan”. Kekalahannya ini yang membuat jari tangan kanannya tandas dan kaki kanannya putung. Dugaanku ini yang membuat aku tak bersimpati.
Beberapa saat kemudian dia menarik-narik sesuatu di kantongnya dengan tangannya yang masih sempurna, dan keluarlah rokok murahan. Dia mengambil sebatang, dengan tangannya yang berjari lengkap menyalakan korek api dan membakar rokok itu, kemudian menghisapnya dalam-dalam. Nampaknya dia sangat menikmati rokoknya. Dia merokok dengan memejamkan mata, mungkin merenungkan sesuatu. Setelah beberapa hisapan, dia diam. Ternyata dia tidur, dengkur halus teratur terdengar. Aku bingung, dalam kereta yang melenggak-lenggok sepeti ini dia masih bisa tidur. Rokoknya terus mengepulkan asap.
Seorang wanita datang dari gerbong lain. Pakaiannya kumal dan rambut awut-awutan, tubuhnya nampaknya belum tersentuh air. Wanita itu menenteng plastik bekas wadah sabun. Aku hapal dengan penampilan orang seperti ini: pasti dia pengemis!
Rupanya wanita itu tak ingin mengemis. Dia langsung duduk di samping lelaki itu dan membangunkannya. Apa dia ingin mengemis pada si lelaki? Heh!
Bersamaan dengan terbangunnya si lelaki, api rokoknya yang sudah kandas menyentuh kulit tangannya. Bagai tersengat listrik, dia mengibaskan tangan dan rokok yang tinggal puntung itu melayang hampir mengenaiku. Lelaki itu memandangku sekilas, mungkin dia merasa bersalah namun tak ada kata maa yang keluar dari bibirnya. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke wanita itu.
“Kalau tidur rokoknya dimatikan to, Kang, eman!” ujar si wanita.
Si lelaki tidak menanggapi. Dia sibuk mengelus tangannya yang terbakar. “Kamu sudah makan?” dia mengalihkan pembicaraan.
“Belum, Kang. Aku baru dapat ini.” Si wanita memajukan plastik bekas wada sabun.
Si lelaki tak memperhatikan tingkah wanita itu. Dia sibuk membuka tasnya dan keluarlah sepotong singkong rebus. “Makanlah!” ujarnya.
“Nanti saja, aku belum lapar.”
“Makanlah, aku sudah makan!”
Wanita itu tetap menolak.
“Makanlah, nanti kamu sakit,” si lelaki mendesak.
Akhirnya si wanita mengambil juga singkong itu dan segera makan dengan rakus.
“Anak-anak kamu tinggalin apa tadi?”
Wajah si wanita langsung berubah. Dia mengembalikan singkong yang baru dimakannya sebagian. “Aku tinggalin seribu lima ratus. Hanya itu yang tertinggal kemarin, entah cukup untuk mereka.”
Lelaki itu terdiam. Dari percakapan mereka aku dapat menyimpulkan bahwa mereka pasangan suami istri alias pasutri yang punya beberapa orang anak. Nampaknya mereka pasutri yang bertanggung jawab namun terbelit kesusahan hidup. Aku tak tahu apakah perkawinan mereka resmi atau hanya kawin-kawinan. Menurut beberapa penelitian yang aku baca, entah ikhlas atau difardukan oleh dosen, banyak perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang seperti pasutri disampingku ini ternyata tidak resmi. Istilah teman-teman, mereka hanya kawin tapi tidak nikah.
“Mereka pasti sanggup mendapat tambahan. Kemarin saja Slamet dapat sepuluh ribu dan Inem lima belas,” si lelaki menghibur, “Tak usah terlalu dipikir, makanlah! Kalau kamu sakit, siapa yang merawat mereka?”
“Aku sudah kenyang, Kang.”
Lelaki itu tak mendesak lagi. Dia memejamkan mata, kelihatannya dia capek sekali.
“Sudah dapat berapa, Kang?”
lelaki itu mengeluarkan semua yang ada di kantong dan tasnya kemudian si wanita menghitung.
Si wanita memulainya dari uang kertas. Aku melihat ada dua lembar lima ratusan kumal dan sembilan lembar seratusan yang juga kumal; berarti ada seribu sembilan ratus rupiah uang kertas kumal. Wanita itu memandangku dengan mata melotot seakan aku hendak mencuri penghasilan suaminya. Segera kualihkan pandangan. Wanitu itu melanjutkan penghitungan. Sekarang dia menghitung uang logam. Aku tak berani memandangnya lagi tapi aku bisa ikut menghitung dari gemerincing yang yang jatuh ke plastik bekas wadah sabun itu.
Satu, dua, tiga—sepuluh—dua puluh—tiga puluh—empat puluh—empat puluh tiga. Ternyata gemerincing uang logam berhenti pada hitungan ke empat puluh tiga. Jika ditambah uang kertas berarti penghasilan total si lelaki enam ribu dua ratus rupiah.
Di mataku, yang didapatkan lelaki itu luar biasa besar. Waktu baru menunjukan pukul sepuluh, jika dia menggunakan sisa waktu hari ini bisa jadi akan mendapatkan lebih dari dua puluh ribu rupiah. Jika dikali tiga puluh hari, penghasilannya enam ratus ribu sebulan. Itu baru dari si lelaki, jika ditambah penghasilan isteri dan anak-anaknya, penghasilan mereka bisa melebihi satu juta sebulan.
Aku hanya menggelengkan kepala membayangkan penghasilan yang didapatkan keluarga pasutri yang berpakaian kumal di sampingku ini. Penghasilan sebanyak itu beberapa kali lipat di atas kiriman bulananku. Dan jelas di atas gaji bapakku yang hanya pegawai rendahan.
Sepengetahuanku, seperti yang banyak ditulis, pengemis seperti kedua pasutri ini diorganisir rapih dan profesional. Mereka punya jaringan yang luas dan solideritas kelompok yang tinggi. Penghasilan mereka yang besar itu dipergunakan untuk membangun kehidupan keluarganya sehingga kebanyakan mereka punya rumah serta fasilitas hidup yang lengkap dan mewah. Mereka memang terlihat papa di sini, tapi di kampungnya mereka kaya raya.
Tapi, ke mana larinya uang sebanyak itu? Jika dipikir-pikir, keduanya bisa kaya raya dan mendapatkan segalanya dengan penghasilan sebesar itu. Tapi keduanya masih mengeluh juga. Nasib anak mereka yang hanya dibekali seribu lima ratus tadi sebagai bukti. Aku mulai berpikiran negatif. Menurutku, keduanya hanya pasutri pemboros yang tak tahu diri. Keduanya takpernah tahu dan sepertinya tak ingin tahu bahwa mencari uang itu sulit dan hanya menghambur-hamburkannya seperti itu. Keduanya memang tak pernah merasakan sulitnya mencari uang. Cukup dengan mengandalkan pada kekurangan pisik dan kebranian membuang harga diri dengan menadahkan tangan, keduanya telah mendapatkan penghasilan yang demikiran besar. Dasar orang-orang tak tahu malu! Aku hanya bisa menggerutu karena karena nyaliku keder juga melihat kebengisan yang terpancar dari wajah si lelaki.
“Masih ada lagi, Kang?”
Nampaknya wanita itu belum puas dengan penghasilan suminya. Dasar wanita tak tahu bersyukur!
“Hanya itu—sudah tidak ada—periksa saja sendiri!” nampaknya si lelaki kesal juga dengan pertanyaan isterinya.
“Jangan marah to, Kang!”
“Kamu dapat berapa?”
“Hanya ini!” Si wanita menjulurkan logam seratusan. “Teman-teman terlalu banyak di alun-alun, padahal yang memberi hanya sedikit.”
“Kamu pindah saja kalau terlalu banyak tman, ndak usah ngotot pada teman sendiri.”
“Mau pindah ke mana, Kang? Di tempat lain storannya lebih banyak dan sudah ada yang menempati,” wanita itu memperhatikan suaminya sebentar. “Tadi Tomo mengusirku karena ndak nyeotor. Yang aku dapatkan baru seratus, bagaimana aku dapat nyeor, Kang?!”
Lelaki itu terdiam. Pandangannya menerawang, kemudian meredup. “Sudah, ndak usah diladeni,” katanya pasrah.
Wanita itu hanya diam. Mungkin dia berpikir juga, suaminya saja sudah pasrah seperti itu, apalagi dirinya yang hanya wanita miskin lemah. Mungkin juga lelaki itu punya pengalaman buruk dengan orang bernama Tomo yang akhirnya membuat dia takut membela isterinya.
“Bagaimana keadaan Juminten ketika kamu tinggalkan?”
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, nampaknya ada yang mengganjal di pikirannya. “Badannya masih panas. Sebenarnya aku tak ingin meninggalkannya, tapi mau apalagi?! Kamu saja hanya dapat segini, mau makan apa nanti kalau aku tak ikut, Kang?” katanya lemah.
“Sebaiknya kamu pulang saja, bawa semua yang kudapat sekarang. Seribu lima ratus tak akan cukup untuk mereka berdua!”
“Slamet dan Inem pasti akan mendapat tambahan!”
“Jadi, Inem tak menjaga Juminten?”
“Tidak, Kang! Kalaupun dia kusuruh menjaga Juminten, dia pasti akan keluyuran juga. Makanya Juminten kutitipkan pada Mbok Mina!”
“Mi, Mi. Kamu ini bagaimana, to? Kamu tahu kan Mbok Mina tidak senang pada anak-anak. Kalau Juminten jatuh lagi seperti dulu, apa yang akan kita lakukan? Aku tak punya uang lagi untuk mengobatinya!”
wanita itu diam saja mendengar ucapan si lelaki.
“Ya, sudah. Sampai di Surabaya, kamu langsung pulang saja, urus Juminten! Aku akan mencari tambahan dulu, mungkin pulang setelah magrib. Yang yang kudapat sekarang kamu bawa saja semua.” Si lelaki menyodorkan semua yang dia dapat tadi.
“Tapi, kalau semua, kamu makan pakai apa, Kang?”
“Gampang itu! Yang penting kamu segera mengurus Juminten! Kalau panasnya belum turun, kamu belikan obat. Tanyakan pada Pak Katmi obat apa yang manjur.”
“Kalau kamu tak dapat tambahan seperti kemarin, kamu mau makan apa?”
Lelaki itu terdiam, mungkin nyalinya jadi kecut. Aku tak dapat menerka apa yang terjadi dengannya kemarin.
“Bawa saja semua. Yang penting Juminten sembuh. Kalau hanya makanku, itu tak masalah!”
“Jangan makan dari tempat sampah lagi, Kang. Makanan di sana sudah basi semua, dan kotor. Nanti perutmu sakit lagi.”
Ya Tuhan, kalimat itu mluncur dalam hatiku. Makan dari tempat sampah? Seperti anjing saja! Perutku tiba-tiba mulas. Seumur-umur aku belum pernah mendengar langsung penuturan seperti ini. Sebenarnya banyak yang menuliskannya namun aku tak percaya. Menurutku, tulisan-tulisan itu hanya provokasi pihak-pihak yang kurang pada pemerintah. Namun tak mungkin aku mengecap provokator pada dua orang di sampingku ini. Mereka tak bohong! Lagi pula untuk apa mereka berbohong?
Aku mulai mengoreksi pandanganku terhadap pasutri di sampingku ini. Nampaknya mereka bukan bagian kelompok pengemis yang punya jaringan dan rasa solideritas seperti yang sering aku baca. Mereka pengemis mandiri atau mungkin pengemis terbuang dari kelompoknya namun tak dapat lari dari dunia pengemis karena hanya itu yang bisa mereka lakukan. Perasaanku berubah dari kurang senang ke rasa iba.
Siapa yang tidak iba pada nasib mereka yang harus menanggung hidup sendiri dan anak-anak yang salah satunya mungkin sedang sakit. Lagi pula lapangan kerja mereka telah dikuasai kelompok dari golongan lain yang hanya memanfaatkan orang-orang seperti keduanya untuk kepentingan sendiri. Kelompok ini telah kaya raya dengan mengeksploitasi kekurangan pisik dan materi orang lain, dan tidak ingin orang lain yang tidak mau taat pada aturan kelompok ikut serta di dalam walau orang itu lebih berhak dan lebih membutuhkan. Mereka akan melakukan apa saja—mengintimidasi, memukul, bahkan membunuh sekalipun.
Hidup menjadi keras bagi pasutri ini. Aku tak mungkin mampu hidup di dunia mereka, aku hanya dapoat berempati.
Apa juga kerja pemerintah? Pemerintah memang banyak berbicara tentang penanggulangan kemiskinan, tapi pemerintah malah melakukan yang sebaliknya. Pemerintah menambah deretan kaum miskin dengan menggusur tempat tinggal mereka atau tempat usaha mereka. Menggusur, menggusur begitu saja! Menggusur tanpa membangun! Dan tak hanya itu, pemerintah juga mengkorup uang rakyat.
Stasiun Bangil sudah dekat. Aku harus turun. Aku memandang iba ke pasutri di sampingku ini. Kurogoh kantong, ternyata masih ada seribu lima ratus di dalam. Begitu sampai, kumasukan uang itu ke plastik bekas wadah sabun yang sudah kosong itu. Si wanita memandangku, mungkin heran dengan pemberian yang tidak lumrah itu.
“Sangu suamimu selama mencari tambahan pengobatan Juminten. Entah cukup untuknya,” ujarku yang semakin membuatnya bingung.
***
Malang, 30 Juli 2004
»»  LANJUTKAN???...

SALURAN KEHORMATAN


Oleh: A. Totabuan Syukur

Suara bising aku dengar disampingku. Di susul sentuhan-sentuhan ketubuhku. Apa ini? Aku mencoba membuka mata. Ah, kelopak mataku lengket, seakan ada lem yang merekatkannya. Tapi aku terus mencoba. Berhasil. Yang pertama kali aku lihat adalah wajah teduh seorang lelaki berpakaian putih-putih. Di mana aku?
“Dia sudah siuman, dia sudah siuman,” teriak lelaki itu.
Aku merasa badanku digerayangi. Apa yang hendak mereka lakukan pada tubuhku? Aku mencoba bangkit.
“Siapa nama anda? Di mana alamat anda? Siapa yang bisa kami hubungi... “seorang lelaki berbaju putih lain tiba-tiba muncul dan memuntahkan pertanyaan. Sementara yang lain masih sibuk menggerayangiku.
“Ada apa?” tanyaku. Aku tak mempedulikan pertanyaan yang meragukan eksitensiku itu. Apa benar mereka tak tahu siapa aku?
“Ah, Anda kecelakaan. Untung tidak parah,” katanya, “Jadi, namamu siapa? Di mana alamatmu? Siapa keluarga yang bisa kami hubungi?...
Apa? Kecelakaan? Ya, benar, aku baru saja mengalami kecelakaan. Bayangan kejadian itu kembali tampil seolah hendak menyajikan rekontruksi.
Aku sedang mengendarai motor butut dengan sedikit gerutuan. Bagaimana tidak. Istriku hanya memperbolehkanku mengendarai motor butut padahal di rumah ada tiga mobil mewah. Katanya, dia takut kupergunakan kendaraan itu untuk memikat wanita lain. Heh, dasar istri keparat.
Tapi dia memang benar. Hari ini aku hendak merayu Lastri, ABG yang ayu dan semok itu. Aku memang sempat ragu untuk menemuinya dengan mengendarai motor butut, tapi kantongku penuh rupiah. Aku yakin dia tak akan menolak. Toh, kemarinpun rupiah ini telah menjeratnya sehingga jatuh kepelukanku walau hanya semalam.
Hasrat menyelimutiku ketika mengendarai motor butut itu. Benda keparat yang seharusnya sudah dicemboren itu aku pacu dengan kecepatan penuh. Tujuanku cukup jauh. Aku harus memacu dam memacu kecepatan motor butut itu. Tak ada hal lain dibenakku selain Lastri. Aku ingin, sangat ingin, terlalau ingin, memeluknya seperti malam yang lalu.
Oh, lastri, aku datang. Akan kurangkai rupiah dalam kantongku ini untuk menutupi tubuhmu yang indah itu. Oh...
Tiba-tiba saja, seorang berlari menyeberang jalan. Setir aku banting, rem aku injak....
“Pak, pak.” Hanya itu yang aku dengar. Mataku terkatup. Gelap.
Aku kembali tersadar. Matakau terbuka perlahan. Seorang perempuan cantik berbaju putih bersih berada dilatar yang putih juga.
“Dia sudah siuman,” teriak perempuan cantik itu.
“Tutup mulutmu, kamu sangat tidak sopan,” terdenga teriakan seorang lelaki.
Perempuan cantik itu berlalu dari hadapanku berganti sosok lelaki keparat yang meragukan eksistensiku tadi. Aku menjadi muak padanya.
“Apa kau tak mengenaliku?” kataku lebih menyerupai kecaman.
“Oh, maaf, pak. Wajah bapak sulit dikenali tadi. Tapi sekarang tidak lagi,” katanya dengan senyum munafik, “Kami sudah menghubungi istri bapak tapi beliu sedang sibuk. Mungkin sebentar lagi akan kesini. Tapi tak perlu cemas, bapak berada di tangan yang tepat. Sekarang bapak berada di ruang isolasi. Kami perlu melakukan berbagai hal untuk memastikan kondisi bapak. Selain itu, kami akan memindahkan bapak keruang VIP. Ruang VIP itu fasilitasnya lengkap....”
Aku muak mendengar penjelasannya. Aku yakin dia bukan dokter. Mungkin bagian merketing. Kalau pun dia dokter, aku rasa bukan seperti ini tingkah seorang dokter.
Aku memalingkan muka pongah. Ada perasaaan pongah dari sikapku itu. Di mataku sikap lelaki itu sangat tidak terhormat. Deg. Jantungku berdenyut keras. Detak jantungku menggiringku kepertanyaan atas perbuatanku selama ini. Apakah perbuatanku juga terhormat? Aku telah berencana untuk melakukan perselingkuhan yang entah untuk ke berapakali; aku tak sanggup lagi menghitungnya. Apakah perselingkuhan termasuk pebuatan orang terhormat?
Ini memang bukan perbuatan terhormat, kata hatiku. Tapi. Aku punya alasan untuk melakukan. Istriku super sibuk. Pergi menjelang fajar, pulang tengah malam kemudin menjadi patung yang tergeletak di kamar mewah kami. Mungkin tidak tepat kalau dikatakan patung karena dia bisa mengatakan “selamat tidur” yang dususul nafas teratur. Sekali-kali dia menjadi manusia, atau tepatnya menjadi wanita normal yang telah menikah. Dan dia selalu mengatakan puas.
Tiba-tiba aku merasakan kantong kemiluhku penuh. Kantong yang menjadi tempat penampungan limbah cair dalam tubuhku itu sekarang penuh. Aku merasakan, isinya melebihi kapasitas. Kantong itu, aku rasa mulai membesar. Mungkin dia seperti karet, elastis. Tapi keelastisannya nampaknya sulit dipertahankan lagi. Keelastisannya sudah melampaui titik jenuh. Dia sudah sulit ditarik kekiri-kanan, ke atas-bawah. Air limbah aku rasa terus mengalir menuju kantong penampungan itu. Akau dapat merasakan alirannya. Dan setiap tetes limbah itu masuk kepenampungan, aku merasakan sakit yang luar biasa.
Aku merasa kantong itu akan meledak membawa serta serpihan diriku. Aku tak tahan lagi. “Hei, apa kalian ingin mengotori ruangan ini?” teriakku.
Seorang berlari. “Ada apa, pak?”
“Kantong kemiluku sudah penuh.”
“Iya, tahan dulu ya, Pak,” katanya dan langsung berlari. Dia kembali dengan membawa ceret bermulut besar itu. Aku tersenyum dalam hati. Rupanya dia benar-benar tak ingin ruangan putuh bersih ini tercemari limbahku. Memang tak seorang pun yang menginginkan tercemari limbah ini. Mungkin kerena itu didirikan bangungan khusus pembuangan limbah.
Aku berusaha mengeluarkan limbah itu tapi tak berhasil. Tak setetespun yang keluar. Salurannya mampet. Seolah ada penghalang. Aku mengerahkan kekuatan.
“Sabar, Pak. Biarkan saja dia mengalir seperti pancuran. Tak perlu dipaksa,” kata orang itu.
Sialan, umpatku dalam diam. Aku sudah bersabar tetapi tetesan limbah itu tak juga muncul. Aku terus berusaha.
“Sabar, Pak,” katanya lagi, “Limbah itu akan mengalir dengan sendirinya kalau kantongnya sudah penuh.”
“Sabar katamu,” kataku menahan emosi, ”Apa kau tidak lihat perutku sudah membuncit? Isi kantongku sudah melebihi kapasitasnya.”
“Iya, Pak. Coba lagi.”
Aku berusaha lagi sehingga menyerupai orang yang mengeluarkan limbah lain yang lebih padat tapi salurannya lain juga. Memang tak bisah mengerahkan kekutan penuh karena sakit di kepala membuatku harus tertidur. Aku terus berusaha tapi tak kunjung berhasil. Setetespun tak ada yang mau keluar.
Ah, mungkin salurannya terlalu lentur sehingga alirannya tak lancar. Dari balik selimut aku gerakkan tangan, menari-narik saluran itu, mencoba agar dia keras. Apa ini? Teriakku dalam diam.
Wahai, mengapa kau menyiksaku seperti ini, rutuku dalam hati. Biasanya kau langsung bertingkah begitu melihat keindahan, bahkan jangankan sampai melihat, hanya mencium keindahan pun kau langsung bertingkah. Tapi, begitu aku membutuhkanmu di saat menyiksa begini, kau justru diam.
Wahai, di mana tingkahmu yang memaksaku lari dari satu keindahan ke keindahan lain, selain keindahan istriku. Mengapa kau hanya mau bereaksi terhadap dosa? Mengapa kau tak memenuhi fungsimu di saat seperti ini?
Aku terus mengulangi gerakakn sebelum aku menikah.tapi, saluran itu tetap lentur dan tak setetes pun limbah yang mengalir. Tiba-tiba, aku mendengar suara dari...saluran limbah itu.
“hai pikiran mengapa kau salahkan aku, bukankah kau yang menuntunku untuk melakukan itu? Bukankah kau yang memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa pindah dari satu keindahan kekeindahan lain di luar keindahan yang telah diperuntukan padaku? Hai nurani, mengapa kau membiarkan aku berpindah-pindah seperti alu yang bisa menunbuk di setiap lesung? Aku sudah punya lesung sendiri, mengapa kau membiarkanku mencari lesung lain? Hai nafsu, mengapa kau terus menyeret-nyeretku terus. Mengapa kau tak pernah bisa menahan diriku begitu melihat, bahkan membuai keindahan. Engkau sudah punya tempat yang terhormat, di mana segala yang kebesaranmu bisa kau umbar. Tapi mengapa kau memaksaku juga. Kau telah menyeret-nyeretku seolah aku hanya budak yang bisa saja memenuhi segala keinginanmu.”
Aku mendengar suara sesenggukan dari saluran limbah itu. Tapi tak setetespun cairan yang mengalir dari sana. Aku tertunduk mendengar gigatan itu. Kemudian aku mendengar lagi gugatan dari saluran limbah itu.
“sekarang kau katakan hanya saluran limbah. Saluran yang hanya mengalirkan kotoran, busuk, tak diharapkan. Pernah kah kau memikirkan funsiku ketika kau sehat? tidak! Kau tak perna memikirkanku. Di saat seperti ini kau baru merengek, menghiba, memohon agar aku mengembalikan fungsiku. Selama kau sehat, kau hanya menjadikan alu...alu yang menumbuki semua lesung keindahan. Sampai, pemilik keindahan itu mencercaku. Mengatakan aku sebagai perusak.”
Sekali lagi terdengar sesunggukan tanpa cairan.
“apakah kau perna memikirkan aku sebagai saluran kehormatan? Yah, aku adalah saluran kehormatanmu dan hanya satu-satunya saluran kehormatanmu. Ah, bahkan aku dalah kehormatanmu. Tanpa aku, kau tak mungkin mendapatkan kehormatan. Di tengah ke papaanmu kau sama sekali tak berharga dihadapan istrimu yang kaya itu. Untunglah aku menempel pada tubuhmu, yang membuat istrimu mau menghiba dan memohon. Setelah kau menjadikanku sebagai alu yang bisa menumbuk lesung mana saja, dia sebenarnya sangat ingin meninggalkanmu tapi dia tak ingin berpisah denganmu karena aku. Karena aku.”
Sesunggukan tanpa cairan lagi.
“dan, hanya menganggapku sebagai saluran limbah yang hina. Ah,kau memang tak bisa diberikan kehormatan. Ya, kau memang tak seharusnya diberi kehormatn. Termasuk aku, tak layak lagi berada ditubuhmu....”
“tidaaaak....” selimut aku lemparkan. Juga ceret bermulut besar itu. Aku tak memikirkan lagi derita dari kantong limbah cair itu. Aku tak merasakan lagi tetes demi tetes yang mengalir dalam kantong penampung itu. Aku tak merasakan lagi pembesaran yang terjadi pada kantong itu, yang membuat perutku semakin membuncit. Yang ada dalam pikiranku hanya membangkitkan kembali kehormatan. Atau, mungkin juga mengembalikan kehormatanku.
Para suster yang cantik terdengar menjerit. :”dia gila,” kata mereka sambil menutup mata dengan lima jari yang terbuka. Aku tak peduli. Aku terus membangkitkan kehormatanku, menghilangkan kelenturan dalam saluran limbah tak berfungsi. Bayangkan istri meninggalkanku membuatku ngeri. Bahkan aku tak berharap kedatangannya disaat aku tak punya kehormatanku seperti ini.
Aku terus mencoba seperti kesetanan.
“bapak tak usah memaksakan diri,” kata seorang lelaki berpakaian putih sambil menarik tanganku.
“lepaskan,” kataku sambil berontak, “aku ingin mengembalikan kehormatanku.”
Lelaki itu tersenyum yang menyejukan, kemudian dia berkata seolah mengerti apa yang ada dipikiranku, bapak hanya trauma. Kehormatan bapak akan kembali lagi.”
“benarkah?” tanyaku tak percaya.
“iya, sebaiknya limbahnya dulu yang dibuang,” katanya seakan tahu deritaku, “ambilkan selang itu, perintahnya. Selimut yang menutupi tubuhku kembali dikenakan.
Seorang lelaki lagi datang membawa selang kecil.
“nah, sekarang bapak berbaring tenang. Selang kecil ini akan mengelurkan limbah dalam perut bapak.”
Aku mengangguk saja. Lelaki itu mulai meraba di balik selimut, memegangi saluran limbahku...ah, bukan, itu saluran kehormatan, bukan saluran limbah. Aku hampir berontak tapi aku urungkan.
Dia menyingkapkan selimut.
“aduh, ringisku. Aku merasakan ada yang masuk ke saluran kehormatanku.
“tahan ya, pak,” kata laki-laki itu. Dia terus memasukan selang kecil itu. Aku terus meringis. Selang itu masuk lebih kedalam. Saluran kehormatanku seperti dirobek.
“nah, sudah selesai,” katanya, “coba bapak keluarkan limbah diperut.”
Aku mecobahnya. Kali ini aku merasakan limbah itu mengalir lancar. Aku dapat merasakan perpindahan limbah cair itu dari penampungan limbah dalam tubuhku.
Aku bangun dalam kaget. Nyeri luar biasa menerpa saluran kehormatanku. Apa yang terjadi? Ah, rupanya saluran kehormatan itu kembali ke asalnya. Ke posisi yang benar-benar terhormat. Dan siap melaksanakan fungsinya. Aku meringis. Nyeri masih terasa. Rupanya saluran kehormatan itu telah melahap sebagian selang yang menjadi penyambung dengan kantong penampung limbah cair dalam tubuhku. Uh, beginilah rupanya kalau benda lembut bertemu dengan benda kasar. Nyeri luar biasa.
Senyum mengembang di bibirku. Saluran kehormatan itu telah pulih. Bayangan lestari melintas.ABG ayu dan semok itu mebuatku bersemangat. Ada hhasrat untuk mencobahkan saluran kehormatan yang baru pulih ini pada lesrati. Tapi, aku segera tersadar. Lestari hanya lesung yang semua alu bisa menumbuknya. Dan, sekarang aku tak ingin ikut. Ah, entah mengapa kesadaran ini baru datang sekarang.
Bayangkan lestari berganti dengan bayangan istriku. Ah, istriku masih muda. Belum tiga puluh. Dia sebenarnya sama saja dengan lestari. Sekaran, aku merindukannya. Aku ingin berbisik denganya seperti saat malam pertama. Aku ingin memberi kepastian padanya tentang berfungsinya saluran kehormatanku. Ah, ini bukan hanya saaluran kehormatan. Ini kehormatan. Tak ada lagi kehormatan lain yang kupunyai selain ini. Kehormatanlain-kedudukan dan kekayaan-semua milik istriku, yang dia terima dari pendahulu-pendahulunya. Tapi, tentang kehormatan yang satu ini, aku penguasanya. Istriku sendiri mengakui. Ah, istriku, aku rindu padamu....
“Ada yang bisa kami bantu, Pak?” tanya seorang lelaki yang berlari ke arahku.
Aku tersenyum padanya. Dia tahu apa yang ada di pikiranku. “Apakah selang keparat ini bisa dilepas? Aku tak memerlukannya lagi!”
“Sebaiknya jangan dulu, Pak. Dia tak akan mengganggu saluran kehormatan Anda.”
Nah, benar kan, dia tahu yang kupikirkan! “Isterikut sudah datang?”
“Sudah, Pak. Apa Anda ingin bertemu dengannya?”
“Iya! Iya! Panggilkan! Cepat!” kataku tak sabar.
Lelaki itu seperti dibawa angin. Dia begitu cepat menghilang dari hadapanku. Ah, alangkah enaknya jadi orang terhormat. Walau…kehormatan ini sebenarnya milik isteriku. Kecuali yang satu ini, tentu…
Tak lama kemudian sosok wanita masuk. Isteriku. Dia nampak cantik dan sangat menggairahkan sekarang. Jauh lebih menggairahkan daripada Lastri. Mungkin dia belum pulang. Pakaian kerja yang minim itu masih tertempel di badannya.
Aku meringis. Saluran kehormatanku kembali beraksi yang memunculkan rasa nyeri. Tapi ringisan berganti senyum. Tak apa. Saluran kehormatanku bereaksi untuk isteriku.
“Sayang, engkau tak kehilangan apa pun dari diriku.” Kemudian aku mengoceh panjang tentang kepulihan saluran kehormatanku.
Dia hanya tersenyum. “Sayang,” bisiknya halus, memotong bicaraku. “Andaipun saluran kehormatanmu tak berfungsi, kau tak perlu berdosa padaku…”
Aku tersenyum. Dia benar-benar isteri yang setia dan bijaksana. Aku benar-benar merasa berdosa telah mengkhianatinya. Bayangan Lastri kurobek dalam angan.
Kemudian dia melanjutkan, masih dalam tutur kata yang halus. “Kau sama sekali tak perlu merasa berdosa, Sayang. Karena aku tak akan merasa kehilangan. Toh aku sudah menemukan yang lain, yang lebih mempunyai kehormatan daripada dirimu. Kehormatan fisik dan batin. Tak hanya kehormatan fisik seperti kamu. Selamat tinggal, Sayang!”
Setelah mengatakan itu, dia bangkit meninggalkanku. Rasa nyeri sekarang pindah. Jauh ke lubuk hati. Ke nurani. Tempat kehormatanku yang sebenarnya bersemayam.
Aku tak memerlukan saluran limbah ini!
(Motoboi Kecil, 19 November 2006)
»»  LANJUTKAN???...

Prasasti

Oleh A. Totabuan Syukur


“Kita harus membangun membangun prasasti bagi orang-orang yang telah berkorban untuk kampung kita, Kang,” kata Suli.
“Untuk apa?” sentak suaminya, Parman, “mereka hanya sekedar mati. Ya, mati! Tak perlu dibuatkan prasasti segala!”
“Prasasti itu penting, Kang! Selain untuk mengenang kepahlawanan mereka…”
“Kepahlawanan katamu?!” potong Parman membentak. Dia membuka baju, bekas luka terlihat di dadanya. Sambil menunjuk-nunjuk bekas luka itu dia berkata: “Apa kau tidak lihat bekas luka ini, hah? Apa kau sudah lupa pada luka yang kau obati sendiri ini? Apa derajat mereka yang mati lebih tinggi daripada luka yang kuderita? Mereka enak, Sulis! Mereka tak lagi merasakan penderitaan hidup. Sedangkan aku? Pensiun saja tak cukup untuk membiayai luka dalam yang aku derita! Masyarakat juga tak menghargaiku. Luka ini tak ada nilainya bagi mereka!” Parman mendadak sedih. Kemudian amarahnya bangkit lagi. “Sekarang kau minta aku mendirikan prasasti buat mereka. Buat mengenang kematian mereka? Mengapa tak kau pikirkan nasib kita sendiri yang masih hidup, yang telah memberikan darma bakti kita untuk negara tapi telah menderita di tengah keedanan zaman ini. Mengapa kau tak mempedulikan pengorbanan kita yang tak pernah diperhitungkan? Mengapa kau lebih mengurusi orang mati? Orang mati!”
Seperti biasa, Sulis segera menghindar etika bongkahan amarah berbalut romantisme masa lalu dan kesengsaraan hidup sekarang diungkap Parman. Sulis tak pernah berdebat, tepatnya tak ingin mendebat. Di sisi relung hatinya juga ada luka! Luka yang hanya tersembuhkan jika prasasti berdiri!
Tinggalah Parman sendiri meratapi nasib. Bekas luka itu sebenarnya tak sakit, tapi ketidakpedulian masyarakat membuat lukanya itu perih. Masyarakat memang senang mendengar cerita tentang asal luka itu, apalagi luka itu dia kaitkan dengan sejarah kampung. Tapi mereka tak memberikan tempat yang layak untuknya. Masyarakat hanya memberi tempat sebagai pendongeng dan pengusir hantu untuk lukanya itu. Sedangkan tempat yang dia impikan, sebagai Kepala Kampung, justru diberikan pada orang lain yang katanya pandai, anak sekolahan, seorang sarjana.
Parman sangat tahu sejarah kampung, bahkan lukanya merupakan sejarah kampung. Tapi, pimpinan malah diberikan pada anak muda yang sama sekali tak mengetahui sejarah kampung. Beh!
***
“Engkau melihatnya juga?” tanya seseorang.
“Iya, aku melihatnya!” sahut ang lain.
“Iya, aku juga melihatnya! Bajunya yang putih itu sungguh mengerikan, belum lagi wangi-wangian yang dia bawa. Hiii,” tambah yang lain, ngeri!
Kampung yang tenang itu tiba-tiba geger. Sosok berbaju putih dengan wewangian kubur, bau bunga kamboja, muncul di mana-mana. Hampir setiap warga kampung melihatnya. Yang belum melihatnya dengan mata pisik telah melihatnya dengan mata batin. Anak-anak minta ditemani walau hanya ke kamar kecil yang ada di dalam rumah. Hantu memang selalu membuat takut anak-anak. Kali ini, orangtua juga takut!
Kepala Kampung yang sarjana itu bingung. Cara mengusir hantu yang ada di buku telah dia terapkan tapi tak juga mempan. Ini masalah yang irasioanl, batinnya. Karena itu, buku tak mungkin bisa mengatasi. Akhirnya dia mendatangi Parman, yang oleh masyarakat dipandang ahli masalah perhantuan.
Parman tak langsung memberikan apa yang diharapkan Kepala Kampung. Dia tak ingin dipandang hanya pengusir hantu, dia ingin dipandang punya pengetahuan juga seperti Kepala Kampung yang sarjana.
“Dulu, di sekitar kampung ini merupakan hutan lebat. Di hutan lebat itu dihuni para dedemit. Tapi, begitu kalian moncrot, dewasa, dan sekolah, keberadaan mereka kalian kesampingkan. Nah, wajar kalau sekarang dia menunjukan diri.”
Apa benar begitu? Kepala Kampung yang sarjana berpikir.
“Nak, keberadaan mereka bukan hanya tahyul, lho. Keberadaan mereka juga ada di Kitab Suci. Nah, kita ini bertetangga dengan mereka; walau tentu mereka tidak kelihatan. Sebagai tetangga yang baik, kita harus saling menghormati, saling memberi. Dan bicara tentang memberi, ada caranya. Kita siapkan sesaji untuk mereka!”
Kepala Kampung masih sulit percaya, bagaimanapun toh dia sarjana, jadi harus masuk akal! “Itu pemberian kita! Pemberian mereka?”
Parman tersenyum. “Yang nyata adalah rasa aman. Dan yang tidak nyata, tentu tidak bisa kita lihat. Lha wong wujudnya saja tak bisa kita lihat, apalagi barang pemberiannya. Iya, to?!”
Walau masih belum percaya namun Kepala Kampung harus yakin. Bagaimana tidak? Cara yang dia percaya selama ini ternyata tak mampu mengusir sosok mengerikan itu. Akhirnya, sesajipun disajikan di salah satu pohon besar. Menurut Parman, di sanalah kerajaan dedemit bertahta. Kopi, teh, berbagai panganan, dan bermacam jenis bunga diletakan di sana.
Ternyata, setelah persembahan sesaji itu, sosok itu tak muncul. Ini membuat Parman besar kepala.
“Nah, apa kataku? Kita memang harus meng-orang-kan penunggu kampung kita. Makanya, jangan sok pintar. Bagaimanapun, untuk memecahkan masalah harus dilihat dari sejaranya,” katanya pada orang kampung yang mendatanginya. Sambil bicara dia memegangi dadanya dan meringis. Dia ingin orang kampung memperhatikan luka di dadanya. Luka itu juga bagian dari sejarah kampung!
***
Ketidakmunculan sosok itu sedikit mengangkat posisi Parman dari sekedar pendongeng dan pengusir hantu. Sekarang dia dipercaya menjadi pemelihara pohon itu. Dia yang memimpin upacara pemberian sesaji. Dan untuk itu dia mendapatkan sedikit rupiah, yang kalau dikumpul lumayan juga.
Agar masyarakat lebih percaya, dan dia mendapat keuntungan yang lebih, hampir tiap hari dia ke pohon itu. Memberikan sesaji, setelah itu menyuruh masyarakat mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Ah, ternyata untuk mendapatkan uang tak perlu sekolah tinggi-tinggi! pikirnya.
Dari sesuatu yang hanya sekedar mencari nafkah, akhirnya menanjak ke kesadaran bahwa pohon itu adalah hidupnya. Ini yang membuat Parman khusu’ ketika di sana. Seperti sore itu, dia pun sangat khusu’. Angin yang bertiup kencang membuat pohon seolah berbisik. Daun-daunya bergesekan, juga dahannya. Tapi Parman sedang hanyut.
Tiba-tiba…
“Hai Parman, mengapa kau menghormati dedemit yang tak pernah kau lihat? Sedangkan aku, yang sudah berkorban untuk kampung tak pernah kau pedulikan?!”
Parman kaget luar biasa. Kepalanya mendongak. Mencari asal suara. Bulu kuduknya langsung berdiri. Beberapa meter di hadapannya ada sosok putih dengan wajah hitam seperti jelaga. Sosok itu sungguh menyeramkan.
“Si…siapa kau?” Parman terbata-bata.
“Aku Satria!”
Satria?” Parman tertegun. Ya, memang, itu suara Satria. Tapi, dia kan sudah mati? “A…apa yang kau inginkan?”
“Ha-ha-ha.” Tawa menggema. “Apa kau hanya ingin menghormati dedemit?”
Suara gesekan daun dan dahan pohon membuat Parman semakin merinding ketakutan. “Ti…tidak. Apa yang kau inginkan?”
“Bangunkan prasasti untuk mengenang para pahlawan yang telah gugur di kampung ini. Apa kau mau?”
“Ma…mau”
Sosok itu pun menghilang seperti ditelan malam. Meninggalkan Parman dalam kesendirian. Bayangan masa lalu, yang ingin dia hilangkan, kini tergambar nyata. Bayangan itu tak bisa dia sensor. Bayangan itu tak bisa dia jadikan versi lain, seperti saat dia menceritakannya pada masyarakat. Bayangan itu tersaji apa adanya.
***
Masa peperangan…
“Bangun, Parman. Musuh sudah di perbatasan kampung. Kita harus melawan.”
Parman yang baru terbangun dari tidur bingung, cemas, dan takut. Selama ini, dia sebenarnya tak pernah berperang. Yang dia lakukan hanya bersembunyi. Persembunyiannya tak mungkin diketahui karena kawan-kawannya sibuk mengganyang musuh. Juga kawan-kawannya banyak sehingga tak mungkin memperhatikan satu persatu.
Biasanya ada dua kemungkinan yang terjadi saat perang. Kalau musuh sedikit, kawan-kawannya pasti akan melibas habis musuh. Sedang, kalau musuh banyak atau setidaknya sama, karena kalah persenjataan, komandan akan memerintahkan untuk mundur. Ini kebijakan yang benar-benar bijak karena nyawa harus dihemat, begitu juga dengan senjata dan peluru.
Tapi, bagi Parman, sedikit atau banyak jumlah musuh maka yang dilakukannya tetap: bersembunyi.
Dengan bersembunyi reputasi Parman tetap. Jika musuh kalah maka cepat-cepat dia keluar dari persembunyian, dia akan tampil untuk merampas—tepatnya memunguti—senjata-senjata musuh sambil mencaci maki dan menendang musuh yang telah menjadi bangkai itu. Jika harus mundur maka dia sudah di depan untuk lari.
Reputasinya ini yang dia ceritakan pada orang-orang kampung, terutama pada Mirna, kembang desa yang sangat senang mendengar cerita kepahlawanan. Dan dia sangat senang pada pemuda pemberani. Sudah lama Parman menaruh hati padanya tapi nampaknya Mirna masih menginginkan oleh-oleh yang lebih. Entah, mungkin mata atau kepaa musuh.
Tapi, kali ini dia tak mungkin dapat bersembunyi. Yang menyandang bedil hanya dia dan Parman. Kalau bersembunyi, pasti akan kelihatan. Belangnya akan terbongkar. Dan Mirna akan berpaling padanya.
Mengapa aku pulang? sesalnya. Sebenarnya yang diperintahkan pulang oleh atasannya hanya Satria, entah karena apa. Tapi, karena dia rindu pada Marni, akhirnya dia minta izin untuk ikut Satria dan komandan mengizinkan.
Dor…dor…
Ke mana Satria? Parman memandangi sekeliling. Satria sudah tak ada. Pasti dia yang menembak! ujar hati Parman. Kawannya yang satu ini memang lain. Dia tak pernah sembunyi, dia benar-benar berjiwa ksatria. Satria telah menunjukan keberaniannya dalam berbagai pertempuran. Di pundaknya ada bekas tertembus peluru. Belum sembuh betul tapi dia terus ikut bertempur. Sialan!
Walau mengutuk namun Parman mengambil juga bedilnya.
Dor…dor…
Dasar bodoh. Di sini bukan wilayah perang, di sini yang ada hanya penduduk sipil. Satria salah. Dia telah membangkitkan amarah musuh. Rakyat tak boleh dikorbankan. Aku harus mengingatkan Satria!
Segera Parman keluar. Tapi, yang disaksikannya, rakyat telah bersenjatakan seadanya. Satria juga terus menembaki musuh.
Dor…dor…
“Parman, selamatkan perempuan!” teriak Satria tanpa menoleh, seakan punggungnya punya mata.
Parman bingung. Harga dirinya terusik. Dia merasa Satria menganggap dirinya tak berguna. Menyelamatkan perempuan? Huh!
Parman menggenggam bedilnya. Dia membidik. Tapi sebutir tima panas menghujam dadanya. Parman roboh. Ketakutan pada maut menyelimutinya, yang membuat dirinya melupakan segalanya.
Begitu siuman, wajah gadis cantik berada di sisinya. Bukan Mirna. Ke mana Mirna? Ternyata Mirna telah gugur. Juga Satria. Juga yang lainnya. Mereka tak mampu lagi menunggu bantuan yang datang. Puluhan peluru telah menembus jasad mereka.
***
“Kita harus membangun prasasti, Sulis,” kata Parman pada isterinya.
“Prasasti? Untuk siapa? Untuk para pahlawan yang telah gugur di sini?” isterinya balik bertanya. Parman mengangguk. Isterinya tersenyum tulus. “Kan sudah saya katakan dari dulu, kita seharusnya membangun sesuatu untuk mengenang mereka. Mereka sudah berkorban untuk kita, Kan! Akang seharusnya berterimakasih pada mereka. Karena mereka, musuh terhambat geraknya. Kalau tidak, pasti Akang telah ditemukan musuh, dijadikan tawanan, bahkan bisa jadi dibunuh!”
Parman memandangi isterinya. Perempuan yang telah menolongnya iu masih terlihat cantik, juga tulus, juga polos. Dia tak pernah tahu apa yang terjadi. Dia telah menelan mentah-mentah cerita Parman. Bahwa Parman yang paling dicari musuh. Bahwa Parman yang pertama kali tertembak. Bahwa Parman…
Karena itu Sulis mau dia persunting.
Isterinya sama dengan rakyat. Rakyat juga telah termakan kebohongannya. Bahwa dia punya jimat kebal tapi sayang tidak dia pakai waktu itu. Bahwa dia juga punya ilmu lain.
Rakyat segan padanya karena cerita itu.
Satu hal yang tak pernah isterinya, juga rakyat, ketahu. Dia masih menyimpan bara cinta pada Mirna. Bahkan dia mencemburui kematian Satria dan Mirna. Ini yang membuat hatinya tak tergerak untuk membuatkan prasasti untuk mengenang mereka.
Sekarang pun sebenarnya dia belum siap. Rasa cemburu masih melekat di hatinya. Tidak rasional. Jasad tinggal tulang kok dicemburui! Memang tidak rasioan. Tapi itu yang ada di hatinya.
Sosok yang mengaku arwah Satria sekarang berkelebat di benaknya. Hiii! Buluk kuduk Parman merinding. Dia harus berkampanye agar prasasti itu jadidibangun. Dia siap berdebat dan emnakut-nakuti kalau ada yang dihalangi, termasuk Kepala Kampung yang sarjana tapi goblok itu.
***
akhirnya jadi juga prasasti itu. Cukup megah. Di sana tertulis: DI SINI TELAH GUGUR PAHLAWAN PADA… Selanjutnya deretan nama yang telah gugur. Pada deretan teratas ada nama Satria dan Mirna. Sebenarnya Parman ingin menempatkan Mirna pada deretan terbawah tapi dia takut arwah Mirna akan muncul untuk menuntut, seperti Satria.
Sulis, isteri Parman, menyanyi. Dia menari. Dia memeluk erat prasasti itu, seakan membawanya serta menari. Oh luka, kini kau telah terobati! bisiknya tanpa suara.
Masa peperangan…Sulis muda merasa bersalah. Dia menjalin cinta segitiga. Dengan atasanya, juga dengan seorang prajurit. Sang atasan mendepak halus sang rival dengan memerintahkannya pulang kampung. Tapi, kemudian Sulis dicampakan karena sang atasan akhirnya tahu Sulis telah punya anak dengan sang prajurit. Sulis sadar. Dia mencari sang kekasih tapi menemukan jasadnya tak bernyawa lagi. Rasa bersalah semakin menjadi, menjadi luka. Obatnay hanya satu, prasasti! Ya, prasasti cintanya yang telah mati.
Sekarang, prasasti itu telah berdiri. Luka di hati telah terobat. Saat bernyanyi dan menari, dia dapat melihat senyum sang kekasih. Tanpa sadar dia berseru… “Oh Satria, hanya kau penawar luka…”
Parman melihat semua. Dia pun sadar, dia tak pernah dicintai.
***
Malang, 12 Agustus 2004
»»  LANJUTKAN???...

DENGKUR


Oleh: A. Totabuan Syukur

Nggrrroookk....
Bunyi itu menggema, setiap sisi kamar memantulknya, lukisan sepasang penganten bergetar. Mungkin lukisan itu akan menutup telinganya juga seperti Ina andai lukisan itu bisa menggerakan tanganya. Lukisan itu adalah diri Ina sendiri dan suaminya, Adam, yang sekarang tertidur pulas. Terkadang Ina berpikir lebih menyukai sosok suaminya di lukisan itu ketimbang sosok suaminya yang hidup, pada saat tidur. Dan ketika suaminya bangun, lukisan itu tentuh akan dicampakan. Tapi, apakah ada suami-istri yang hanya berkumpul saat mata terbuka dan berpisah saat mata terpejam?
Apa yang dibenci Ina saat keterlelapan suaminya? Dengkuran! Itu jawabanya.
Sebelum menikah, In tak pernah mendengar bunyi dengkuran karena tak seorang pun pendengkur dirumahnya. Bapaknya tidak, juga ibunya, juga dirinya sendiri. Dan keluarganya memang membenci dengkuran, juga pendengkurnya. Menurut orangtuanya, yang kemudian didoktrinkan padanya, mendengkur hanya ada dikalangan masyarakat yang tak berpendidikan. Argumennya memang tak jelas tapi buktinya ada. Oom-tante Ina yang lulus sekolah rendahg dan menjadi petani di desa pendengkur semua. Sedang orang tuanya walau bukan golongan terpelajar (keduanya hanya lulusan Sekolah Sedang) namun berusaha menjadi golongan terpelajar, yaitu dengan tidak mendengkur. Dan dia, sebagai golongan terpelajar (Ina lulusan Sekolah Tinggi) tidak boleh mendengkur. Karena itu, mereka membenci dengkuran dan pendengkurnya.
Ina tak menyesal telah menikah dengan Adam. Dan dia tak boleh menyesal karena ketidakmenyesalan adalah keharusan yang merupakan tanggung jawab.
Nggrrroookk....
Perkawinanannya dengan Adam merupakan pemberontakan terhadap keterkungkungan, merupakan keterlepasan dari belenggu orang tua. Sebelumnya Ina merupakan anak yang baik dan patuh pada orang tua. Setiap keinginan orang tua pasti dia ikuti. Alasan dia patu karena keterpelajaran. Seorang terpelajar tidak bolen menentang kalau argumennya kalah dan dalam banyak perdebatan Ina telah kalah sebelum berargumen. Orang tuanya memang sangat cerdas, argumen mereka sulit dibantah.
Tapi, ketika orang tuanya menyuruhnya menikah dengan laki-laki pilihan mereka, Ina langsung menolak. Adu argumen tak terhindarkan. Argumen utama Ina, dia tak kenal dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
“Saya yang menjalani pernikahan. Kalau bapak sama ibu hanya menjadikan penikahan sebagai arena saling kenal, tak masalah. Tapi jangan salahkan saya kalau perkawinan hanya berjalan beberapa saat kemudian kami cerai karena ternyata tidak cocok,” ancamnya.
“Apa kamu sudah mengenal laki-laki pilihanmu?” tanya ibunya juga mencoba mengintimidasi.
“Sudah! Saya sudah sangat mengenalnya! Karena itu, saya berani bertanggungjawab. Kami tak akan berpisah!”
karena jaminan Ina maka orang tuanya merestui pernikahannya. Rupanya orang tuanya berpikir bahwa akan lebih memalukan menyaksikan anaknya kawin0cerai daripada kalau dalam penentuan jodoh untuk anaknya.
Ini jujur pada orang tuanya. Dia memang telah mengenal Adam luar0dalam. Pada awal pernikahan Adam tidak mendengkur, sebelum menikahpun tidak. Bagaimana Ina bisa yakin Adam tidak mendengkur sebelum pernikahan? Apakah teman-teman kost Adam yang memberitahukan? Tentu tidak! Ina yang waktu itu masih mahasiswa sangat tidak mempercayai keterangan dari pihak kedua. Istilahnya tidak valid. Dia sendiri yang membuktikan bahwa Adam tidak mendengkur sebelum menikah. Cara membuktikannya? Tak usah diuraikan karena pembuktian semacam ini tidak asing dizaman sekarang.
Lagi pula, Adam benar-benar sosok terpelajar. Indeks prestasinya saat di Sekolah Tinggi selalu mendekati empat, kemudian wisuda dengan gelar kelulusan cum laude. Sebuah perusahaan besar langsung menawarinya begitu dia lulus. Jadi, mana bisa Adam mendengkur? Tapi kenyataannya begitu. Dan Ina belum bisa menjawab pertanyaan itu.
Lalu, sejak kapan Adam mendengkur? Oh ya, Ina ingat. Hari itu Adam di PHK padahal baru beberapa bulan bekerja. Alasannya, perusahaan sedang tertimpa krisi dan mengurangi pekerja tak terhindarkan. Adam dipiih di PHK karena termasuk kalangan terpelajar yang hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Adam merengek pada bosnya, dia menyatakan akan bekerja apa saja asal tidak di PHK. Tapi bosnya tetap menolak. PHK tetap jatuh padanya. Setelah diselidik, ternyata alasan perusahaan karena Adam belum terlatih bekerja profesional. Ya, bagai mana bisa profesional? Adam baru diwisuda! Selama dibangku kuliah dia hanya dijejali teori yang berada di awang-awang.
Adam memuntahkan semua itu pada Ina, isterinya, di rumah. Dia mencaci keterpelajarannya. Malamnya Adam mulai mendengkur. Ya, mendengkur! Ina ingat betul peristiwa itu. Awalnya hanya bunyi napas tertahan, seperti orang tersedak. Kemudia volumenya meninggi.
Nggrrroookk....
Ina cemas. Adam dibangunkan. Tapi kecemasan Ina disambut kemarahan luar biasa Adam. Ina tak bisa berkomentar. Dia sangat maklum. Adam baru kehilangan pekerjaan, kemudian dibangunkan tiba-tiba hanya karena dengkurnya. Tidak adil! Untunglah Ina telah tahu cara klasik seorang isteri memadamkan amarah suami.
Besoknya Adam mengirimkan lamaran ke sana-kemari. Tak satupun yang lolos. Lak ada lowongan,m itu alasan yang diutarakan perusahaan. Adam semakin marah. Ijazahnya tidak laku. Keterpelajarannya tidak dihargai. Gelar cume laude tak diperhitungkan. Akhirnya dia bekerja serabutan. Apa saja. Yang penting bekerja. Tak sesuai dengan tingkat keterpelajaran sekalipun. Malamnya Adam mendengkur. Dengkurannya semakin keran. Mirip orang tercekik. Dan tak terasa sudah lima bulan dengkuran Adam.
Nggrrroookk....
***
Malam baru menunjukan kekelamannya. Tanda siang baru berakhir. Baru setengah tujuh. Adam sudah tergeletak di tempat tidur. Dia sangat capek. Kegiatannya penuh siang tadi. Mengatar surat ke kantor pos tanpa harapan secuilpun. Kegiatan itu menurutnya hanya sekadar menguji keberuntungan saja. Mirip berjudi. Kemudian dia mendatangi kawan-kawannya. Kebetulan ada beberapa kawan yang punya pekerjaan yang bisa dia bantu dengan imbalan yang kecil tentu. Adam sangat capek karena pikirannya terus berjalan. Pikiran itu mencaci semuanya, terutama keterpelajarannya. Keterpelajaran itu telah memunculkan gengsi pada dirinya sehingga tak mau menerima sembarang kerja. Dan ketika dia terpaksa membuang gengsi itu, yang menyediakan pekerjaan justru menolak. Ijazah zarjana sebagai lambang keterpelajarannya membuat yang menyediakan pekerjaan tak berani memberikan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ijazahnya itu. Ketika—sekali lagi karena terpaksa—ijazah yang telah menyita waktunya tiga setengah tahun itu dia buang, yang menyediakan pekerjaan tak percaya juga karena penampilannya yang terpelajar, lagipun ketika dicoba ternyata dia tak bisa mengerjakan pekerjaan itu.
“Makanan sudah siap,” kata Ina dengan senyum tulus sedikit menggoda.
“Nanti saja,” kata Adam malas. Senyum menggoda isterinyapun tak membangkitkan gairahnya. Dia sangat capek!
Ina kembali ke ruang tamu yang tak jauh dari kamar mereka. Bahkan pintu keluar-masuk kamar itu terhubung langsung dengan ruang tamu. Di sana ada dua orang tamu yang menurut orang tuanya istimewa. Ina harus melayani tamu-tamu istimewa ini.
Di dalam kamar Adam mulai mengkhayal. Menghadirkan kembali angan yang sempat dia ukir saat di Sekolah Tinggi. Kuliah, belajar giat, ikuti apapun kata pengajar agar mendapat nilai yang barus, setelah itu melamar pekerjaan dan menjadi eksekutif yang sukses. Segala realitas buruk yang menerpanya dia singkirkan. Angan itu membuat napas Adam mulai teratur. Tak lama lagi dia kan melihat angannya lewat mimpi.
Dari ruang tamu, orang tua Ina dan tamu penting itu asyik bercakap. Tiba-tiba…
Nggrrroookk....
“Apa ada yang sakit?” tanya si tamu penting yang satu terlihat cemas.
“Aatau Anda memelihara babi di sini?” gurau tamu penting yang satu lagi, yang paling banyak cakap.
Nggrrroookk....
Bunyi itu seolah menjawab kecemasan dan gurauan tamu-tamu penting itu. Karena bunyi dengkuran semakin keras dan ramai, tamu-tamu penting itu akhirnya pamit. Mungkin mereka tak tahan menanggung malu karena suara mereka kalah dengan bunyi dengkur.
Orang tua Ina malu besar.
“Kalian harus pindah ke kamar belakang,” putus bapaknya Ina setelah tamu-tamu penting itu pergi.
Nggrrroookk....
“Apa?” pekik Ina nyaring menyaingi dengkur suaminya. “Bapak menyuruh kami tinggal di kamar pembantu?” rupanya Ina terlalu kaget dan marah sehingga lupa bahwa kamar itu hanya bekas kamar pembantu karena sudah lama tak ada pembantu di rumah itu, sejak perusahan kecil orang tuanya gulung tikar karena kesulitan modal.
Nggrrroookk....
“Dengkurnya telah mempermalukan kami, telah mencoreng muka kami sampai tak jelas bentuknya!”
Nggrrroookk....
Perdebatan terjadi. Kali ini tanpa argumen mendasar sebagaimana ciri orang terpelajar. Hanya debat kusir. Dengkuran Adam menjadi musik pengiring debat kusir itu. Akhirnya Ina kalau setelah orang tuanya menegaskan diri mereka sebagai penguasa rumah.
Besoknya, pertengkaran terjadi antara Adam dan Ina.
“Lebih baik kita pindah saja daripada diperlakukan seperti orang lain begini,” kata Adam marah.
“Pindah? Pindah katamu? Beh!” sembur Ina, “dari mana uang untuk pindah? Untuk mencari makan saja kau tak becus!”
Perdebatan terus terjadi. Debat kusir. Kali ini tanpa diselingi dengkur.
“Sudahlah. Lebih baik kita mengalah. Apa salahanya? Toh kita tidak rugi,” kata ini setelah capek berdebat. Adam juga nampaknya malas mendebat. “Lagipu, enak kalau di kamar belakang. Kita bisa melakukan kapan saja tanpa risih didengar tamu. Semoga dengan begitu kita dapat memberi cucu untuk bapak dan ibu. Mungkin ini akan meredam amarah mereka pada kita.”
Senyum dibibir Adam mengembang. Dia sangat mengeri maksud Ina. “Mari kita buatkan cucu untuk mereka,” kata Ada bersemangat.
***
Anak itu akhirnya lahir juga. Mungil dan lucu. Orang tua Ina senang. Setiap saat mereka menggendongnya, membanggakan kemungilan dan kelucuannya. Menyanyikan lagu dengan suara mirip kaleng untuknya. Anak itu telah melupakan mereka pada dengkuran Adam. Bahkan mereka merasa ditentramkan dengan dengkuran Adam. Betapa tidak. Ketika si anak tak bisa tidur atau bangun tengah malam dan menangis, tak ada yang dapat menangkannya. Lagu nina bobo dari suara merdu ibunya, serta suara kaleng kakek-neneknya, juga tidak. Tapi begitu dengkur sang ayah tib, si bayi langsung pulas seakan dengkuran itu merupakan musik yang merdu baginya.
Nggrrroookk....
Bagi Adam, bertambahnya satu mulut berarti bertambah tanggung jawab. Tanggung jawab, bukan beban. Adam sama sekali tak terbebani . anak itu amanah Tuhan. Dia harus menjaga amanah itu sampai amah itu diambil-Nya atau mungkin yang diberi amanah—yaitu dirinya—yang diambil-Nya, atau mungkin dua-duanya diambil-Nya.
Adam belum juga mendapat pekerjaan tetap yang layak. Keterpelajarannya tidak laku. Bahkan dia menduga orang yang punya perusahaan tidak mempercayai keterpelajarannya karena dia memang tak bisa membuktikan. Ada sadar, gelar cum laude yang disandangnya saat wisuda memang tak bisa dia buktikan di dunia nyata. Pekerjaan serabutan tetap menjadi ladangnya. Dan tentu perlu lebih banyak lagi pekerjaan serabutan yang bergaji sedikit itu. Untunglah dia punya koneksi untuk pekerjaan serabutan itu. Adam semakin sibuk. Dan kesibukan membuat dengkurnya semkain keras.
Nggrrroookk....
Si bayi tertidur pulas begitu mendengarnya.
***
Suatu hari, entah karena apa, Adam ditemukan Ina dalam keadaan pingsan. Ina yang cemas luar biasa langsung membawanya ke rumah sakit. Ini menempatkannya di kelas murah karena memang hanya di sana kemampuannya.
Orang tua Ina yang ditinggal di rumah kerepotan mengurusi sang cucu. Anak itu menangis sepanjang malam. Suara kaleng mereka tak bisa menenangkan karena memang bukan itu penenangnya. Bapaknya di rumah sakit. Dengkurannya tak mungkin sampai di telinga si anak.
Nggrrroookk....
Dengkuran Adam ternyata tak mengenal tempat. Semua pasien di kelas murah mengeluh.
“Suami Anda sudah bisa pulang, Nyonya,” kata perawat yang piket di ruang kelas murah.
“Tapi dia baru semalam di sini, Sus. Saya takut dia kambuh lagi di rumah.”
“Dia cukup sehat. Buktinya, dengkurnya sangat keras,” kata si perawat dengan senyum sinis. “Kalau Anda ingin tetap dirawat inap, sebaiknya dipindah saja ke kelas mahal yang satu ruangan perpasien.”
Ruang kelas mahal? Ina tak tahu berpa biaya di sana tapi pasti mahal. Namanya saja kelas mahal! Tabungan dari hasil kerja serabutan suaminya hanya cukup untuk kelas murah.
Setelah konsultasi dengan dokter, ternyata suaminya hanya kelelahan. “Banyak istirahat saja. Atau memang Anda selalu memancingnya untuk bekerja keras di rumah?” tanya sang dokter dengan senyum genitnya.
Keterangan ini mendorong Ina membawa pulang suaminya. Pasien di kelas murah lega. Orang tua Ina juga lega. Si anak tertidur pulas begitu mendengar dengkur ayahnya telah kembali.
Ternyata Adam tak bisa diam. Dia terus mencari dan mengerjakan pekerjaan serabutan. Isterinya mencegah tapi tak sanggup. Selain itu, siapa yang akan mencari makan untuk keluarga kalau suaminya tidak bekerja?
Adam semakin sibuk. Dengkurnya semakin keras.
Nggrrroookk....
Suatu malam, Adam mendengkur seperti biasa. Ina sudah seperti anaknya. Dengkuran suaminya telah menjadi nada yang membawanya ke alam mimpi. Kemudian Adam tersedak. Ina tak mendengar. Dengkur memang hanya nada membawa ke mimpi, dan di saat bermimpi nada itu tak diperlukan lagi.
Besoknya, Ina menemukan tubuh suaminya sudah kaku. Menurut dokter, saluran pernapasannya tersumbat. Sang suami pergi membawa serta dengkurnya.
***
meninggalnya suami membuat Ina harus mandiri. Orang tuanya tak bisa diharap. Orang tua yang sangat membanggakan keterpelajaran itu telah menghabiskan semua milik mereka agar Ina bisa menjadi terpelajar. Mereka sukses. Tapi tak ada yang mereka tinggalkan untuk Ina kelola. Ina baru sadar mengapa suaminya almarhum sangat memaksakan diri bekerja,
dengan modal peninggalan suaminya, Ina membuka warung makan. Sibuk. Tapi Ina memang mencari kesibukan. Selain untuk mandiri, juga untuk melepaskan sejenak dari keterkenangan pada suami almarhum yang sangat sulit.
Satu keterkenangan yang sulit dia lepaskan adalah dengkur suaminya. Dengkur itu telah menyatu dengan dirinya dan sulit lepas. Lagi pula, anaknya jadi sulit tidur sejak dengkur dibawa serta suaminya ke alam lain. Sekarang baru Ina rasakan betapa pentingnya dengkur suaminya. Dan dia ingin melepaskan diri dengan membuat kesibukan.
Suatu malam, tengah malam. Ina sudah mulai melayang ke awang-awang. Bayang suaminya muncul. Tiba-tiba…
Nggrrroookk....
Ina bangun dalam kaget. Dengkur suaminyakan? Ina mencari-cari tapi bayangan sumaminyapun tak tampak. Anaknya sudah lelap dengan bibir tersenyum seakan mainan yang telah menghilang telah dia dapatkan kembali.
Ina kembali tidur karena capek. Tapi…
Nggrrroookk....
Ina bangkit. Sekarang takut menyelimutinya. Ina baru bisa tenang setelah ibunya menemani. Angannay kembali melayang.
“Bangun.” Ina terkejut. Ternyata ibunya yang membentak sambil mengguncang tubuhnya. “Kamu mendengkur seperti babi betina. Di mana keterpelajaranmu?”
***
(Sudimoro 05 September 2003)
»»  LANJUTKAN???...

Negeri Kodok


Aku pulang karena Nurani. Ah, luar biasa Nurani—dia memang provokator ulung. Walau hanya lewat angin namun dia telah meluluhkan hatiku. Perhatikanlah apa yang dibisikannya: “Hai Gina, mengapa kau masih di sini? Kau kan anak negeri, mengapa kau tak pernah bangun negerimu sendiri? Mengapa kau bersembunyi? Apa yang kau hindari?”
Sialan! Nurani memang sialan! Dia benar-benar provokator ulung. Dia membuatku berada di sini. Dan lebih sialan lagi, ternyata dia tak ada di negeriku. Entah ke mana dia, tak ada yang tahu. Orang-orang bilang, telah lama di negeriku tak ada Nurani.
Karena tak ada dia, aku harus menghadapi penerima tamu yang dari papan nama di dadanya bernama Dila’. Dila’ mencecerkan jutaan pertanyaan yang meragukan keberadaanku. Dia juga bilang bahwa dia telah mengalami ini-itu walau dia katakan hanya berada di negeriku. Luar biasa negeriku. Luar biasa Dila’. Aku saja yang sudah ke negeri orang tak punya pengalaman sebanyak dia. Kurasa dia hanya membual saja, ngomong kosong, berdusta, dan entah kata apa lagi. Yang pasti aku muak. Coba kalau ada Nurani di sini, pasti dia tak akan bicara banyak seperti dialah Superman.
“Jadi, Tuang bisa ditemui atau tidak?” tanyaku muak, memotong uraian panjang Dila’ tentang kehebatan dirinya .
Dila’ memandangku beberapa jenak. Sangat nampak dia tak senang pembicaraannya dipotong. “Tuang sedang tak ada. Nanti akan kujadwalkan. Namamu Gina, kan?” katanya tanpa ekspresi, tangannya sama sekali tak bergerak untuk mencatat sesuatu, malah hanya memainkan kuku diatas meja, mirip dengan tokoh botak di salah satu iklan, “TanyaKen apa?”. Tapi aku tak bertanya. Aku terlalu muak untuk berkata-kata. Akupun segera berlalu dari sana.
Ah, ini tantangan, kucoba menghibur diri. Namun, tantangan ini terlalu berat. Di negeri lain penerima juga tak begitu ramah, namun ini luar biasa. Sialan!
“Hai, kau,” teriakan itu menghentikan langkahku. Kukira si Dila’. Ternyata bukan. Ulu, sahabat karibku saat belajar di negeri lain memanggil. Dia pintar, egois, dan keras kepala. “Nah, seharusnya semua Pemilik Negeri kembali untuk membangun seperti U ini. Jangan negeri orang di bangun sementara negeri sendiri terlantar. Atau negeri sendiri dibiarkan dibangun oleh orang lain” katanya sambil mengguncang-guncangkan tanganku.
Aku tersenyum kecut. “Aku tak tahu apa yang kau maksud, Sobat,” kataku tanpa semangat. Kemudian kuceritakan apa yang kualami.
Dia diam sesaat. Mengangguk-angguk sambil memegang jenggot kambingnya yang tak seberapa. “Engkau pulang saja, tenangkan dirimu, biar aku yang urus” katanya.
Akupun pulang dengan mengangkat bahu. Aku tidak begitu yakin pada Ulu. Dan aku tetap pada rencanaku: besok aku kembali ke negeri yang membutuhkanku.
Namun, aku belum sempat istirahat, Ulu sudah datang. “Tuang akan menerimamu di rumahnya,” kata Ulu bersemangat. Dan semangat itu menular padaku.
Diperjalanan Ulu berkata banyak. Dia menguraikan lika-liku protokol padaku. Harus begini, harus begitu. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Aku hanya termangu mendengar aturan yang terlalu banyak begitu.
“Ah, lebih baik kau diam. Biar aku yang bicara,” katanya setelah melihat aku diam terus.
Akhirnya kami sampai juga.
Rupanya inilah istana sang pimpinan. Sebuah bangunan megah di atas bukit. Jika perang terjadi, mungkin bangunan ini yang paling aman. Mudah-mudahan saja tidak terjadi longsor. Tak enak juga ada berita di media: “Tuang mati karena longsor!”
Dan inilah rupanya Tuang. Cukup rupawan dengan senyum yang selalu dinampakan. Beliau menyalamiku seolah kawan lama. Aku hanya menyebutkan nama, selanjutnya Ulu yang bicara.
Ulu demikian fasih berbicara. Tuang mengangguk-anggukan kepala. Walau ulu bicara tentangku namun Tuang tak pernah melihat padaku. Matanya yang berbinar itu selalu tertuju pada Ulu. Kenapa? Aku penasaran luar biasa. Kualihkan pandangan pada Ulu—sesuatu yang katanya tak boleh kulakukan. Dan …
Ya Tuhan … Ulu ternyata tidak bicara. Hanya lidahanya yang bergerak, menjilat ke arah Tuang. Dan … ya Tuhan … Ulu telah menjadi kodok.
Aku benar-benar tak percaya. Kurasa menjadi anjing masih lebih mending. Anjing masih bisa menyalak. Tapi kodok? Dan ini terjadi pada Ulu! Luar biasa negeriku!
“Ya, selamat datang, Gina. Bangunlah negerimu ini. Aku sebagai Tuang Negeri akan membantu sepenuh hati,” akhirnya Tuang bicara dan ternyata hanya itu yang dikatakannya. Kami bersalaman kembali, seperti kawan lama.
Di jalan aku hanya diam. Aku masih belum mengerti apa yang mereka bicarakan. Dan apa yang terjadi pada Ulu.
“Selamat datang, Gina, beginilah kondisi negeri kita. Hanya itu yang bisa kukatakan dan kau tak usah bertanya. Bekerjalah!” kata Ulu.
Ya, bekerja!
Besoknya aku kembali. Dila’ tergopo-gopo datang padaku. “Ah, sebenarnya Anda sudah saya jadwalkan, lho. Tuang sudah bersedia menerima. Tapi Anda langsung pergi begitu saja.”
Aku tak tahu lagi apa yang dia katakan selanjutnya. Karena Dila’ tiba-tiba saja menjadi kodok. Lidahnya terjulur ke arahku. Hiiii… (Mocil di Subuh Hari, Kamis, 22 Juni 2006)
»»  LANJUTKAN???...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Daftar Isi Blog

Teman di FB